Warung kopi, atau biasa disebut warkop adalah tempat bersantai sejuta umat yang tidak ingin menghambur-hamburkan uang, lebih tepatnya sedang seret uang. Kali ini Dimas mengajakku ke warkop yang tak seperti biasanya kami kunjungi. Tempatnya cukup jauh dari rumah, sehingga kami menggunakan motor. Katanya di sana lebih murah dan nyaman.
Dan benar saja, tempatnya sederhana seperti warung-warung kecil pinggir jalan, namun untuk level tempat seperti itu, ini termasuk sangat bersih dan cukup luas. Mungkin kalian dapat menaruh dua mobil keluarga didalamnya. Aku dan Dimas duduk di salah satu sudut ruangan. Kami masing-masing hanya memesan secangkir kopi. Hitam namun hangat, pahit namun manis, sangat cocok untuk bersantai dari rasa penat.
"Penat ngapain? Dari episode kemarin cuma nyuci motor sisanya ngomel-ngomel ndak jelas, ndak seru ah"
Si Putih, dia masih belum lelah. Padahal sudah sejak episode kemarin tapi masih saja begitu.
"Ayolah, tapi itu hitungannya kan masih tadi siang, sekali-sekali nyantailah dulu, jangan serius-serius, ndak capek apa sejak episode kemarin ngomel mulu?" jawabku.
"Dan ngomel-ngomelku hitungannya juga belum ada satu hari!"
Dia semakin keras kepala. Lalu, aku merasakan suatu aura mendukungku, si hitam yang menentang si putih.
"Betul kata Soni, kamu ini ngapain sih marah-marah? Biasanya kan kalem, tenang. Aku kalau marah-marah aja biasanya disuruh tenang."
Kemudian, ada satu lagi yang memanggil-manggil namaku. Suara itu semakin jelas, sampai-sampai menepuk lenganku.
"Soni!?"
Oh, ternyata Dimas. Aku hampir tak sadar ia memanggil karena sedang sibuk berdebat dengan mereka berdua.
"Oh iya? Apa, Dim?" sahutku.
"Lu napa bengong aja?"
"Ndak, bukan apa-apa"
Aku meminum secangkir kopi, dan meletakkannya kembali. Karena ada wifi, kami sibuk bermain dengan gadget masing-masing. Setelah kurang lebih satu jam bersantai di sini, lama-lama juga bosan. Aku menanyakan sesuatu ke Dimas hal untuk menghilangkan rasa bosan.
"Dim?"
"Apa?"
"Bosen nih, enaknya ngapain ya?"
"Mabar?"
"Males ah"
"Main kartu?"
"Ndak bisa"
"Sini kuajarin"
"Ndak ah, males"
"Pulang nggak usah bayar?"
Mendadak aura tak enak kurasakan, seakan-akan melarang untuk berhutang.
"Ndak deh, Dim hehe" jawabku sambil memikirkan si putih. Walau ia tidak bisa memberikan luka fisik, tapi sepertinya ia bisa tidak henti-hentinya membuatku stress dan aku tidak ingin itu terjadi.
Untuk sekarang, aku masih bingung hal seru apa yang bisa dilakukan. Kami saling diam dan berpikir.
Hingga, seorang om-om berbadan kekar yang menggunakan jaket kulit memasuki warung ini, dan ia tidak sendiri. Yang tadinya kami tertunduk berpikir, langsung teralihkan dengan kedatangan mereka. Si putih mengingatkan, "Hei, Son, jangan dilihatin begitu, gimana kalau orangnya marah?" Oh iya, aku langsung memperingatkan Dimas juga untuk kembali fokus ke minuman masing-masing.
Suasananya sangat menggangguku. Bukan karena terasa tegang, tapi orang lain yang juga di warung ini bersikap seperti tidak terjadi apa-apa. Harusnya penampilan dari semacam grub geng itu cukup untuk menarik perhatian warga negara ini. Kami pun curi-curi pandang kepada geng itu.
Bersama teman-temannya yang mengikuti dari belakang (entahlah, mereka lebih terlihat seperti anak buah karena memakai jaket yang sama), mereka berjalan dan duduk di dekat tempat memesan. Tiba-tiba suara hantaman keras pada meja mengejutkan kami. Om itu kemudian berkata dengan tegas, "Woy! Mana jatah kami!?" sambil menoleh ke pemilik warung.
Bukannya pemilik warung, malahan pelanggan lain yang merespon, "Santai dong!" Pemilik warung tersebut hanya membalas dengan nyinyiran. Si hitam berkomentar, "Apa-apaan orang itu?" Aku berhati-hati mengawasi sekitar dengan berlagak memainkan gadget-ku. Saat pemilik warung mengantarkan pesanannya hingga ke meja geng itu, ia tampak kesal. Namun yang kulihat pemimpin geng tersebut hanya tertawa ringan. Kemudian pemilik warung kembali ke tempatnya dan keadaan kembali normal.
