Chereads / CEO's Beloved Doctor / Chapter 16 - Pameran

Chapter 16 - Pameran

Kirana berjalan penuh percaya diri berjalan menuju gedung pencakar langit Dewandra Tower. Hari ini dia akan datang ke acara amal pameran lukisan yang diselenggarakan Bastian. Nantinya uang hasil penjualan lukisan akan disumbangkan untuk anak-anak penderita kanker di Rumah Sakit Amerta.

Dari depan gedung, suasana ramai sudah mulai terasa. Banyak wartawan dari berbagai media, kolektor lukisan, pengusaha dan pejabat yang datang. Mereka pasti diundang langsung oleh Bastian.

Kirana juga terperangah dengan kendaraan yang dipakai tamu-tamu itu. Banyak pejabat, kolektor dan pengusaha menggunakan mobil-mbil keluaran Eropa yang limited edition. Beberapa juga menggunakan mobil produksi Dewandra Automotive Corp merek Bazz yang mulai terkenal di kawasan Asia.

Untung Kirana sudah menduga kalau para tamu yang akan datang adalah orang penting. Ia sudah mengenakan pakaian terbaiknya untuk acara ini. Lebih tepatnya Vero yang memaksa berdandan dan memakai pakaian terbaiknya untuk acara penting hari ini.

Ia memakai gaun merah dengan rok pendek, highheels 10 sentimeter dan polesan make up yang lebih tebal dari biasanya. Tak lupa Vero tadi berhasil memaksa mengenakan anting-anting besar di kedua telingan Kirana dengan harapan gadis itu semakin cantik.

Kini Kirana yang biasanya hanya memakai kemeja dan jas dokter berubah menjadi artis. Semua mata laki-laki memandang ketika ia berjalan masuk ke dalam gedung. Kirana sampai menundukan kepala karena malu.

Suasana di dalam gedung lebih ramai lagi. Kirana bisa melihat ratusan orang berjalan sambil mengamati lukisan-lukisan yang terpajang.

"Dokter Kirana," sapa Adi yang sedang melambai tangan ke Kirana. Adi berlari kecil menghampiri.

"Halo." Balas Kirana riang.

Adi memperhatikan Kirana dari ujung kepala hingga kaki. "Wah, hari ini Dokter Kirana cantik banget."

Adi mengangkat kedua jempolnya untuk memuji Kirana.

Kirana tersipu malu.

Tanpa basa-basi Adi mengantar Kirana menuju sisi timur tempat pameran lukisan. Di sana sudah berdiri Bastian lengkap dengan jas hitam dan dasi silver. Memandang ke luar jendela.

Adi sadar diri dan buru-buru meninggalkan Bastian berdua dengan Kirana. Ia sudah tahu kalau tuannya butuh waktu bicara hanya berdua dengan Kirana.

Bastian seperti biasa nampak luar biasa tampan. Mata Kirana tak hentinya memandangi figur Bastian yang tampan bak patung porselen.

Entah keberapa kalinya, Kirana selalu terpukau dengan Bastian. Bukan hanya karena wajahnya yang tampan tapi aura pria itu berbeda dari lainnya.

Bastian memang kaya. Dan seharusnya tipikal pria yang tidak di sukai Kirana. Tetapi entah mengapa aura Bastian selalu bisa menarik Kirana untuk mendekat. Seperti sebuah magnet.

"Kamu sudah datang?" pertanyaan Bastian membuyarkan lamunan Kirana.

Bastian memperhatikan Kirana dari ujung kaki hingga ujung kepala dengan takjub.

Kirana sadar kalau Bastian sedang menatapnya seolah seumur hidup Kirana tidak pernah berdandan. Seolah ini pertama kalinya Kirana memakai pakaian terbaik lengkap dengan dandanan high class.

"Bas?" Kirana memanggil Bastian yang sedang melihat kearahnya secara intens.

Untuk sedetik Bastian tersentak dan kembali ke dunia nyata. Entah mengapa penampilan Kirana hari ini sungguh berbeda. Gaun, high heel dan make up melekat sempurna di tubuh mungil Kirana.

"Kamu luar biasa hari ini," guman Bastian.

"Luar biasa apa?"

"Cantik."

Nafas Kirana tertahan. Ia baru saja mendengar Bastian menyebutnya dengan kata cantik luar biasa. Apakah ini mimpi?

"Terima kasih," pipi Kirana merona merah.

Bastian dan Kirana berjalan perlahan memutari area pameran lukisan. Melihat bagaimana para pengunjung memperhatikan dan memuji setiap lukisan yang dipamerkan.

"Aku gak menyangka pameran ini ramai banget ya, Bas."

"Aku gak menyangka juga kalau banyak orang tertarik dengan pameran amal seperti ini."

"Mungkin orang-orang sadar kalau tujuan acara ini untuk membantu anak-anak kanker," Kirana menjawab dengan berseri-seri.

"Atau mungkin karena ada kamu?"

Kirana menatap Bastian dengan bingung. "Kenapa aku?"

"Soalnya acara ini ada kan karena Dokter Kirana begitu memperhatikan anak-anak kanker di rumah sakit. Jadi orang-orang tertarik untuk membantu membiayai mereka."

