Cail merasa seperti dipukul di bagian belakang kepala ketika menyadari identitas anak itu di masa depan. Eire, pengelana terkuat di waktu mendatang itu hanya menatapnya tanpa emosi apapun kemudian mengalihkan perhatian ke langit, Haruzel melayang di atas sana memperhatikan mereka dengan gembira.
Dua lainnya tanpa emosi dan bahkan tidak meliriknya sama sekali. Cail merasa bahwa dia satu-satunya yang malah memikirkan hal lain daripada apa yang seharusnya.
Ujian belum berakhir. Ini baru tahap awal percobaan. Cail sendiri tidak mengerti rangkaian ujian yang direncanakan Haruzel, yang dia tahu hanyalah Alkemis Apprentice tersebut memiliki kepribadian yang aneh.
Yang terakhir dengan terang-terangan menyatakan bahwa identitasnya dengan tag nama yang bisa dilihat dan sebuah bros dengan bentuk lambang tertentu. Oleh sebab itu, Cail dan tiga anak lainnya mengetahui tentang Haruzel, penyiksa ataukah mereka bisa menyebutnya pembimbing?
Cail tidak ingin mengidap keterikatan emosi dengan orang gila seperti Haruzel, ah semacam sindrom Stockholm. Jadi, dia akan menahan segala bentuk siksaan untuk saat ini sampai kekuatannya cukup untuk melarikan diri. Masalah dengan tiga anak lainnya itu bukan urusannya. Mereka sudah cukup kuat sejak awal, terutama Eire.
'Seperti yang kuduga, anak itu sangat menarik. Dia dapat membangkitkan kekuatan Wraith sampai batas tertentu,' pikir Haruzel dalam suasana hati yang baik.
Karena pengujian awal sudah selesai, saatnya menuju tahap 1 dari eksperimen Chimera. Haruzel telah menyiapkan semua prosesnya dengan cermat, yang harus menjadi perhatian adalah apakah keempat anak itu bisa menahannya?
Haruzel juga memperhatikan Eire, satu kata dalam kepalanya sebagai apresiasi. "Keajaiban." Dia mengantisipasi dua anak laki-laki lainnya yang masih tampak sedikit normal sekarang. Namun, siapa yang tahu apakah mereka akan berubah secara signifikan setelah tahap 1?
Cail dan tiga anak lainnya diangkat oleh sihir Haruzel menuju tepi tebing. Selain Cail, yang lain memasang ekspresi sengit di wajah mereka.
Bagi Cail, siksaan ini terlihat tak ada hubungannya dengan dirinya. Itu perasaan yang aneh, tentunya mungkin karena sampai taraf tertentu, dia menganggap dunia ini sebagai novel, bukan kenyataan. Walaupun itu menyakitkan, ada sesuatu yang membuat dia bertahan, keinginannya bertemu protagonis novel ini.
Mata violetnya merefleksikan penampilan Haruzel yang masih muda, sekitar empat sampai lima tahun perbedaan usia di antara mereka. Rambut biru cerah dan iris dengan warna yang sama merupakan keindahan kalau saja pemiliknya bukan orang seperti Haruzel. Cail merasa kecewa berat.
Mengapa orang dengan penampilan begitu baik itu memiliki sifat yang mengerikan?
"Bagus sekali. Aku sangat senang. Sekarang, aku akan menjelaskan apa yang akan kulakukan pada kalian," tutur Haruzel yang berhenti melayang dan menapakkan kaki di tanah.
"...tapi, sebelum itu," lanjutnya sambil menjentikkan jari.
Luka-luka Cail dan anak lainnya sembuh tanpa bekas. Cail tercengang dan menatap Haruzel dengan mata terbelalak. Eire juga mengubah ekspresinya menjadi rasa penasaran.
Sementara itu, Hen dan Zen, dua anak laki-laki lainnya, bingung dan saling memandang. Mereka berdua adalah saudara kandung.
"Apakah kalian terkejut?" tanya Haruzel yang tersenyum. Kemudian dia menjilat bibirnya diiringi kata-kata, "Aku ingin kalian salah paham padaku."
"... Tak ada kekuatan yang bisa didapat tanpa rasa sakit. Tahap pertama, kalian perlu mengembangkan konstitusi yang memadai."
Tepat ketika kalimatnya selesai, langit-langit biru dan segala hal pecah berkeping-keping, dan mereka semua kembali ke ruangan di dalam menara.
Dikelilingi oleh sejumlah besar Alkemis lain, Cail sampai pada satu kesimpulan.
'Akhirnya, eksperimen Chimera yang sebenarnya dimulai. Ramuan awal hanya untuk mengetes ketahanan kami terhadap penyerapan kekuatan asing.'
Eire juga mengerti apa yang akan terjadi pada mereka, subjek uji Chimera. Akankah ada yang selamat atau tidak, semuanya dimulai.
***
⸢"Hei, jika saja aku bisa datang lebih awal, apakah kau mau menjadi temanku alih-alih menganggapku musuh, Rui?"⸥
Gluuk!
"Glup!"
