Chereads / CEO's Beloved Doctor / Chapter 8 - Anak Pembawa Masalah

Chapter 8 - Anak Pembawa Masalah

Paman Hendri keluar dari rumah sakit. Perasaannya campur aduk. Satu sisi ia dongkol dengan sikap Bastian yang selalu mengacuhkan kehadirannya. Namun di sisi lain ia lega. Sepertinya keponakannya itu tidak mengingat apapun soal kecelakaan mobil beberapa hari lalu.

Tapi hati kecilnya meragukan Bastian. Apa benar Bastian tidak mengingat apapun soal kecelakaan yang menimpanya? Bagi pria yang mengelolah bisnis produk ban mobil di Dewandra Automotive Corp selama 20 tahun ini Bastian bukan orang bodoh. Ia sangat mengetahui kepintaran keponakannya.

Bastian sudah membuktikan kalau ia pandai, banyak akal dan punya 9 nyawa. Benar, Bastian adalah orang yang tidak mudah mati. Ia ingat kejadian mengerikan apa saja yang sudah menimpa Bastian di masa lalu. Ajaibnya Bastian tetap hidup seolah kematian menolaknya.

Mobil Paman Hendri melaju ke daerah Pondok Indah. Tiba-tiba ponselnya berdering.

"Halo," sapa Paman Hendri.

"Selamat siang. Apa benar ini Hendri Dewandra?" tanya sebuah suara berat di ujung sana.

"Ya benar. Ini siapa?" Paman Hendri mulai was-was.

"Kami dari Polres Metro Jakarta Selatan mau memberi tahu bahwa anak bapak kami tahan sejak semalam."

Deg. Jantung Paman Hendri terasa berhenti berdetak. Setelah bicara sebentar dengan pihak kepolisian, Paman Hendri mematikan ponselnya.

"Kita putar balik ke Polres Metro Jakarta Selatan sekarang," perintah Paman Hendri ke supirnya.

…..

Kemarin malam 23.00

Victor Dewandra berjalan santai masuk ke X2. Tempat ini adalah salah satu klub malam favorit Victor. Setidaknya seminggu 2 kali ia akan mengunjungi tempat ini untuk berpesta dengan teman-temannya. Tapi hari ini ia akan menemui seseorang yang spesial. Orang yang 3 tahun terakhir ini tidak ia temui.

Hari ini penampilannya stylist. Kacamata hitam merek Gucci bertengger rapi di hidung mancungnya. Rambut sebahu Victor sengaja di kuncir ke belakang. Deretan anting bertengger di kedua telinganya. Penampilan itu semakin menunjang wajah Victor yang memiliki kontur rahang tegas.

Tak lupa ia memakai kemeja ketat Channel yang dua kancing paling atas sengaja tidak dikancingnya dan jeans hitam. Pakaian ini sangat cocok dipakai pria setinggi 185 sentimeter ini. Semua pakaian itu semakin menonjolkan otot-otot bisep dan dada atletis Victor. Tidak heran kalau semua mata tertuju pada Victor yang melangkah santai masuk ke X2.

Tidak sedikit wanita di klub malam yang terpukau akan ketampanan dan rayuannya. Masalahnya Victor cukup pilih-pilih. Hanya kriteria wanita tertentu yang berhasil menarik perhatiannya.

"Hai, Vic," tiba-tiba seorang wanita bergaun ketat dengan belahan dada rendah memeluk pinggangnya manja.

"Hai," jawab Victor sambil balas memeluk pinggang wanita itu.

"Kok gak balas chatku akhir-akhir ini? Katanya mau main ke apartemenku lagi," tanya wanita itu manja.

Victor hanya tersenyum. "Maaf ya, Anne. Aku lagi sibuk. Nanti aku hubungi kamu lagi. Oke?"

Victor melepaskan pelukannya. Lalu gadis bernama Anne itu tersenyum nakal sambil berjalan pergi.

Langkah kaki Victor terhenti di sebuah sofa merah. Seorang gadis berkulit putih bercahaya sedang duduk santai menikmati cocktail. Gadis itu memiliki rambut lurus panjang terurai, kaki yang panjang dan tubuh yang ramping. Wajahnya dihiasi bibir yang kecil cantik dengan sorot mata dingin. Dia adalah Miranda, salah satu selebritis Indonesia.

"Hai, Miranda," sapanya lalu duduk di sebelah wanita itu.

"Kamu terlambat. Kebiasaanmu ini gak pernah berubah, Vic," jawab Miranda kesal dengan keterlambatan.

Victor hanya nyengir. "Kamu emang gak berubah, Mir. Aku kira Amerika Serikat bakal membuatmu berubah. Kamu tetap aja dingin dan ketus kayak biasanya."

"Bukannya kayak begini ini lebih baik? Seenggaknya aku bukan wanita murahan kayak gadis yang baru aja memelukmu."

Victor selalu terkesan dengan sahabat baiknya di SMA ini. Miranda adalah wanita yang elegan dan bermulut tajam. Sejak awal mereka bersahabat, Victor sadar bahwa Miranda tidak tertarik dengannya. Miranda bukanlah gadis yang akan jatuh cinta dengan sembarangan pria.

Meskipun secara usia, Victor lebih tua 2 tahun tapi pemikiran Miranda sangat luas. Tak heran jika Victor meminta pendapat gadis itu mengenai kehidupan cintanya.

"Daripada ngomentari semua wanita yang dekat sama aku, gimana kalau kita bahas kabarmu? Gimana karirmu selama di Amerika Serikat?" Victor berusaha mengalihkan pembicaraan.

