Apa itu perasaan?
Menurutku, perasaan adalah hal yang termasuk dekat dengan diri kita. Merasakan dan peduli dengan suatu keadaan, itulah ia. Semua orang pasti punya perasaan. Mulai dari penjahat sampai orang bijak. Aku percaya hal tersebut. Entahlah, mencoba untuk percaya bolehkan?
Perasaan itulah yang menimbulkan seseorang senang hingga sedih, dan perasaan-perasaan aneh lainnya yang tidak bisa kusebutkan satu per satu. Perasaan itulah yang akan membentuk kepribadian baik seseorang.
Sementara itu, apa itu emosi?
Menurutku, emosi juga bagian dari perasaan, namun ia lebih sembrono. Ia bisa sangat tidak stabil saat sudah menguasai diri kita. Tidak peduli apa yang akan terjadi, dia bisa-bisa melakukan apa saja untuk mencapai apa yang ia inginkan.
Menakutkan ya?
Tapi aku sangat salut terhadap orang yang dapat mengontrolnya. Keinginan-keinginan dari si emosi inilah yang bila tak terkendali dapat membentuk kepribadian seseorang kurang baik. Bisa jadi sangat buruk atau bisa jadi baik bila terarah.
Namun, bagaimana jadinya jika kedua hal tersebut malah membentuk sisi lain dari dirimu atau bisa kusebut kepribadian lain dari dirimu? Selamat datang di kisahku si alter ego.
Perkenalkan namaku Soni, Soniadi Putra. Merupakan bocah lelaki remaja yang baru saja masuk SMA. Aku adalah si alter ego yang memiliki tiga sisi. Mungkin bisa dibilang 3 kepribadian. Mereka adalah si bening, si putih, dan si hitam.
Si bening adalah diriku sendiri yang sangat mudah terpengaruh oleh mereka berdua si putih dan si hitam. Si bening ini seperti bocah, ia – ehem - maksudku diriku benar-benar belum tahu mana yang lebih baik dan mana yang kurang baik. Mereka si putih dan si hitamlah yang seakan-akan berperan sebagai para kakak. Mereka lebih mengerti mengenai masalah tersebut.
Si putih adalah sosok yang lebih mengutamakan perasaan. Ia juga lebih memikirkan bagaimana dampak kedepannya yang lebih baik. Tidak ingin merugikan orang lain adalah salah satu sifatnya yang sering muncul mempengaruhiku. Ia adalah sosok yang lembut.
Di sisi lain ada si hitam yang penuh dengan emosional. Ia hanya ingin apa yang kuinginkan dapat kulakukan bagaimanapun kedepannya. Entah itu akhirnya baik atau buruk bagi orang lain. Bahkan untuk diriku sendiri ia tidak peduli. Sepertinya ia hanya ingin meluapkan apa yang ada dalam diriku. Ia adalah sosok yang tegas. Ya walau lebih ke arah melampaui batas. Tapi jujur mereka berdua benar-benar merepotkanku.
Tidak jarang mereka berdua bertengkar dalam diriku. Saat aku sedang memirkirkan suatu hal, mereka berdua sangat suka ikut campur. Contohnya saat ada kerja kelompok.
Saat teman-teman sedang berdiskusi mengenai apa saja keperluan yang dibutuhkan dalam tugas. Aku mendengarkan diskusi teman-teman. Terkadang aku sangat diam sedikit bicara. Terkadang juga sangat frontal seakan-akan mengatur semua semaunya. Yap, saat itulah mereka berdua mengatur-atur mengambil alih diriku. Dan setelah diskusi itu selesai, sering kali aku diam memikirkan perbuatan yang tadi.
Mungkin orang lain melihatku nampak diam, tapi mereka tidak tahu apa yang terjadi di dalam. Cekcok cukup panjang yang sudah bagai santapan harianku tiap hari. Dan selalu dimulai dari si hitam.
"Apa-apaan lu tadi nyuruh si Soni diem aja!? Napa sih lu ndak ngasih dia kebebasan!? Ini kan negara bebas berpendapat!"
Si putih mendengarkannya dengan tenang dan menjawabnya dengan tenang juga.
"Sebelum ngomong itu dipikir dulu, jangan setelah ngomong baru mikir. Nanti kalau kita terlalu ceplas-ceplos takutnya semua tugas di kasih ke kita, kan ndak adil."
Aku bisa merasakan apa yang mereka berdua rasakan. Itu karena mereka berdua adalah bagian dari diriku. Si putih sedang menanggapi dan memikirkan baik-baik pendapat si hitam.
"Kalau semua tugas diberikan padaku, ibu bisa marah karena tahu seakan-akan aku dimanfaatkan teman-teman" pikir si putih.
Sementara itu si hitam sedang geram pada si putih dan langsung meluapkan apa yang ia pikirkan.
