Mobil sedan yang dinaiki Paman Hendri dan Victor masuk ke sebuah rumah megah di daerah Pondok Indah. Rumah seluas 2000 meter persegi itu terdiri dari 3 lantai dan kolam renang yang luas.
Begitu mobil berhenti di depan rumah tampak seorang wanita berusia 50 tahun dengan rambut ikal sebahu dan tubuh langsing menyambut. Bibi Diana namanya.
"Ya Tuhanku," Bibi Diana langsung memeluk putranya, Victor setengah menangis. "Syukurlah kamu selamat. Ibu cemas banget, Nak."
Tanpa mempedulikan suaminya, ia menggandeng putranya masuk ke rumah. Paman Hendri hanya bisa mendecakkan lidah kesal.
Dengan cekatan Bibi Diana mengambil obat dan es batu. Ia membersihkan luka-luka di wajah putra satu-satunya dengan hati-hati.
"Auww," Victor kesakitan begitu es batu menyentuh pelipisnya yang bengkak.
"Sakit ya, Nak?" Bibi Diana merasa bersalah. "Ibu, bakal pelan-pelan. Wajah ganteng anakku harus sembuh."
Melihat pemandangan itu Paman Hendri sangat berang. "Wajar kalau sakit. Dia habis jadi jagoan di klub malam! Dasar anak bodoh! Kalau tahu luka itu sakit kenapa malah berkelahi hah?!"
Bibi Diana bangkit. Ia berkacak pinggang dan memandang kesal ke suaminya.
"Harusnya kamu bersyukur putra kita gak kenapa-napa. Kamu pengen kita dapat kabar kalau Victor mati saat berkelahi? Lebih baik masuk kantor polisi asal nyawa anak kita selamat," kata Bibi Diana marah. "Kamu selalu memarahi putra kita. Yang penting dia pulang dengan utuh. Kenapa harus meributkan perkelahian klub malam terus-menerus sih?"
"Sikapmu yang kayak begini yang bikin Victor gak becus apapun. Kamu selalu memanjakannya, selalu membelanya," balas Paman Hendri tidak mau kalah.
"Memang apa salahnya seorang ibu memanjakan dan membela anaknya?!" Bibi Diana memakai nada tinggi. "Toh aku yang melahirkannya. Kamu kan gak tahu rasanya mengandung dan melahirkan jadi gak pernah bisa mencintai seperti aku mencintai anakku. Jadi tutup mulutmu!"
Bibi Diana mengacuhkan suaminya dan kembali mengobati luka-luka Victor. "Jangan hiraukan ayahmu, Sayang."
Victor melihat adegan di depan matanya ini selama 27 tahun hidup. Ayahnya suka marah dan memukulnya tapi ibunya akan datang membela. Dan akhirnya ayahnya kalah. Omelan ibunya selalu menang.
Pikiran Paman Hendri sedang suntuk. Di satu sisi memiliki anak pembuat onar seperti Victor membuat Paman Hendri berharap Bastianlah putra kandungnya. Di sisi lainnya punya istri seperti Bibi Diana membuatnya tertekan sebagai suami.
Malangnya nasibku, gerutu Paman Hendri dalam hati.
Paman Hendri kehabisan kata-kata. Ia menjatuhkan diri ke sofa yang tak jauh dari Victor duduk. Ia menyalakan TV.
Salah satu channel TV memberitakan penangkapan Victor. Bahkan pembawa berita menyebut penangkapan Victor sebagai "Skandal Besar Keluarga Dewandra." Tidak sampai disitu saja tayangan berita itu menunjukkan sekumpulan wartawan sedang menunggu di depan rumah ayahnya untuk meminta keterangan terkait skandal cucunya.
"Lihat ini semua!" amarah Paman Hendri memuncak lagi. Ia bahkan tidak peduli kalau Bibi Diana akan mengomelinya lagi. "Karena perbuatanmu, ayah akan kena marah habis-habisan kakekmu."
Victor tercengang. Ia menonton TV dan mendengar kemarahan ayahnya secara bersamaan. Ini akan jadi masalah besar, batinnya.
"Ya Tuhan, mimpi apa aku bisa mendapat putra gak berguna kayak ini," Paman Hendri mulai menyesal memiliki anak seperti Victor.
