Ruangan itu kembali sunyi. Hanya ada mereka berdua, ditemani dua cangkir teh yang terabaikan di atas meja.
Aiden duduk bersandar di sofanya dengan santai sambil menatap Anya yang ketakutan di hadapannya. Wanita itu seperti kelinci kecil yang gemetaran seolah Aiden adalah harimau yang akan menerkamnya. Ia duduk dengan tegak, seolah takut jika lengah sedikit saja ia akan langsung ditelan.
Anya menyisir anak rambut yang berantakan di pipinya. Tanpa sengaja tangannya menyentuh luka karena tamparan Mona. Luka itu terasa perih sehingga ia meringis menahan rasa sakit.
Aiden memperhatikan semua gerak-gerik Anya. Ia bisa melihat Anya meringis saat menyentuh pipinya. Tubuh Aiden langsung menegang saat memikirkan ada sesuatu yang terjadi pada Anya. Ia segera bangkit berdiri dari tempat duduknya, mencondongkan tubuhnya ke depan dan memegang dagu Anya sehingga ia bisa melihat wajahnya dengan jelas.
Tangannya memegang dagu Anya sedikit keras karena terlalu terburu-buru, membuat Anya kesakitan. Samar-samar, Aiden bisa melihat bekas luka yang ditutupi bedak oleh Anya. Luka itu tersamarkan sehingga ia tidak bisa mengetahuinya hanya dengan sekali melihat.
Di saat-saat seperti ini lah Aiden merasa sangat kesal terhadap kemampuan penglihatannya. Matanya tidak sesempurna dulu sehingga banyak hal yang terlewatkan olehnya. Dengan penglihatannya yang dulu, hal sekecil apa pun tidak akan luput dari perhatiannya, terutama hal-hal mengenai Anya. Sekarang, ia bahkan tidak menyadari bahwa Anya terluka hanya karena wanita itu berusaha untuk menutupi lukanya dengan bedak.
Anya tidak tahu harus berbuat apa saat Aiden memegang dagunya. Ia terpana saat melihat wajah Aiden yang berada tepat di hadapannya. Ia bisa melihat wajah yang rupawan itu dengan sangat jelas. Wajah pria itu benar-benar dekat dengannya, bahkan tak sejengkal pun tak sampai. Wajah Anya langsung memerah hingga telinganya terasa panas karena malu. Ia tidak terbiasa sedekat ini dengan seorang pria.
Aiden tidak memedulikan wajah Anya yang memerah dan tetap mengamati luka goresan di pipi Anya. Tubuhnya menegang, menahan emosi yang ia rasakan di hatinya. Siapa yang melakukan ini kepadanya?
Menyadari bahwa Aiden tidak berniat melepaskannya, Anya segera mundur dan menarik kepalanya. Ia berusaha melepaskan diri dari tangan Aiden dan tersenyum tipis seolah ingin mengisyaratkan bahwa ia tidak apa-apa.
"Aku tidak apa-apa. Ini hanya tidak sengaja tercakar kukuku sendiri," kata Anya.
Aiden kembali duduk di kursinya, tetapi ia tidak setenang sebelumnya. Aura yang terpancar darinya terasa mengerikan. Walaupun kemarahan itu tidak ditujukan pada Anya, sekarang hanya Anya satu-satunya orang di ruangan itu, sehingga ia lah yang terkena imbasnya.
Aiden tahu Anya berbohong. Ia bisa melihat kuku-kuku jari Anya yang pendek dan telah terpotong rapi. Kuku seperti itu tidak akan bisa meninggalkan bekas luka di pipinya. Ia merasa semakin kesal karena ia tidak bisa meminta Anya untuk menjelaskannya. Ia bukan siapa-siapa Anya. Kalau Anya menolak untuk bercerita, ia tidak bisa memaksakan dirinya untuk ikut campir dalam masalah Anya.
Melihat Aiden saat ini, Anya merasa kebingungan. Mengapa pria di hadapannya itu tiba-tiba marah? Apakah karena ia menolak bertemu dengannya sebelumnya? Apakah sekarang Aiden yang tidak ingin berbicara dengannya?
"Aku minta maaf karena sebelumnya menolak jemputanmu. Tetapi aku benar-benar membutuhkan bantuanmu sekarang." Akhirnya Anya memutuskan untuk berterus terang.
"Bantuan apa?" tanya Aiden dengan dingin. Sebenarnya Aiden sudah mengetahui segala informasi mengenai Anya, tetapi suasana hatinya saat ini sedang buruk sehingga sikapnya menjadi sangat dingin.
"Aku membutuhkan uang untuk biaya rumah sakit ibuku. Apakah kamu bisa memberiku pinjaman? Aku akan mengembalikannya sesegera mungkin," Anya menarik napas dalam-dalam dan melanjutkan. "Atau aku bisa bekerja untukmu. Aku mau bekerja menjadi apa saja."
