Kirana mengucek matanya. Ia masih sangat mengantuk tapi alarmnya sudah berbunyi keras-keras. Akhirnya mau tidak mau ia turun dari kasur.
Rambut ikalnya acak-acakan. Belum lagi matanya. Ada lingkaran hitam persis di bawah matanya. Sial, batin Kirana kesal.
Karena percomblangan yang sudah lama diatur Vero, Kirana menjadi korban. Ia datang ke ruang kerja manajer rumah sakit meminta ijin hari Sabtu ini untuk tidak jaga malam di UGD. Ia beralasan ada acara keluarga. Sayangnya pria tua botak menyebalkan itu tidak begitu saja memberikan Kirana cuti dengan bebas.
Kirana disuruh menjaga UGD dua hari berturut-turut lagi! Masalahnya sejak dua hari lalu UGD penuh sesak dengan pasien. Itu semua karena adanya demonstran yang memprotes kebijakan presiden tentang pandemic COVID 19.
Banyak dari para demonstran itu baku hantam dengan para aparat keamanan. Alhasil seluruh rumah sakit di Jakarta jadi korbannya. Banyak sekali pasien yang kepalanya berdarah-darah kena lempar batu, pasien luka di kaki dan pasien luka bakar di tangan. Sudah tidak terhitung lagi pasien yang diobati lukanya oleh Kirana.
Kirana baru berhasil pulang ke apartemen kemarin malam. Sewaktu ia pulang, Vero tidak ada di apartemen. Katanya dia ada pemotretan cover majalah di Bandung. Vero baru akan kembali Minggu siang.
Kirana mengecek kulkas. Hanya ada apel, jeruk, susu dan aneka sayuran. Ia mendengus kesal. Sejak tinggal dengan Vero 8 tahun lalu, kulkas hanya dipenuhi makanan-makanan diet milik Vero. Sepertinya aku harus berbelanja hari ini, batinnya.
Ponsel Kirana berdering nyaring. Vero menelpon rupanya.
"Halo, Kirana," sapa Vero.
"Halo, Ver. Ada apa?"
"Kamu sudah ambil cuti hari ini? Hari ini hari Sabtu lho," tanya Vero memastikan Kirana tidak kabur di hari Sabtu. Hari kencan.
"Sudah kok."
"Syukurlah," ada nada kelegaan dari suara Vero di seberang sana. "Oh ya jangan lupa malam ini jam 7. Kamu harus pakai gaun yang cantik. Kalau gak punya gaun, pakai gaunku yang belahannya rendah di lemari. Ingat kamu harus tampil seseksi mungkin."
"Tenang saja. Aku punya gaun kok," kata Kirana berbohong.
Ia jauh lebih memilih berbohong punya gaun cantik daripada harus memakai gaun dengan belahan rendah. Bisa dikira wanita murahan nanti, batinnya.
"Baguslah. Jangan lupa pakai make up dan coba berbicara seseksi mungkin," instruksi Vero.
"Tenang, tenang, Ver. Aku sudah tahu. Toh ini bukan pertama kalinya aku datang ke acara kencan kok," Kirana mengingatkan Vero soal kencan-kencannya di masa lalu akibat ulah sahabatnya ini.
….
19.00 WIB
Kirana sudah duduk di sebuah restauran bernama Madam Rose di daerah Jakarta Utara. Hari ini ia mengenakan gaun hitam satin selutut. Wajahnya di poles make up tipis. Tak lupa Kirana membiarkan rambut ikal sebahunya terurai dan hanya di beri sentuhan jepit rambut perak mungil.
Ia sengaja berpenampilan cantik seperti hari ini. Dia tidak ingin mengecewakan sepupu sahabatnya. Tapi.. setelah pertemuan ini, Kirana berencana menghilang dan susah di hubungi.
Dia ingin sepupu Vero perlahan menjauh karena Kirana mengacuhkannya. Dan biasanya teknik ini berhasil menyingkirkan semua pria yang selama ini dicomblangkan Vero dengannya.
Tak beberapa lama kemudian, seorang pria dengan kemeja lengan panjang berwarna coklat datang. Rambutnya keriting dan di potong pendek. Tubuhnya setinggi 180 sentimeter. Sebingkah kacamata kotak terpasang rapi di wajahnya.
"Kirana ya?" tanya pria berambut keriting itu.
"Iya. Kamu?"
"Perkenalkan aku Leo," kata pria bernama Leo itu sambil mengulurkan tangan menjabat Kirana.
Leo mengambil tempat duduk di depan Kirana. Pria di depannya ini bukan jenis pria yang jelek tapi juga bukan pria yang tampan. Karena Kirana sudah pernah melihat pria yang benar-benar tampan yaitu Bastian.
"Kamu kok bisa langsung mengenaliku?" tanya Kirana penasaran.
"Vero mengirimkan fotomu padaku. Ternyata kamu secantik yang di foto," katanya blak-blakan.
Kirana kaget. Baru pertama kali ia bertemu pria yang langsung memujinya cantik di kencan pertama seperti ini.
Sekalipun Victor, sepupu Bastian suka memanggilnya 'dokter cantik' Kirana tidak merasa kaget. Victor itu tipikal penakluk wanita. Bisa dipahami kalau dia bermulut manis.
Tapi sepupu Vero ini sangat berbeda. Tampangnya Leo lebih mirip kutu buku. Tapi gaya bicaranya seperti penakluk wanita. Aneh bukan?
"Terima kasih," jawab Kirana singkat.
Setelah berbasa-basi selama 10 menit, Leo memesan makanan untuk mereka berdua. Leo memesan rib eye sementara Kirana memesan tenderloin steak.
"Jadi kamu seorang dokter? Kerja di rumah sakit mana?" tanya Leo.