"Sejak kecil aku berharap kamu lebih hebat dari Bastian, nyatanya apa? Kamu selalu buat masalah di sekolah, di perguruan tinggi, di perusahaan bahkan di masyarakat. Lihat perbuatan bodohmu bisa bikin Bastian semakin mendapat dukungan dari para pemegang saham! Inilah sebabnya ayah selalu gagal menjadi CEO perusahaan. Karena punya pewaris tidak kompeten sepertimu!!" Paman Hendri semakin marah
"Ayah, aku bakal mengatasi semua ini. Aku bakal…" Victor berusaha menenangkan kemarahan ayahnya.
"Dengan cara apa?! Kamu bisa keluar dari penjara aja karena bantuan Miranda! Kamu gak becus menyelesaikan masalah apapun!" suara jeritan Paman Hendri menggema keseisi rumah.
Semua pelayan dan tukang kebun yang awalnya menjalankan aktivitas bersih-bersih mendadak menghilang. Mereka bersembunyi saat mendengar jeritan melengking Paman Hendri.
"Udah, udah," Bibi Diana bangkit berdiri. "Apakah dengan kamu meneriaki putra kita semua masalah beres?"
Paman Hendri melotot marah ke istrinya.
"Sayang, kita udah pernah melewati masalah seperti ini kan?" Bibi Diana mengingatkan suaminya. Di masa lalu Paman Hendri pernah terlibat skandal besar dan ia berhasil lolos setelah membungkam seluruh media di Indonesia.
"Tapi masalah ini gak sesederhana itu, Diana," kata Paman Hendri frustasi.
"Apa putra kedua Keluarga Dewandra gak punya kekuasaan untuk menyelesaikan masalah macam ini? Bukannya beberapa pemiliki media adalah sahabat baikmu? Satu lagi, kalau kamu takut ayah akan marah sama kita, biar aku aja yang menghadapi ayah. Ayah kan sangat sayang semua menantu perempuannya. Dia gak bakal tega membentakku," kini Bibi Diana memberi solusi. Ia mulai meremehkan kemampuan suaminya dalam melihat masalah.
Bibi Diana kesal karena suaminya selalu tidak lihai memecahkan masalah. Tidak heran Victor juga tidak bisa menyelesaikan masalah juga, batinnya kesal.
"Sayang, daripada sibuk mikirn para media dan ayahmu yang bakal marah besar seharusnya kamu mikir dari mana informasi penangkapan putra kita tersebar," lanjut Bibi Diana.
Istrinya benar. Paman Hendri tidak sempat berpikir darimana media mengetahui perkelahian dan penangkapan putranya. Bukankah kejadian ini baru saja terjadi semalam? Dan putranya juga sudah keluar dari kantor polisi pagi-pagi sekali?
….
Bastian dan Adi sedang menonton TV di ruang pemulihan. Mereka berdua menonton berita perkelahian Victor di klub malam sambil makan buah apel. Lebih tepatnya Bastian yang makan apel sementara Adi yang mengupas apel.
"Menurutku judul 'Skandal Besar Keluarga Dewandra' kurang bagus," kata Bastian sambil mengunyah apel fuji favoritnya. "Harusnya kamu nyuruh wartawan-wartawan itu nulis judul yang lebih clickbait."
"Maaf, Tuan, saya gak berpikir sejauh itu. Lagian kalau judul beritanya lebih bombastis dari itu saya takut Tuan Besar bakal semakin marah," sahut Adi.
Bastian memandang asistennya. "Justru lebih bagus kalau kakekku marah besar. Kamu gimana sih, Di? Kan emang ini tujuan kenapa kita membuat semua wartawan itu ngeliput Victor."
Meskipun judul berita kurang clickbait, Bastian sudah puas. Berita ini sudah cukup untuk membuat Paman Hendri kena masalah besar. Kakeknya pasti tahu berita ini. Bastian tidak sabar melihat kemarahan kakeknya pada paman dan sepupunya yang tidak berguna itu.
"Tapi saya punya firasat kalau Tuan Hendri akan membuat berita-berita ini segera hilang dari publik," kata Adi sambil sibuk mengupas apel.
"Gak masalah. Berita ini cukup membuat para pemegang saham ragu sama pamanku," katanya puas. "Pemegang saham gak akan percaya sama seorang pria yang gak becus membesarkan anaknya kan? Ini akan menguntungkan posisi kita, Di. Aku yakin banget."
Adi hanya manggut-manggut mendengar perkataan tuannya.
Bagi Bastian, ini hanyalah secuil pembalasan yang pantas didapat pamannya. Ia tidak sabar membalas pamannya di lain hari.