"Well, karirku lumayan sih. Aku sempat main peran di sitkom-sitkom lokal. Sayangnya ayahku ingin aku cepet-cepet menikah. Dia nyuruh aku balik ke Indonesia," cerita Miranda.

"Nikah? Apa aku gak salah dengar?" Victor terkejut setengah meledek.

Baginya Miranda akan menikah adalah hal yang mengejutkan. Miranda memang cantik tapi sangat amat pemilih kalau urusan pria. Victor ingat sahabatnya ini hanya pernah berkencan dengan 3 orang saja dan hubungan itu tidak berjalan lama. Biasanya Miranda yang akan memutuskan pria tersebut kalau dirasa kurang kaya, kurang romantis, kurang sukses dan lain-lain.

Miranda memandang tajam ke arah Victor. "Jangan ngejek deh, Vic. Kamu pikir aku mau nikah gitu aja? Aku cuman pulang supaya ayahku berhenti ngomel setiap hari."

"Udah kuduga," balas Victor.

Victor dan Miranda bercakap-cakap. Mereka membahas kenangan masa SMA dan apa rencana di masa depan. Setelah itu Miranda berdiri. Ia memesan minuman ke bartender.

Lalu seorang pria berusia 30an yang sedang mabuk memeluk pinggang Miranda dari belakang. "Hai, Cantik. Aku gak pernah lihat kamu sebelumnya di sini. Mau kutemani gak?"

Miranda mendengus kesal. "Aku beri kamu waktu 3 detik untuk ngelepasin aku."

"Astaga. Cantik-cantik kok galak amat ya?" kata pria itu terkekeh.

Tanpa basa-basi, Miranda menyiku perut pria itu dan menendang organ vitalnya dengan high heels runcing.

Pria itu jatuh kesakitan. Ia berguling-guling di lantai.

Victor yang mendengar keributan langsung datang. Ia menendangi pria yang menggoda Miranda. "Dasar keparat. Beraninya ganggu temanku!"

"Udah, udah, Vic. Ayo kita pergi dari sini," Miranda berusaha menghentikan Victor.

Sebelum mereka berhasil keluar dari klub malam ada 4 orang pria menghadang Victor dan Miranda. Sepertinya mereka kaki tangan pria mabuk tadi.

"Apa mau kalian?" tanya Miranda tajam kepada empat pria itu.

"Hei, Cantik. Kamu pikir bisa keluar dari sini gitu aja setelah ngelukai bos kami?" kata salah satu pria yang bertubuh kurus. Wajanya begis dan ada tato besar di sepanjang lengannya.

Miranda mengeluarkan uang dari tas tangan Hermesnya. "Kita bisa selesaikan masalah ini baik-baik. Kalian butuh uang berapa?"

Keempat pria itu diam sejenak berpikir.

"Ah, udahlah, Mir. Kamu gak perlu buang-buang uang untuk bajingan-bajingan itu," cegah Victor emosi.

Sebelum Miranda membantah perkataan Victor, sahabatnya itu sudah memukul salah satu bajingan itu. Hidung pria yang kena pukul Victor patah seketika. Akhirnya ketiga pria lainnya mulai menyerang Victor.

Yang Miranda lihat 10 detik berikutnya adalah semua orang di X2 berteriak ketakutan melihat perkelahian Victor. Banyak wanita menjerit ketika salah satu dari keempat pria itu terhempas ke lemari kaca bar. Seluruh minuman keras di lemari itu hancur.

Terakhir, Miranda hanya bisa berdiri kaku melihat 4 orang polisi menghentikan perkelahian mereka. Kali ini Victor membuat kekacauan yang mungkin akan membuat ayahnya murka, batin Miranda.

….

Paman Hendri duduk di ruang tunggu kepolisian. Wajahnya merah padam. Ia tidak habis pikir putra satu-satunya akan membuat keonaran besar di klub malam.

Victor berjalan keluar dari ruang tahanan menuju ruang tunggu. Wajahnya merah-merah. Ada luka lebam di pelipis dan bibirnya akibat perkelahian semalam.

"Ayah.."

Sebelum Victor menyelesaikan kata-katanya, Paman Hendri berdiri dan memukul kepala putranya ini.

"Dasar anak gak tahu diri! Bikin malu orang tua aja kerjaanmu!" teriak Paman Hendri di depan semua polisi. "Dasar gak becus! Apa kamu gak mikir mau ditaruh mana wajah ayahmu ini setelah keonaran yang kamu buat di klub malam?!"

Victor hanya menunduk. Ayahnya punya tempramen yang buruk. Bodoh kalau ia mau balas berdebat.

Paman Hendri mengacungkan tangannya di depan wajah Victor. "Kalau bukan karena Miranda bersaksi kamu hanya berusaha melindungi diri dari bajingan-bajingan itu, kamu bisa di penjara lebih lama tahu??!!!"

Miranda tiba-tiba muncul. Masih dengan pakaian yang sama yang ia pakai di klub malam. Tapi Miranda menutupi gaunnya dengan mantel panjang berwarna coklat. "Sudah, Paman. Jangan marah-marah lagi. Yang penting Victor sudah bebas dengan selamat."

Napas Paman Hendri tersenggal-senggal. Dengan perasaan kesal, Paman Hendri keluar dari kantor polisi meninggalkan putranya.

"Makasi ya, Mir," hanya itu kalimat yang keluar dari mulut Victor di situasi ini.

"Terkadang kamu harus pakai cara elegan buat nyelesain masalah, Vic," Miranda mengingatkan. Semua masalah ini tidak akan terjadi kalau Victor membiarkannya memberi uang pada keempat bajingan itu.