Chereads / CEO's Beloved Doctor / Chapter 12 - Bertemu Victor

Chapter 12 - Bertemu Victor

Victor berjalan pelan menuju ruang kerja kakeknya di perusahaan Dewandra Automotive Corp. Perusahaan keluarga ini terletak di sebuah gedung bernama Dewandra Tower, salah satu gedung pencakar langit di kawasan Jakarta Pusat.

Arsitektur gedung ini dibuat penuh dengan kaca seperti gedung-gedung pencakar langit di New York, London dan Tokyo. Interior dalam gedung juga sangat luar biasa.

Konsep yang diusung adalah minimalis dengan dominasi warna hitam dan abu-abu. Meskipun sudah mengunjungi perusahaan berulang kali, Victor selalu terkesan dengan keindahannya.

Kakeknya yang juga merupakan kakek Bastian adalah CEO sekaligus pendiri perusahaan. Kakek telah membangun bisnis ini sejak ia masih berumur 17 tahun.

Victor ingat sekali kakeknya sering bercerita bahwa ia tidak tamat SMA. Sang kakek tidak punya pendidikan yang tinggi. Tapi semangat dan kerja keras kakeklah yang membawanya menjadi pengusaha sukses.

Hari ini Victor di telepon asisten kakek. Victor disuruh datang ke perusahaan untuk menemui kakek. Dalam benaknya Victor bisa menduga kalau sang kakek ingin membahas perkelahiannya di klub malam.

Sejujurnya dimarahi kakek bukanlah hal yang mengagetkan baginya. Toh selama ini Victor sudah sering kena omel. Sejak kecil sang kakek selalu mengomeli perbuatannya.

Setiap ia berbuat masalah di sekolah, kakeklah orang yang akan datang ke sekolah meminta maaf pada semua guru. Saat Victor berkelahi dengan temannya, kakeklah yang datang menemui orang tua teman Victor untuk minta maaf. Setelah itu Victor akan dihukum oleh sang kakek.

Tapi kali ini suasananya terasa berbeda. Kali ini ia membuat kesalahan yang … sedikit fatal. Berkelahi di klub malam dan menginap semalam di kantor polisi. Ditambah berita perkelahiannya sampai diliput media nasional.

Aku harus bersikap santai, batinnya.

Victor di sambut oleh sekertaris kakek dan dipersilahkan masuk ke ruang kerja. Ruang kerja kakek seluas 50 meter persegi. Ada sofa untuk menerima tahu, perpustakaan kecil berisi buku-buku bisnis favorit kakek, meja kursi kerja kakek, vas-vas setinggi 2 meter yang di beli dari lelang barang antik dan foto keluarga seukuran 1 x 3 meter. Selera kakek sangat bagus untuk mendesain ruang kantornya.

Di depan mata Victor, kakek sedang duduk di sofa sambil membaca dokumen-dokumen. Victor berusaha rileks dan tersenyum ceria.

"Selamat pagi, Kakek," sapa Victor. Ia mencium tangan kakek dan duduk di sofa yang terletak persis di depan kakek.

Kakek hanya memandang Victor dari ujung kaki hingga kepala. Cucu keduanya ini sangat rapi hari ini. Memakai kemeja lengan panjang merah marun yang bagian lengannya di tekuk, celana kain hitam dan sepatu pantofel senada.

"Kamu sudah tahu kenapa kakek memanggilmu kesini?" tanya kakek cemberut sambil masih membaca dokumen.

"Victor minta maaf. Karena perbuatanku, rumah kakek dikepung oleh wartawan," kata Victor sambil membungkukkan badan.

"Perbuatanmu kali ini sungguh keterlaluan," kakek mulai marah. "Vic, kamu harus ingat umurmu sekarang berapa. Kamu gak bisa hidup bermain-main seperti ini."

"Iya, kakek. Aku memang bersalah," kata Victor manja. "Lain kali aku gak akan membuat keronaran kecil seperti ini lagi."

