Chereads / My Three Side / Chapter 2 - Telat

Chapter 2 - Telat

Aku masih terlelap, menikmati tidur, mengarungi dunia mimpi. Benar-benar sebuah bunga tidur. Hingga sebuah guncangan dan suara bernada cepat mengusiknya.

"Nak! Nak! Bangun udah jam enam!"

Aku yang tak percaya  langsung melihat jam dinding di tembok kamar walau mata masih terasa sipit.

"Ah, masih jam lima" gumamku.

Sontak suara bernada cepat itu tidak hanya cepat, namun juga semakin keras.

"Itu jamnya mati! Sekarang sudah jam enam!" Mataku langsung terbelalak.

"JAM ENAM!?!?" tanyaku terkejut.

Ternyata itu ibuku. Tunggu tunggu, bukan itu masalahnya. Ini hari pertama pelajaran di SMA. Aku harus cepat. Antara kesal dan tergesa-gesa menjadi satu.

"Kok aku gak dibangunin!?" tanyaku.

"Ini tadi semuanya bangun kesiangan" jawab ibu sambil tergesa-gesa langsung keluar kamar.

Aku langsung bangun dari kasur. Berjalan cepat, dan segera ke kamar mandi. Saat aku keluar kamar semuanya sedang gaduh. Ayah yang buru-buru segera ke kantor. Ibu yang terburu-buru karena sarapan belum matang. Dan kakak yang…

Owh

Dia santai menonton tivi. Mungkin kuliah siang.

Aku melihat ayah sudah membawa sebuah handuk dipundaknya. Itu tanda ia sudah siap untuk ke kamar mandi belakang. Ini tidak bisa dibiarkan!

"Yah aku mandi dulu ya!" teriakku yang tergesa-gesa.

Mendengar itu ayah sontak manjawab, "Eh! Bentar, dek, ayah mandi dulu, sebuueeentar aja" rayunya.

Si hitam yang tidak terima langsung memberontak. Tapi si putih juga tidak mau kalah. Dengan cekatan ia menahan si hitam. Itu membuatku berpikir sejenak.

"Eh nggak bisa gitu dong! Ini hari pertama kita dapat pelajaran di sekolah! Masa udah telat!?" geram si hitam.

"Mungkin ayah lagi buru-buru ada rapat pagi" jawab si putih tenang.

Tapi sebentar, lagi-lagi pikiranku teralihkan. Saat ini bukan waktunya mempermasalahkan itu.

"Yah, tapi-"

Aku yang belum selesai bicara langsung terdiam. Ayah sudah menutup pintu kamar mandi dari  dalam.

"BODOH!!!" kesal si hitam.

Ayah yang sudah mulai mandi berteriak dari dalam, "Ayah ada rapat pagi, nanti tak anter."

"Tuh! Pakai diantar juga, enakkan?" sahut si putih.

Tapi bukan itu permasalahannya. Kali ini aku lebih setuju dengan si hitam.

"Tapi bukan itu masalahnya! Sama aja kita telat!" sahutku balik berbarengan dengan si hitam.

Dengan santainya si putih menjawab, "Tenang, kan ada kamar mandi depan" Oh iya, baru ingat. Aku bergegas pergi ke kamar mandi depan. Maksudku, toilet depan. Disini hanya tersedia sebuah toilet jongkok, kran air, sabun cair dalam botol, ember kecil, gantungan pakaian, dan sebuah gayung. Itu masih bisa untuk mandi.

Tanpa pikir panjang langsung saja mandi. Sikat gigi? Ya itu bisa nanti dulu. Tak lebih dari lima menit aku sudah selesai. Segera keluar dengan mengenakan handuk saja.

Oh iya, aku lupa.

Tidak ada cara lain.

"KAKKKK!!! HANDUKKUUUU!!!!" teriakku panik dari dalam kamar mandi.

"Iya bentarrrr!!!!" kakak menjawabnya dengan santai setengah teriak.

Aku hanya bisa menunggu. Tiba-tiba ada suara ketukan di pintu.

"Nih!" ucap kakak yang sudah di depan pintu. Segera kuulurkan satu tangan keluar sambil menyembunyikan diri di belakang pintu. Kakak memberikannya. Segera kembali menutup pintu dan mengeringkan tubuh dengan handuk. Bodo amat keluar kamar mandi hanya mengenakan handuk, langsung bergegas ke kamar.

Sampai di kamar, aku langsung membuka lemari, mengambil seragam sekolah. "Bukunya belum dimasukin ke tas tuh" mendadak ucap si putih mengingatkan.

Oh iya, langsung saja mengambil buku sesuai jadwal hari ini di rak buku.

Sebentar!

Aku kan belum dapat jadwal.

"Sok rajin lu! Padahal jadwal aja belum dapet" sahut si hitam. Belum sempat salah satu dari mereka bicara lagi, aku langsung memotong pembicaraan.

"Sssttt!!! Udah nggak usah banyak bacot yah, langsung lakuin aja, ok?" Aku mencoba tetap tenang namun harus cepat. Selesai berurusan dengan yang di kamar, langsung berpindah membawa tas keluar dan segera ke meja makan. Sarapan itu penting loh. Si hitam pun memulai debat.

