Chapter 13 - Pernikahan

Begitu lift mereka tiba di lobby, Aiden dan Anya langsung melangkah keluar. Semua orang di lobby langsung menghentikan apa pun yang sedang mereka kerjakan dan langsung memberi hormat pada Aiden.

Anya merasa canggung saat melihat semua orang menunduk ke arahnya. Walaupun orang-orang itu tidak memberi hormat padanya, saat ini ia berjalan bersama Aiden sehingga ia juga menjadi pusat perhatian semua orang.

Saat ia melirik ke arah resepsionis, wanita yang tadi menolak kedatangannya sudah tidak ada. Anya tidak tahu bahwa resepsionis itu telah kehilangan pekerjaannya karena bersikap sopan kepadanya.

Saat ia sedang memandang ke arah meja resepsionis, seorang pria bergegas menghampiri Aiden. Wajah pria itu tampan dengan kacamata minus di matanya, membuatnya terlihat pintar. Ia terlihat sangat rapi dari ujung kepala hingga ke ujung kaki, tidak ada satu helai rambutpun yang keluar dari tatanannya. Tubuhnya tinggi semampai hingga hampir menyamai tinggi Aiden. Berbanding terbalik dengan Aiden yang berkulit putih seperti orang asing, kulit pria ini kuning langsat, memperlihatkan kekentalan darah indonesianya.

Pria itu langsung membungkuk di hadapan Aiden. Tidak seperti kepada orang-orang lainnya, Aiden merespon pria itu dengan menepuk bahunya, membuat pria itu menegakkan tubuhnya.

"Harris, kita pergi sekarang," kata Aiden.

"Baik, Tuan." Jawab Harris dengan segera.

Mendengar nama itu, Anya langsung menyadari bahwa pria ini adalah Harris, asisten pribadi dan orang kepercayaan Aiden. Bisa dibilang, Harris adalah tangan kanan Aiden.

Harris menyadari keberadaan Anya dan sedikit menganggukkan kepalanya. Anya membalas anggukan itu dan kembali mengikuti Aiden menuju ke mobilnya.

Sebuah mobil berwarna hitam yang mewah langsung berhenti tepat di hadapan mereka bertiga ketika mereka menunggu di lobby. Sebelum mereka bisa melangkah, seseorang keluar dari pintu pengemudi. Orang itu adalah Abdi, supir Aiden yang diperintahkan untuk menjemput Anya tadi pagi.

Pria paruh baya itu segera membukakan pintu untuk Aiden dan Anya, sementara Harris melangkah menuju kursi penumpang depan. Saat menatap Anya, Abdi tersenyum dengan ramah. "Silahkan, Tuan, Nona."

Anya membalas senyuman itu dengan hangat, "Terima kasih, Pak. Maaf untuk tadi pagi ya."

Abdi hanya mengangguk sekilas, tidak berani berlama-lama dan mengulur waktu atasannya. Ia segera menutup pintu dan masuk kembali ke kursi pengemudi.

Setelah masuk, Anya langsung terpukau saat melihat bagian dalam mobil tersebut. Mobil itu sangat mewah. Walaupun ayahnya juga memiliki banyak mobil mewah yang berjejeran di garasi rumahnya, tidak ada satu pun mobil ayahnya yang setara dengan mobil Aiden. Bahkan ada layar pemisah bagian pengemudi dan penumpang di tengah.

Ia duduk dengan sangat tegak, jika kalau ia tidak sengaja menyentuh sesuatu dan merusaknya. Kalau sampai ada sesuatu yang rusak, ia tidak akan mampu menggantinya.

Saat ia tenggelam dalam ketakjubannya, matanya tanpa sadar tertuju pada Aiden. Pria itu sedang memejamkan matanya, ia terlihat kelelahan. Saat memejamkan matanya pun wajah Aiden tetap terlihat luar biasa tampan seolah diukir dengan indahnya oleh pengrajin ternama.

Ia akan menikah dengan pria tampan ini. Bukankah ini seperti mimpi?

Ketampanan, kekayaan, kekuasaan … Apa yang tidak dimiliki oleh pria ini? Wanita mana pun akan bertekuk lutut di hadapan pria ini, memohon agar pria itu mau menikahinya. Tetapi pria ini malah memilihnya.

Seharusnya, Anya merasa dirinya adalah wanita yang paling beruntung di dunia karena ia menjadi wanita yang dipilih oleh pria yang luar biasa ini. Namun, sayangnya Anya tidak mencintainya.

….

Proses pendaftaran pernikahan terjadi sangat cepat. Anya memegang buku nikahnya dengan tatapan tidak percaya. Ia termenung saat memegang buku tersebut, matanya terlihat tidak fokus.