Aku dan Dimas mencoba mengobrol dengan tenang, dan sedikit membicarakan apa kita lebih baik segera pulang atau tetap di sini terlebih dahulu. Dimas bilang sebentar dulu, katanya nanggung karena sedang men-download file yang hampir selesai. Hari semakin larut, sudah menunjukkan pukul sepuluh. Sudah cukup lama kami di warung ini sejak pukul sembilan kedatangan geng itu, dan file yang di-download Dimas belum selesai.
"Dim! Belum selesai?" tanyaku. Dimas bilang kalau kurang sedikit sekali file-nya selesai di-download.
Entah karena apa, tiba-tiba pemimpin geng itu berdiri, mulai berjalan menghampiri beberapa meja. Si hitam mulai panik.
"Waduh! Tuh orang ngapain sih pakek keliling segala?"
"Tenang dulu, mungkin ia tidak akan bertindak yang aneh-aneh hehe" jawab si putih yang sebenarnya mulai takut.
"Sial, bagaimana ini!?" gumamku. Dimas juga belum segera selesai dengan urusannya. Aku kembali bertanya setengah berbisik, "Dim! Belum selesai apa!?"
"Bentar bentar! Kurang beberapa detik lagi" jawabnya. Kemudian ia melanjutkan ucapannya.
"…kurang beberapa detik lagi nih. Sepuluh, sembilan, delapan, tujuh, eh! Pakek kembali ke sepuluh…"
"Tuh om kekar mulai berkeliling entah ngapain" ucapku mulai panik.
"Beneran!? Sialan, maunya apa sih tuh orang pakek keliling segala."
"Sambil jalan pelan-pelan keluar deh, kan kurang dikit."
"Iya deh."
Kami mulai beranjak dari tempat duduk, dan sebuah tangan menepuk pundak kami. "Loh, kok buru-buru?" Om kekar itu sudah di belakang kami. Aku dan Dimas langsung diam membatu. Si hitam berseru, "Son, lari, Son! Lari! Kabur, Son!"
Tapi aku masih pikir-pikir bagaimana caranya kabur dari cengkeraman seseorang yang sudah tepat berada di belakang.
Mendadak Dimas menyingkirkan kursi sambil menarikku keluar dari warung. Kami panik, segera mengambil motor, dan Dimas segera memboncengku meninggalkan warung tersebut. Om kekar itu ikut keluar dari warung dan meneriaki kami. Kami tak peduli, yang penting sekarang sudah lega kabur dari om-om itu.
"Untung saja Dimas cekatan mengajak kita segera keluar, kalau tidak, mungkin Soni akan ketakutan setengah mati" sindir si hitam.
Padahal dia sendiri tadinya juga takut, menyebalkan. Dimas juga sampai takut segitunya, walau aku juga sama-sama takut. Tapi kalau dia tadi tidak begitu, aku juga tidak tau apa yang akan terjadi selanjutnya. Dimas memulai pembicaraan dengan menghela napas.
"Huffftttt, selamet selamet, tuh orang bener-bener ya, aku sampai takut setengah mati."
"Sampai segituya kau takut? Sampai memberontak begitu?" sahutku.
"Kau juga takut kan!? Ngaku! Aku tidak mau ambil resiko."
Aku hanya tertawa kecil mengakui penyataannya. Ya bagaimana, dengan otot, pakaian, dan tampang om itu yang seperti preman, ditambah kelakuannya tadi di warkop, harusnya wajar kalau kami takut. Dan aku masih memikirkan mengapa pelanggan yang lain berperilaku seperti hanya terjadi hal biasa. Kemudian si putih menanggapi ucapan Dimas tadi.
"Padahal kalau dia begitu malah bisa meningkatkan resiko, untung saja tuh preman melepas kita."
"Lah gimana? Nyatanya kita malah selamat nggak kurang lebih apa-apa" kata si hitam.
"Coba pikirkan, kalau dia benar-benar preman seperti yang ada dipikiran kita, lantas mengapa ia tidak langsung menahan kita saat mencoba kabur? Seharusnya itu mudah untuk orang sepertinya, dan mengapa pelanggan yang lain nampak biasa-biasa saja? Bisa jadi ia orang baik, hanya saja ia suka berpenampilan begitu."
Malam itu cukup sepi, hingga suara yang pelan dapat kami dengar. Lalu, aku mendengar suara motor dari kejauhan. Awalnya kukira hanya pengendara biasa. Namun Dimas memberitahuku apa yang ia lihat dari kaca spion.
"Njir!? Demi apa tuh orang sampai ngejar kita!?"
"Seriusan!?" tanyaku sambil terkejut.
Aku langsung menoleh ke belakang untuk memastikan ucapan Dimas. Dan benar saja, orang itu mengejar kami dengan motornya.
"Aku tarik ucapanku tadi" kata si putih.
Kami langsung panik. Segera Dimas menambah kecepatan untuk menjauhinya. Orang itu juga semakin cepat sambil meneriaki kami untuk segera berhenti. Dimas tak kehabisan ide. Ia mencarikan jalan yang sulit untuk orang itu mengikuti kami. Tapi om yang satu ini benar-benar tak mau menyerah. Aku menyuruh Dimas untuk menambah kecepatan.