"Iya. Aku kerja di Rumah Sakit Amerta," jawabnya. "Kalau kamu?"
"Kalau aku sebentar lagi akan mewarisi perusahaan orang tuaku. Perusahaan batubara di Kalimantan," sahut Leo. "Perusahaan orang tuaku sekarang sudah menempati urutan 10 besar perusahaan batu bara paling besar di Indonesia. Aku yakin sih dengan kepemimpinanku kelak, perusahaan batu bara ini akan menjadi nomer 1."
Kirana hanya mangut-mangut mendengarkan. Ia tidak tertarik dengan cerita kekayaan seperti ini.
"Waktu kuliah di Amerika aku sempat magang di perusahaan teknologi. Kata atasanku aku bisa menjadi pemimpin dan punya bakat sebagai pengusaha sukses. Dan memang kenyataannya begitu…."
Seluruh kata-kata Leo hanya sekedar lewat di telinga Kirana. Leo adalah pria paling menyebalkan yang pernah Kirana temui di waktu kencan seperti ini. Dia sangat narsis, hanya menceritakan dirinya dan suka pamer harta kekayaan.
Pria jenis seperti inilah yang paling tidak disukai Kirana. Tidak bisakah pria kaya tampil tetap rendah hati? Tidak bisakah semua pria kaya bersikap baik seperti Bastian? Astaga, umpat Kirana dalam hati. Kirana mulai kebiasaan membanding-bandingkan semua pria kaya dengan Bastian.
Bastian sempurna. Setidaknya itu pendapat Kirana. Bukan karena kekayaannya yang membuat seorang Bastian Dewandra begitu mengagumkan. Kirana mengingat detail setiap pertemuan mereka di rumah sakit, bagaimana senyum pria itu dan bagaimana cara pria itu memperlakukan dirinya.
Ia juga ingat bagaimana Bastian begitu peduli dengan pasien anak kanker. Bagaimana pria itu repot-repot membuat acara amal pameran lukisan yang uangnya akan disumbangkan untuk anak-anak kanker.
Sekarang Kirana berharap pria di depannya adalah Bastian. Bastian Dewandra.
"Kirana," panggil sebuah suara dari arah belakangnya.
Kirana membalikkan tubuh. Di depannya tampak Miranda, ibu tirinya bernama Tante Liz dan… ayah kandungnya. Mereka bertiga mengenakan pakaian rapi seolah akan pergi berpesta.
Miranda seperti biasa mengenakan gaun panjang dengan belahan V rendah. Rambutnya di buat ikal bergelombang. Ibu tirinya, si Tante Liz berpenampilan tidak kalah heboh. Rambutnya dibuat mengembang dan ia mengenakan gaun berwarna emas. Sementara itu ayahnya mengenakan jas hitam.
Harus Kirana akui, wajah ayahnya sangat mirip adik laki-lakinya, Keenan. Ayahnya punya wajah oval kurus, hidung mancung dan alis yang tebal. Pria yang dalam ingatan Kirana begitu gagah di masa mudanya, kini telah berubah menjadi pria paruh baya kurus dengan rambut yang telah berwarna abu-abu.
"Rupanya ini alasan kamu gak mau makan malam merayakan hari ulang tahun ayah?" tanya Tante Liz dengan tajam. "Gak kusangka seorang Kirana lebih memilih berkencan daripada bertemu keluarganya. Sungguh ironis."
"Biasanya Kirana bilang sibuk karena harus jaga di rumah sakit. Setiap tahun dia bilang gak bisa makan dengan kita. Eh gak tahunya dia malah sibuk pacaran. Mungkin selama ini dia berbohong ke kita, Bu," Miranda menambahi kata-kata ibunya.
Vero benar. Wanita jalang selalu punya keturunan jalang. Mulut Tante Liz dan Miranda sama saja. Sama-sama berbisa dan tidak ada tata kramanya.
"Bukankah aku sudah bilang kalau aku memang gak bisa hadir?" balas Kirana. Ekor matanya melirik ayahnya yang diam seperti patung.
Miranda menyibakkan rambutnya. "Ya. Tapi penolakanmu makan dengan keluarga membuktikan kalau kamu anak yang gak peduli sama orang tua."
"Oh, mungkin karena kamu sudah mendapat seorang pria kaya yang bisa menjamin hidupmu? Gak kusangka ternyata kamu juga mengejar pria dengan banyak harta," lanjut Miranda sinis.
Leo hanya bisa menatap kejadian di depannya dengan mata terbelalak. Ia tidak habis pikir bahwa di hari pertama kencan akan melihat drama keluarga Kirana.
Sementara itu, ayah Kirana diam tak bergeming. Ia bahkan tidak memandang wajah sedih Kirana yang di tuduh aneh-aneh oleh Tante Liz dan Miranda.
Dituduh sengaja tidak mau makan malam merayakan ulang tahun ayahnya demi mengejar pria kaya. Sejak kapan dirinya adalah wanita murahan yang mengerjar pria kaya?
Mereka semua tidak paham. Kirana tidak bisa begitu saja duduk makan malam bersama orang-orang yang sudah menghancurkan keluarga bahkan hati almarhum ibunya.
Kirana tidak bisa pura-pura lupa bagaimana ibunya bersedih ketika ayahnya memutuskan untuk menikah lagi. Tidak bisakah mereka mengerti sakit yang ia rasakan?
Tiba-tiba sebuah tangan hangat memeluk pinggang Kirana. Lalu aroma mint yang menyeruak ke hidungnya. Aroma yang sangat familiar. Aroma dari…
"Perkenalkan saya Bastian Dewandra," kata Bastian memeperkenalkan kepada Miranda, Tante Liz dan ayah Kirana. Pria itu kini memeluk pinggang Kirana erat seolah tidak mau melepasnya.