Ia membuka buku tersebut dan melihat bahwa fotonya dan foto Aiden lah yang menghiasinya. Otaknya tidak bisa mencerna bahwa ia telah menikah.

Ia telah menikah!

Dengan Aiden Atmajaya!

"Kita akan mengemasi seluruh barang-barang di rumahmu," kata Aiden, membuyarkan lamunan Anya.

Anya mendongak, melihat Aiden yang mengatakannya sambil memejamkan mata.

"Ah … Tapi …" Anya tidak bisa mencerna semua hal yang terjadi begitu cepat ini. Bukankah pernikahan mereka ini hanyalah pernikahan kontrak? Apakah ia juga harus tinggal bersama dengan Aiden?

Pernikahan kontrak …

Memang mereka menikah hanya karena kepentingan mereka masing-masing.

Harris sebagai orang kepercayaan Aiden awalnya menentang pernikahan ini karena Aiden berada dalam posisi yang dirugikan. Aiden harus mengeluarkan banyak uang demi membiayai biaya rumah sakit ibu Anya, sementara apa yang bisa diberikan oleh Anya?

Pada akhirnya, Anya menawarkan taman bunga milik ibunya sebagai jaminan bahwa ia pasti akan membayar hutangnya suatu hari nanti. Setelah semua hutangnya lunas, ia akan kembali bebas.

Sementara itu, Aiden merasa puas dengan keputusan Harris. Dengan taman bunga itu sebagai jaminan, Anya akan semakin terikat padanya dan tidak akan bisa melarikan diri dari genggamannya.

Aiden hanya memandang Anya sambil mengangkat alisnya.

Anya hanya bisa bungkam, menutup mulutnya rapat-rapat. Saat ini, yang bisa ia lakukan hanyalah menuruti perkataan dan perintah Aiden. Ia berhutang budi pada pria ini dan akan berusaha sebaik mungkin untuk membantu pria ini hingga ia bisa membayar semua utang-utangnya.

Setelah tiba di rumahnya, Anya bergegas turun dan berkemas. Ia dibantu oleh Harris dan Abdi, sementara Aiden menunggu di dalam mobilnya.

Ia memasuki kamarnya dan mengeluarkan sebuah tas untuk mengemasi seluruh barang-barangnya. Ia tidak memiliki terlalu banyak barang. Barang-barangnya kebanyakan merupakan barang lama karena ia tidak punya uang untuk berbelanja atau membeli sesuatu yang baru.

Ia membiarkan barang-barang ibunya tetap tertata rapi di rumah, berharap suatu hari nanti ibunya akan kembali. Foto-fotonya dan ibunya masih terpanjang memenuhi seluruh rumah, membuat rumah itu terkesan hangat dan penuh cinta. Hanya foto-foto itu saja harta karun yang dimilikinya.

Setelah semuanya selesai, Abdi membantu Anya membawakan tasnya ke dalam mobil. Sementara itu Anya mengunci pintu rumahnya seperti saat ia akan meninggalkan rumah itu.

Namun kali ini, Anya akan meninggalkan rumah itu dalam waktu yang cukup lama. Tepatnya hingga ia bisa melunasi semua hutangnya.

Ketika menutup pintu rumah itu, ia berandai-andai, membayangkan apakah suatu hari nanti ia bisa kembali ke rumah ini bersama dengan ibunya? Meski kecil dan sederhana, terlalu banyak kenangan yang ada di rumah ini, membuatnya merindukan masa-masa itu.

Kenangan-kenangan pada saat Anya dan ibunya berusaha bangkit dari keterpurukan setelah perceraian kedua orang tuanya …

Kenangan-kenangan yang membahagiakan di antara mereka berdua …

Kenangan-kenangan sedih pada saat ibunya jatuh sakit dan membuat Anya harus berjuang seorang diri …

Kenangan-kenangan terbaru yang masih segar semuanya berisi air mata, penderitaan dan perjuangan.

Hari ini, Anya menutup pintu rumahnya dengan perasaan takut dan juga bahagia.

Ia takut untuk membayangkan masa depannya yang tidak jelas, tetapi juga bahagia karena tidak harus berjalan sendiri lagi.

Mungkin memang ia tidak mencintai Aiden. Tetapi setidaknya, ia tidak harus menghadapi semuanya seorang diri sekarang. Aiden akan membantunya untuk melalui semua ini. Aiden akan memikul sebagian beban yang ia rasakan di hatinya.

Setidaknya, akan ada seseorang yang selalu berada di sampingnya.

Sekarang, namanya bukan lagi Anya Tedjasukmana, melainkan Anya Atmajaya.