Cail tersentak, tubuhnya dililiti oleh sejumlah alat khusus dan wajahnya ditutup oleh topeng pernapasan. Dia berada dalam tabung berisi zat-zat cair yang merupakan campuran ramuan dari berbagai kekuatan asing.
Dia terguncang, itu karena satu hal. Nama protagonis yang sangat sulit dia ingat semenjak dia datang ke dunia ini.
Dia sejujurnya tidak terlalu mempermasalahkannya, dia akan bisa mengenali protagonis jika melihat penampilannya langsung, sesuai dari deskripsi novel yang dia baca.
Dia beralasan pada diri sendiri bahwa semakin sering sebuah nama dilantunkan, dia akan semakin mudah melupakannya, ini merupakan salah satu gejala psikologis yang dia pelajari.
Namun, Cail tentu saja tak yakin sepenuhnya pada gagasan tersebut.
Dia tidak punya ide lain untuk menjelaskan keanehan ini.
'Mengapa?'
Kesadaran Cail hilang timbul beberapa kali.
'Jadi, namanya Rui... '
Cail bermimpi.
Itu merupakan mimpi absurd yang membalikkan persepsinya tentang dunia.
Rasanya tidak masuk akal. Mengapa ada hal semacam itu?
Dalam mimpi, dia meraih ke arah cahaya terang berwarna biru gelap, tetapi itu sangat jauh, dia tak bisa menggapainya.
Perasaan tercekik memuakkan menguasai rohnya hingga dia berpikir semuanya sia-sia, frustrasi, dan....
Cail melihat jam ilusi yang berputar mundur.
Mimpinya berakhir.
Cail merasakan rasa sakit di sekujur tubuhnya, sungguh menyakitkan. Jika dia masih Yoo Han yang naif, dia akan berteriak-teriak keras sampai suaranya habis.
Sayangnya, itu mustahil di sini.
Ada saat Cail memperhatikan ekspresi Haruzel dari balik tabung, aneh, itulah yang Cail pikirkan.
Bukankah seharusnya Haruzel yang paling bersemangat?
Cail memang mengingat alur novel "Ways of Heroes", tetapi Cail kesulitan untuk mengingat nama karakter sampingan. Kecuali, kata-kata novel itu terbang keluar ke benaknya sendiri layaknya penyebutan tak terduga nama protagonis. Dia curiga ada sesuatu terkait kemunculan setiap potongan novel tersebut.
Mungkinkah Dewalah yang melakukannya? Ataukah entitas yang setara?
'Rui....'
Cail tertidur lagi, dia tidak lupa melirik teman satu perjuangan, Eire, yang tabungnya berada di dekatnya. Sementara, dua anak lainnya ada di ruang lain. Eire masih hidup.
'Apakah dua anak itu dapat bertahan. Aku tidak memiliki kemampuan mengurangi rasa sakit, namun pikiranku yang terpaku pada novel tampaknya membantu perjuanganku,' pikir Cail dengan rasa pahit di hatinya.
⸢"Rui, aku sangat mengagumimu, aku menyesalkan fakta bahwa kau menghalangi jalanku. Namun, kupikir kau berhak memperolehnya."⸥
Lagi. Cail tidak bisa tidak mengutuk di hatinya kepada dewa atau entitas manapun itu yang mempermainkannya dengan teks-teks novel tersebut.
Cail membuka matanya dengan linglung. Tanpa dia sadari, ada sobekan besar dalam kenangannya menyangkut novel "Ways of Heroes".
Iris violet Cail berbinar cerah dalam kondisinya, Alkemis Senior dan Haruzel yang menjaga tahap pertama eksperimen tercengang.
"Itu.... "
Haruzel menjatuhkan dokumen analisis kemungkinan keberhasilan eksperimen. Makalah berceceran di kakinya saat mata biru mudanya bergetar.
"Subjek macam apa yang kau ambil?!" Alkemis Senior berteriak, tampak ketakutan.
Alkemis pembantu, yang bekerja mondar-mandir, berhenti ketika melihat Alkemis Senior dan Haruzel dalam perdebatan.
Haruzel tergagap. "A-aku, aku tidak tahu, anak itu... "
Mereka dalam kekacauan.
Alkemis Senior segera memerintahkan dengan tegas. "Sampaikan pesan ke Master Menara, siapapun, cepat!"
Alkemis Menengah yang menjalankan misi penting tersebut langsung menyiapkan altar teleportasi dengan bubuk khusus. Beberapa detik kemudian, Alkemis Menengah menghilang.
Alkemis Senior berkata pelan, "Mari berharap Master Menara dapat mengurusnya."
Sementara itu, Cail bertanya-tanya mengapa orang-orang di luar begitu kacau, dia melirik dengan sudut matanya ke Eire, yang juga terbangun.
Mata abu-abu Eire dingin dan terkesan acuh tak acuh, Eire diam-diam memiliki pemahaman tentang alasan para Alkemis itu ketakutan, Eire peka terhadap perubahan suasana meski hanya menjadi pengamat.
Melewatkan banyak petunjuk, Cail yang kelelahan segera menutup matanya dan bermimpi hal yang sama lagi.
***