"Sarapan nanti ajalah di kantin…, keburu telat"

Si putih yang tidak setuju menanggapi ucapan si hitam.

"Eh jangan! Ngehemat! Paket data mau abis nanti gimana belinya? Kasian ayah yang tiap hari kerja, belajar mandiri juga"

Ada benarnya. Tapi untuk saat ini, lakukan saja apa yang lebih baik menurutku. Mereka berdua debatnya tidak di saat yang tepat. Si hitam hanya tertawa kecil dan berkata, "Mampus lu dikacangin, banyak bacot sih"

"Kau juga dikacangan, kita dikacangin" jawab si putih lebih pintar. Dengan begitu si hitam terdiam.

Sampainya di meja makan, kok belum ada apa-apa? Hanya ada dua cangkir teh.

"Loh? Bu?" tanyaku heran.

Ibu yang nampaknya sudah hampir selesai masak mulai membawakan sarapan ke meja.

"Kamu ambil nasinya sendiri ya!" ucap ibu sambil tergesa-gesa.

Langsung saja, kuambil piring. Membuka penanak nasi, menciduk satu centong, dan segera duduk di kursi meja makan. Melahapnya dengan cepat. Ibu yang sudah selesai menyiapkan semuanya segera menemaniku sarapan. Sayangnya aku sudah selesai duluan. Segera bangkit dari meja makan, berpamitan pada ibu yang sedang duduk di hadapanku. Kucium tangannya sebagai tanda pamit untuk pergi sekolah.

"Aku berangkat dulu ya"

"Iya hati-hati" jawab ibu seperti biasa, ramah.

Ayah yang baru saja melangkah ke ruang makan terlihat heran. Aku yang tergesa-gesa tak sengaja menenggornya. Langsung saja kucium tangannya dan pergi.

"Aku berangkat" ucapku tergesa-gesa.

Ayah yang melihatku begitu hanya mengiyakan saja. Lalu ia bertanya, "Ndak usah dianter, Dek?" Aku sudah terburu-buru sehingga menghiraukan perkataan ayah. Langsung saja ke garasi, mengambil sepeda dan siap berangkat. Tiba-tiba seseorang memanggil namaku.

"Soniiii!!! Ini tasnya ketinggalan" teriak ibu sambil membawakan tasku.

"Makasih, Bu"

Langsung kukenakan tas, menyalakan sepeda motor dan segera berangkat. "Hati-hati!" kembali ibu mengkhawatirkanku.

Hampir sesampainya di sekolah, dari jauh sudah terlihat seorang guru. Beliau sudah berjaga di depan gerbang sekolah yang tertutup.

"Mampus dah! Padahal sudah cepat, tadi kita berangkat jam berapa sih?" si hitam mulai memprovokasiku. Perasaan tadi berangkat dari rumah jam enam lebih lima belas menit.

"Harusnya kan cukup, perjalanan dari rumah kalau cepet kan harusnya cuma dua puluh menit!?"

Kali ini ucapan si hitam logis juga. Kata kakak OSIS waktu masa orientasi sekolah, bel masuk berbunyi jam 6.45. Si putih yang mengetahui letak salahnya memeberitahuku.

"Tapi hari ini kan hari Senin"

Pantesan.

Aku ingat kalau hari ini hari pertama dapat pelajaran, tapi tidak ingat kalau hari ini juga hari Senin, hari upacara. Kegiatan rutin yang biasa dilakukan satu minggu sekali di setiap sekolah tiap Senin pagi.

"Bagus sekali, Son, bagus sekali" geram si hitam. Padahal dia sendiri tidak ingat. Tidak hanya aku, si putih juga kena semprot si hitam. Sambil marah-marah dan mengacungkan jarinya, dia membentak si putih.

"Kau juga! Kenapa tidak bilang dari tadi!?" kesal si hitam.

"Ya maaf, aku juga baru ingat hehe."

Santai sekali dia. Ketenangannya itu di saat-saat ketegangan. Sampai juga di parkiran depan sekolah. Parkiran itu tersusun rapi memanjang. Aku memarkir sepeda, melepas helm, dan turun dari motor. Astaga, keringatku mulai bercucuran.

"Santai santai. Tenang. Aman" gumamku. Membalik badan dan menghadap ke depan. Gerbang sekolah sudah di depan mata. Tarik napas dalam-dalam, keluarkan pelan-pelan. Tiba-tiba si hitam membentakku.

"GIMANA MAU AMAN!? KITA INI SUDAH TELAT SONIAAA!!!"

"Hey! Kau jangan mengingatkannya! Dia itu mencoba tenang! Dan jangan panggil dia Sonia" bela si putih.

Mantap, aku semakin ketakutan. Dan lagi, kenapa wajah bapak di depan gerbang itu begitu seram. Wajahnya yang dingin, tampak penuh kekesalan. Bahkan dari sini terlihat urat-urat amarah di wajah beliau. Aku yang tak sadar membatu dipanggil olehnya.