Kakek berhenti membaca dokumen dan memandang Victor sambil melotot. "Kecil? Keonaran yang kamu buat tidak kecil! Kamu tahu kakek butuh 5 jam untuk menyingkirkan semua wartawan itu dari rumah. Kakek juga jadi bahan olok-olok Serikat Pengusaha Indonesia karena ulahmu!"

Sial, umpat Victor dalam hati. Ia menyesali kata-katanya barusan. Ia membuat kakek semakin marah.

"Kamu tahu apa yang dikatakan semua pengusaha di Serikat Pengusaha Indonesia? Mereka bilang 'sungguh tidak beruntung Tuan Broto Dewandra memiliki cucu pembuat masalah.' Tidakkah kamu sadar kalau karena dirimu kakek harus menanggung malu?!!" omel kakek.

"Iya, Kek," jawab Victor lemah. Kali ini ia bertekad diam dan tidak membantah ucapan kakek.

"Sudahlah. Kakek tidak ingin memperpanjang masalah ini," kata kakek pada akhirnya.

Kepala Victor langsung terangkat. Ia sangat senang kakek memaafkannya dengan mudah kali ini.

"Tapi kamu tetap harus di hukum," kakek melanjutkan.

"Apa?!" Victor kaget.

"Kamu harus ke Rumah Sakit Amerta. Minta resep obat untuk Bastian dari Dokter Kirana. Jangan lupa harus dari Dokter Ki-ra-na," kakek menekankan. "Kalau resep obatnya tidak dari Dokter Ki-ra-na, jangan harap kamu bisa menginjakkan kaki ke rumah!"

"Dokter Kirana?" Victor bingung. Siapa juga dokter itu, pikirnya.

"Iya, Dokter Kirana. Dokter yang udah menyelamatkan Bastian tempo hari."

"Kek, rumah sakit itu luas. Andai kata Dokter Kirana tidak ada di tempat, apa aku tidak boleh minta resep obat dari dokter lain?" protes Victor.

Kakek mendelik. "Kalau Dokter Kirana tidak ada di rumah sakit, kamu cari ke rumahnya. Pokoknya harus dari Dokter Ki-ra-na!"

Sial, sial, sial, sial!!!! Jerit Victor dalam hati. Apa sih bedanya minta resep obat dari dokter lain? Toh semua dokter di rumah sakit itu sekolah kedokteran yang sama.

"Satu lagi, bersikap baiklah pada Dokter Kirana. Suatu hari dia akan jadi kakak sepupu iparmu," kata kakek sambil menyuruh Victor pergi dari ruang kerjanya.

….

"Calon kakak sepupu ipar? Cih! Kakek pasti bercanda. Bastian itu payah. Dia mungkin saja gay karena gak pernah pacaran," gerutunya sambil menyetir.

Mobil Victor berbelok ke Rumah Sakit Amerta. Ia turun dari mobilnya. Semua mata orang-orang di parkiran mobil dan lobby rumah sakit memandanginya.

Dalam hatinya ia bangga. Ia bangga karena wajahnya tampan membuat dirinya menjadi pusat perhatian. Andai saja ini di klub malam, mungkin sudah ada 4 wanita yang akan memeluk dan mencium pipinya manja.

Coba kalau itu Bastian. Ia pasti sudah mendorong para wanita menjauh darinya. Karena perilaku Bastian, ia dijuluki "Bos Gay" oleh sesama pengusaha. Cuman dasar si Bastian itu terlalu cuek sampai tidak peduli mendapat julukan seperti itu.

Meskipun Bastian juga tampan tapi sepupunya itu terlalu dingin. Tidak pintar merayu wanita. Victor berani jamin kalau ia lebih mampu menggaet wanita daripada sepupunya yang satu itu.

Menurut Victor, kakek terlalu buang-buang waktu dengan berusaha menjodohkan Bastian dengan perempuan. Itu tidak akan berhasil. Bastian tidak akan pernah jatuh hati dengan wanita manapun.