"Tapi kan itu juga baik! Membantu orang lain"
"Tapi kita tidak bisa memaksakan diri. Kita bantu saja sebisanya. Jangan terlalu membebani diri sendiri" jawab si putih dengan tenang.
Si hitam makin kesal. Belum selesai sampai sana, si putih kembali berkata memperkuat argumennya.
"Lagi pula, kalau sampai ibu tahu kita melakukan semua tugas kelompok sendiri, nanti ibu juga bisa marah sama teman-teman karena mengira kita dimanfaatkan. Bukannya kau sendiri tidak suka dimanfaatkan?"
Pertanyaan itu membuat si hitam terkejut membatu. Ia mencari-cari alasan untuk membalik argumen si putih.
"Bukannya kau sendiri suka membantu orang lain!?" tanya balik si hitam dengan keras.
Si putih mulai mengeluh. Tapi ia tetap mencoba tenang.
"Kan sudah kubilang, nanti ibu ngiranya kita dimanfaatkan. Kasian juga teman-teman kalau ibu mengira mereka anak-anak yang nakal, padahal kan sebenarnya mereka tidak begitu"
"Ya biarin! Salah mereka sendiri!"
Si putih mulai terpancing kesal. "Kau ini selalu egois" jawab si putih sinis. Akhirnya kuputuskan untuk membantu teman-teman semampunya saja. Dengan begitu mereka berhenti berdebat.
Meski mereka berdebat sekeras apapun, keputusan tetaplah pada diriku. Walaupun terkadang salah satu dari mereka pernah mengambil alih.
Pernah dulu SMP, saat sedang senang-senangnya. Aku bisa dan mau melakukan apapun kebaikan. Apa pun, siapa pun, dimana pun, semua kulakukan asal bisa. Tentu dengan melihat batas kemampuan.
Hingga pernah saat itu dipanggil salah seorang teman sekelas. Ia duduk dibelakang bersama teman-teman yang lain. Tumben sekali mereka mengajakku. Namun untuk apa memedulikan hal tersebut. Aku hanya mencoba baik.
Salah seorang dari mereka menyuruh duduk dengan nada yang baik. "Kemari kemari, duduk sini" ucapnya. Entah mereka mau apa. Senang saja akhirnya mereka mulai mengajakku. Maklum aku anak yang kurang sosial. Belum menaruh diri di kursi, salah seorang dari mereka menarik kursiku. Mereka semua tertawa. Tapi dia yang menarik kursiku bilang, "Cuma bercanda." Oke, masih tidak apa-apa. Mungkin bercandaan mereka setiap harinya begitu. Aku kembali duduk.
Mereka berbincang-bincang, juga bertanya-tanya padaku. Mereka bertanya tentang mengapa aku tidak ikut kumpul dengan yang lain, mengapa aku diam saja, dan berbagai pertanyaan lainnya. Tanpa sadar, ternyata mereka mempersiapkan seekor katak.
Seseorang memasukkan katak itu ke bajuku dari belakang.
"HIIIIII!!!!" teriakku.
Aku langsung panik. Meronta-ronta membuka baju dan ketakutan. Tak sadar ternyata juga ada anak perempuan di kelas itu. Bukan itu yang membuat malu. Sesaat aku sadar mereka merekam kejadian tersebut. Kesalku mendadak melonjak. Dengan cepat si hitam menguasai diri ini. Tanpa pikir panjang kuambil sebuah kursi. Melemparkannya pada anak yang mengisi bajuku dengan katak.
Aku sudah tidak peduli.
Semua anak langsung berlarian takut terkena lemparan. Apa pun yang dekat kulempar. Sampai lemparan terakhir. Sebuah vas yang tak sengaja mengenai kepala seorang guru. Beliau baru masuk kelas di depan pintu. Beliau sudah setengah teriak untuk menyuruh berhenti. Namun, hantaman vas itu membuat beliau pingsan dan cukup pendarahan di kepala. Si putih langsung mengambil alih diriku, menyuruh berhenti.
Bingung dan menyesal jadi satu, walau sebenarnya masih kesal. Aku sudah merelakannya.
Belum sempat mengenakan baju, murid-murid dari kelas lainnya mulai berdatangan. Beberapa guru juga datang untuk menyuruh berhenti.
Mungkin para guru mengenalku sebagai anak yang pendiam. Desas-desus pertanyaan mereka mulai terdengar, "Kenapa? Kok bisa?" Tentu awalnya ditanya-tanya dengan emosi. Dan berakhir di ruang BK dengan malu dan rasa kesal.
Anak-anak yang nongkrong bersamaku tadi juga dipanggil. Orang tuaku dipanggil. Dan bertanggng jawab mengganti rugi atas semua tindakanku.
Parah memang, tapi itu dulu.
Ya… dan sekarang mereka berdua masih sering bercekcok di dalam diriku.