"Woy! Udah telat! Malah diem disitu, cepat ke sini!" bentak beliau.

Sontak aku terkejut. Rasanya ketakutan menyalur ke sekujur tubuh dari ujung kaki hingga kepala.

"Tuh dipanggil, jangan diam saja" desak si hitam. Tak segera menghampiri, beliau menegur kembali.

"Woy! Ndak denger ya! Cepat ke sini!"

Dengan rasa takut dan refleks terkejut aku menjawab, "Eh! I-iya, Pak!" sambil lari kecil menghadap beliau. Keadaannya semakin tegang. Tapi si putih mencoba membuatku tenang.

"Tenang tenang, jawab saja sejujurnya, buat santai aja" ucap si putih. Oke, ndak apa-apa, ini akan mudah. Sesaat sebelum menghadap, beliau langsung bertanya, "Kenapa telat?! bentaknya.

Wah, langsung dimulai dengan bentakan. Tetap mecoba  tenang, dan anggap aja itu sebuah gurauan.

"Dari mananya gurauan!? Jelas jelas itu bentakan amarah!" bentak si hitam padaku.

"Ya kau juga jangan bentak-bentak! Aku mencoba tenang nih"

Lama-lama si hitam suka bikin emosi. Ya sejak dulu juga begitu sih.

"I-itu, Pak, kesiangan hehe" jawabku dengan senyum yang sedikit dipaksa.

"Tahu hari ini hari apa!?"

"Hari Senin, Pak"

"Sudah tau besok hari Senin, ngapain aja kamu kemarin malam?!"

Aku kemarin malam ngapain ya? Tidak begitu ingat. Seingatku main game terus ketiduran. Tidak, itu tidak bisa digunakan untuk alasan. Sedikit mengelak mungkin boleh.

"Saya agak lupa, Pak, soalnya ketiduran hehe" jawabku ragu. Tak terduga, tanggapan beliau di luar ekspektasi.

"Lupa!? Baru kemarin malam aja lupa!? Atau kemarin kamu ikut klub-klub malam, ngaku kamu!"

"Eh! Bapak kalau punya mulut-" Aku langsung menutup mulutku. Tiba-tiba si hitam hampir lepas kendali. Dia sangat tidak terima dikatai begitu. Untung saja aku segera sadar. Tapi tetap saja, kata-kata itu terlanjur keluar. Si putih yang menahan si hitam menanggapinya.

"Hei! Kau ini kebiasaan, di saat-saat seperti ini, kita malah dapat masalah tahu!"

"Habisnya apa-apaan pak tua itu, Soni kan ndak kelihatan seperti anak yang suka ndugem" kesal si hitam. Tiba-tiba beliau menyahuti pernyataanku yang terlanjur keluar.

"Apa!?" sentak beliau seperti mau menantang. Beliau semakin mendekat.

"Kenapa mulut saya!?" tambahnya.  Aku langsung satu langkah mundur makin ketakutan.

"E-endak, Pak! Ndak! Maaf maaf" jawabku  sambil panik tertunduk memelas maaf.

Tiba-tiba ada suara motor lain yang datang. Seorang anak laki-laki yang santainya memarkir motor. Aku yang tadinya diintrogasi langsung menoleh ke asal suara itu. Pak guru juga ikutan menoleh. Keadaan sejenak sunyi. Seragamnya sama denganku.

"Santai sekali dia memarkir sepeda" batinku.

Pak guru mulai geram dan menggerutu. Anak itu turun dari motor, melepas helmnya, dan berjalan menghampiri kami.  Pak guru nampak tak tahan melihat dia yang santai.

"Woy! Kamu! Jam berapa ini!? Cepat kemari!" bentak pak guru. Dia terlihat kaget, tapi masih bisa senyum-senyum seperti tak terjadi apa-apa. Walau nampaknya masih terlihat ada sedikit rasa takut.

"Iya, Pak" jawabnya.

Pak guru mulai mengintrogasi anak itu. Aku hanya mendengarkan percakapan mereka. Menontonnya dengan seksama bagai menonton reality show. Dengan pak guru yang nampak menahan emosi, dan anak itu yang tetap tenang menanggapi beliau. Hebat, boleh juga dia, bisa setenang itu.

Setelah pembicaraan mereka selesai, aku dan anak itu dicatat namanya oleh pak guru. Aku baru sadar ternyata yang telat hanya aku dan anak ini. Setelah itu, berakhir dengan hukuman jalan jongkok memutari lapangan sekolah satu putaran. Satu putaran, masih sangguplah.

"Mampus satu putaran, padahal lapangan sekolah luasnya sama seperti lapangan sepak bola sungguhan" ucap si hitam mengingatkanku. Tumben dia ngingetin.

"Makasih loh diingetin" geramku. Menyebalkan, ngingetinnya ngerusak ekspektasiku.

Tapi tidak diberitahu pun ujung-ujungnya aku tahu juga. Kita menunggu di sini dulu sampai upacara selesai. Lalu baru deh mulai hukumannya. Ya udahlah, dijalanin aja.