Victor berjalan menyusuri rumah sakit. Suasana di rumah sakit kali ini cukup sepi. Hanya ada beberapa pasien di ruang tunggu. Setelah bertanya pada receptionist tentang ruang prakter Dokter Kirana, Victor bergegas pergi ke sayap kanan rumah sakit. Ia menuju UGD tempat Dokter Kirana berada.

Dalam hati ia penasaran seperti apa sih wajah si Dokter Ki-ra-na itu. Apa dia cantik? Tapi sepertinya si Dokter Ki-ra-na itu tidak cantik. Bastian alergi dengan perempuan cantik. Pasti dia jelek, batinnya.

Saat melewati lorong ada segerombolan anak kecil berlari mengejar bola mainan. Mereka menabrak tubuh Victor. Karena kaget, Victor terpeleset dan jatuh ke lantai.

Masalahnya tangan kanannya tergores kursi tunggu pasien yang terbuat dari besi. Ada luka gores sepanjang 10 senti yang lengannya.

Sial! Victor mengutuki semua kejadian buruk yang menimpanya hari ini. "Dokter Kirana sialan, susah sekali mencari wanita itu," umpatnya pelan.

"Permisi, apa Anda baik-baik saja?" seorang wanita berbaju dokter bertanya khawatir.

"Saya tidak apa-apa," kata Victor bangkit berdiri sambil memegangi lengannya yang tergores.

"Anda terluka. Saya minta maaf karena ulah pasien anak, tangan Anda jadi tergores begini. Mereka terlalu bersemangat setelah mendapat bola mainan dari saya," kata si dokter perempuan penuh sesal. "Biar saya obati."

"Tidak, tidak perlu, Dok," tolak Victor. Dokter satu ini pemaksa sekali sih, gerutu Victor kesal.

"Nanti bisa infeksi lho. Gak apa-apa saya obati. Gratis kok. Hitung-hitung untuk minta maaf karena ulah anak-anak."

Belum menunggu persetujuan Victor, dokter itu menariknya ke ruang UGD. Mau tidak mau Victor mengikuti dokter itu dengan patuh

Semua berjalan dengan sangat cepat. Dokter pemaksa ini dengan cekatan membersihkan luka Victor. Ia mengoleskan obat, melapisi luka dengan kassa, menutupnya dengan kapas dan memberi plester.

Victor memperhatikan dokter di depannya. Gadis ini bercahaya. Terdengar aneh sih tapi begitulah Victor mampu mendeskripsikan dokter ini. Rambutnya pendek sebahu, matanya bersinar dan senyumnya…

"Dokter Kirana, saya sudah taruh catatan medis di meja Anda," kata seorang perawat dari depan pintu yang membuyarkan lamunan Victor.

"Terima kasih, Sus."

Tunggu. Si perawat tadi memanggil dokter di depannya ini dengan nama Dokter Kirana?

"Anda Dokter Kirana?" tanya Victor ragu

Alis Kirana terangkat. "Betul. Kenapa ya?"

Astaga ternyata gadis ini toh yang namanya Dokter Kirana. Senyum Victor

"Perkenalkan saya Victor Dewandra," Victor mengulurkan tangan.

Kirana tidak yakin tapi ia menerima jabatan tangan Victor. "Anda ini siapa ya?"

Victor tersenyum. "Saya sepupu Bastian Dewandra."

Kirana hanya memasang wajah 'oh.' "Apa yang bisa saya bantu?"

Insting menggoda Victor bangkit.

"Dokter cantik," Victor memasang senyum paling menawannya. "Tolong buatkan resep obat untuk sepupu saya. Kalau tidak kakek akan mengusir saya dari rumah."

Kirana mengerjap. Sejujurnya ia tidak terlalu yakin dengan ucapan pria bernama Victor ini. Tapi mendengar kata kakeknya akan mengusir, Kirana yakin pria ini benar-benar sepupu Bastian sekaligus cucu si kakek. Kirana tahu betul sikap kakek Bastian seperti apa.

Memandangi Kirana membuat Victor punya ide. Sepertinya dia tahu apa yang harus dilakukan setelah melihat dokter cantik satu ini.