"Kamu bisa aja," Kirana tersenyum. "Panggil aku Kirana aja, Bas."

"Oke."

"Aku serius, Kirana," lanjut Bastian bersungguh-sungguh. "Siapapun yang melihat kamu begitu memperjuangkan anak-anak kanker pasti akan tersentuh juga. Kamu sampai shift malam berhari-hari demi mengecek kondisi mereka."

"Tunggu sebentar," Kirana melihat Bastian dengan pandangan curiga. "Kamu tahu dari mana kalau aku shift malam berhari-hari jaga anak-anak pasien kanker?"

Ekspresi Bastian berubah seketika. Sial, kutuk Bastian dalam hati.

"Hmmm… itu karena…" Bastian berusaha mencari alasan. Dia tidak ingin Kirana tahu kalau selama ini ia menyuruh orang untuk memata-matai keseharian Kirana. Mengikuti kemanapun gadis itu pergi.

Entah mengapa Bastian begitu ingin tahu keseharian Kirana sejak dirinya keluar dari rumah sakit. Ia ingin tahu apa kesibukan gadis itu. Siapa saja pasiennya. Apa kesulitan yang menimpanya. Intinya semua hal tentang Kirana.

Gara-gara mengetahui keseharian Kirana, Bastian juga jadi tahu kalau Victor mengunjungi gadis itu sambil membawakan banyak makanan.

"Tuan, Tuan," Adi berlari kecil menghampiri Kirana dan Bastian.

"Ya?"

"Setelah ini ada acara pembukaan. Tuan diminta untuk naik panggung sama MC," kata Adi.

Thanks God, Bastian bersorak dalam hati.

"Sori ya, Kir. Aku harus naik ke panggung. Kita bicara nanti ya," kata Bastian dengan senyuman paling menanwan.

"Tapi…" belum selesai Kirana berbicara, Bastian sudah pergi.

….

Kirana berjalan memutari area pameran sendirian. Ia sibuk mengamati bagaimana orang-orang menilai kualitas setiap lukisan yang dipamerkan dengan antusias.

Kirana juga suka lukisan. Ia percaya bahwa setiap lukisan pasti memiliki pesan tersembunyi. Meski tidak tahu persis apa pesan tersembunyinya, Kirana tetap semangat menatap semua lukisan di pameran itu.

Lalu mata Kirana berhenti pada lukisan langit biru yang di hiasi bulan bintang dan pemandangan kota. Warna dalam lukisan itu berkaya klasik. Seperti telah dilukis sejak berabad-abad lalu.

"Itu namanya The Starry Night karya Van Gogh yang dibuat pada tahun 1889," sebuah suara yang tidak asing muncul dari belakang Kirana.

Kirana menoleh. Di belakangnya sudah berdiri pria dengan banyak tindik telinga yang sedang melipatkan tangannya di dada santai. Victor.

"Kamu tahu tentang lukisan ini?"

Victor mengangguk. "Tentu. Aku menghapal semua lukisan klasik sampai kontemporer dari berbagai belahan dunia."

Kirana mengerjap kaget. "Kok bisa?"

"Karena aku menyukai lukisan. Sejujurnya hobiku waktu masih sekolah dulu melukis," kata Victor tanpa beban.

Kirana yang mendengar pengakuan mengejutkan itu hanya bisa tercengang beberapa detik.

"Kamu beneran serius waktu bilang hobi melukis?" Kirana tertawa kecil.

"Emang ada yang aneh?"

Kalau boleh jujur sih iya. Aneh banget. Kirana mengenal Victor memang baru saja. Pria itu jenis pria yang tidak akan mungkin menyukai lukisan. Tidak terlihat seperti seniman.

"Kalau boleh jujur, kamu jauh lebih cocok jadi mafia daripada pelukis," tawa Kirana.

"Kamu mengejekku?"

Kirana semakin tertawa. "Maaf, maaf. Aku gak bermaksud mengejek tapi emang penampilanmu gak seperti orang yang cinta melukis."

Victor hanya geleng-geleng kepala. "Ternyata kamu bisa bercanda juga ya."

"Kalau kamu begitu suka melukis kenapa gak jadi pelukis aja?" tanya Kirana.

Alis Victor terangkat. "Semuanya sulit kalau kamu adalah cucu di keluarga Dewandra. Kalau kamu terlahir sebagai orang biasa, mimpi kecilku bisa aja terwujud"

Ada nada pahit diperkataan Victor. Seolah menunjukkan keputusasaan. Bahwa untuk menjadi bagian dari keluarga Dewandra ada harga yang harus di bayar. Kirana sangat tahu perasaan anak yang terlahir dari keluarga kaya. Ia sendiri pernah mengalaminya.

"Kalau kamu punya mimpi, kamu harus memperjuangkannya sampai akhir. Aku rasa setiap orang punya hak memperjuangkan impiannya," Kirana memberi pendapat. "Lagipula melukis bukanlah hobi yang jelek."

"Menurutmu aku harusnya jadi pelukis?"

"Kenapa tidak?"

Beberapa saat Victor melihat Kirana dengan tatapan tak percaya, heran sekaligus takjub. Ia merasa ada percikan aneh di dalam dadanya. Percikan yang mungkin tidak pernah ia rasakan selama 27 tahun hidup di dunia.