Ia merasa sangat tegang saat mengatakannya. Hanya Aiden satu-satunya orang yang bisa ia mintai tolong. Jika Aiden menolak, apa yang harus ia lakukan?
Aiden hanya balas menatapnya dengan ekspresi yang sulit ditebak. Anya tidak tahu apakah pria itu mau membantunya atau tidak. Tidak ada rasa kasihan dan juga tidak ada tatapan jijik. Anya hanya bisa menunggu.
"Mengapa aku harus membantumu? Bukankah kamu tidak mengenalku?" tanyanya.
"Aku โฆ" Benar. Memang Anya tidak mengenal pria di hadapannya. Setelah mengingat-ingat berulang kali, ia masih tidak menemukan ingatan akan pria ini di otaknya. Tetapi Aiden bersikap seolah-olah mereka saling mengenal satu sama lain.
Melihat Anya tidak bisa menjawabnya, Aiden kembali bertanya. "Kau masih tidak mengingatku?"
"Apakah kita pernah bertemu sebelum ini? Apakah kita saling mengenal?" Anya membalas pertanyaan Aiden dengan pertanyaan. Ia benar-benar tidak bisa mengingat Aiden. Lagipula, kalau mereka memang saling mengenal, bagaimana mungkin Anya bisa melupakan sosok seperti Aiden?
"Coba kau ingat-ingat sendiri," kata Aiden dengan singkat. Aiden bahkan tidak memberi Anya petunjuk sedikit pun mengenai hubungan mereka.
"Aku akan berusaha mengingatnya, tetapi aku benar-benar membutuhkan bantuan saat ini." Anya terus memohon pada Aiden. "Aku bisa menjadi asisten pribadimu. Aku bersedia melakukan pekerjaan apa pun."
"Aku tidak membutuhkan asisten pribadi. Harris saja sudah cukup untuk membantu seluruh pekerjaanku," jawab Aiden dengan dingin.
Anya tidak tahu siapa itu Harris, tetapi dari cara bicara Aiden, sepertinya Harris adalah orang kepercayaannya. Lalu apa pekerjaan yang bisa ia lakukan? Ia tidak memiliki kemampuan apa pun selain membuat parfum.
"Kalau begitu, aku bisa menjadi pelayanmu. Aku bisa membersihkan kantor ini, atau bahkan membersihkan rumahmu." Anya benar-benar putus asa. Ia mau melakukan pekerjaan apa pun selama pekerjaan itu halal dan bisa membiayai pengobatan ibunya.
"Aku sudah memiliki banyak pelayan." Jawab Aiden singkat.
Anya merasa harapan di hatinya pupus. Ini semua salahnya. Mengapa ia harus menolak untuk bertemu dengan Aiden sebelumnya dan membuat pria itu begitu marah. Sekarang Aiden tidak mau membantunya dan ia telah kehilangan harapan terakhirnya. Kemana lagi ia harus mencari bantuan?
Ia menundukkan kepalanya dan berusaha mencari cara apa yang bisa ia lakukan untuk membujuk Aiden. Namun, otaknya seolah tidak bekerja. Ia tidak bisa menemukan ide apa pun.
Aiden bisa melihat kekalutan di wajah Anya saat ia menolak untuk membantunya. Bukannya ia tidak ingin membantu Anya, tetapi ia memang tidak membutuhkan asisten pribadi ataupun pelayan. Ia memiliki rencana lain untuk Anya.
"Aku bisa membantumu," kata Aiden sambil memandang lurus ke arah Anya.
Satu kalimat itu membuat kepala Anya langsung mendongak. Matanya yang sebelumnya telah kehilangan harapan tampak berbinar, seolah menemukan sebuah harapan baru. Ia membalas tatapan Aiden dan berkata dengan terbata-bata, "Kamu โฆ Kamu mau membantuku?" tanyanya.
"Hmm โฆ" gumam Aiden sambil menganggukkan kepalanya.
Anya merasa sangat gembira sehingga rasanya ingin melompat dari kursinya. Akhirnya! Akhirnya ada seseorang yang mau membantunya.
"Aku mau melakukan pekerjaan apa pun. Aku bisa membersihkan rumah, memasak, bersih-bersih. Aku juga bisa mengangkat barang-barang," kata Anya dengan antusias.
Ia menatap Aiden dengan penuh harapan, menanti pekerjaan apa yang akan diberikan kepadanya. Ia mau melakukan apa pun demi membiayai pengobatan ibunya.
Aiden menatap reaksi Anya dengan tenang. Ia menatap wajah wanita itu lekat-lekat dan berkata, "Menikahlah denganku."