"Cepetan, Dim, Cepetan!!! Ndak bisa lebih cepet lagi!?"
"Iya! Ini juga udah cepet" jawab Dimas yang juga panik.
Mendengar suara motor orang itu semakin dekat, tak segan-segan Dimas langsung menambah kecepatan. Aku yang belum siap langsung berpegangan padanya. Sejenak jantungku terasa mau copot.
"Dim, bilang-bilang dong kalau mau nambah kecepatan! Kau ingin aku mati ya!?" kesalku.
Dimas yang juga kesal langsung menjawab, "Jangan banyak bacot! Yang penting kita kabur dulu, untuk sementara mungkin aku akan menginap di rumahmu dulu kalau keadaannya masih belum aman."
"Iya deh, gapapa, pokoknya buruan!"
Saat sudah sampai di depan rumah, dengan segera kubuka gerbang depan dan menyuruh Dimas cepat-cepat masuk dengan motornya. Kukunci pintu gerbang, dan lari masuk ke dalam rumah sambil membanting pintu. Ayah yang ternyata masih belum tidur sedang duduk di ruang tamu sambil mengerjakan pekerjaannya. Melihat keadaan kami yang nampak buru-buru, ia menyambut kami dengan terkejut.
"Loh loh! Kalian ini kenapa!? Kok kayak dikejar sesuatu?" tanya ayah.
"I-itu, Om, kami di-dikejar orang" jawab Dimas sambil terbata-bata mengatur napas.
"Hah!? Dikejar orang!?"
"Iya, Om, masa ndak kedengeran!?"
Mendengar cara bicara Dimas yang kurang ajar ke ayah, aku langsung menyikunya sambil berkata, "Hush! Kau yang sopan! Yang kau ajak bicara itu ayahku."
"Eh iya! Maaf, Om, saya panik" jawab Dimas dengan gaya tangan meminta maaf dari jauh.
"Iya, Dim, ndak apa-apa. Sekarang kamu sama Soni langsung sembunyi sana, biar Om yang mengawasi dari sini" jawab ayah.
Kami segera mencari tempat sembunyi yang juga cocok sebagai tempat mengintip keadaan ayah dari jauh. Ayah langsung berdiri dari tempat duduknya, dan berjalan mendekati jendela kaca depan. Kemudian terdengar suara motor berhenti di depan rumah. Aku dan Dimas langsung ribut sendiri mendengar hal tersebut, apalagi si hitam dan si putih. Si hitam memulai kepanikanku.
"Bagaimana iniiii!?!?! Demi apa dia ngejar sampai ke sini!?"
"Tenang tenang! Kalau ada ayah pasti aman" ucap si putih.
"Walaupun begitu, bagaimana nanti kalau ayah kenapa-napa? Pokoknya ini semua salah Dimas, seenaknya dia mengajak kita kabur, kalau tadi kita bisa bicara baik-baik, setidaknya masalahnya tidak sampai di bawah pulang, toh belum tentu orangnya jahat seperti katamu tadi"
"Kalau tadi belum kepikiran, kau juga ndak bisa nyalahin Dimas begitu saja, kalau tidak begitu juga ada kemungkinan kita tidak bisa pulang! Kau tadi juga takutkan!? Hanya berpikir mau kabur hingga ndak kepikiran!?"
"Ya bagaimana mau berpikir tenang kalau orangnya sudah tepat di belakang kita!?"
Mendadak ayah memberi isyarat untuk diam. Terdengar suara panggilan dari luar.
"Permisiii!!! Ada orang di dalam!?"
Kulihat ayah mengintip dari balik tirai jendela. Entah apa yang ayah pikirkan, tapi setelah itu ia langsung keluar rumah. Dan terdengar suara gerbang depan dibuka. Aku langsung bingung, "Loh!? Ada apa?"
"Ayo kita lihat dari jendela" ucap Dimas.
Kami berjalan pelan-pelan, mendekati jendela. Belum setengah jalan mendekati jendela, mendadak pintu terbuka. Kami langsung lari kembali ke tempat sembunyi. Terlihat ayah masuk ke rumah dengan tertawa ringan dan mengajak om kekar tadi masuk rumah. Si hitam langsung tidak terima.
"Loh loh!? Ayah gimana sih!? Kok malah diajak masuk rumah? Pakek ketawa-ketiwi lagi, kan kesel. Kita udah capek-capek ketakutan, lah ayah malah ramah begitu sama tuh preman."
"Bentar-bentar, coba perhatikan dan lihat baik-baik deh" ucap si putih dengan tenang.
Dimas yang juga bingung menanyakan hal yang sama padaku.
"Son, Om kenapa sih?"
Aku menyuruhnya untuk diam dan memperhatikan dengan seksama. Si putih langsung menyuruhku untuk melihat ke tangan om kekar tadi.
"Son, lihat! Apa yang ia bawa? Bukannya itu…"
"Oh iya!" aku langsung mengingat sesuatu. Aku meraba-raba saku, dan sepertinya benar dugaan si putih, om itu membawa gadget-ku. Kemudian ayah memanggilku untuk menghampirinya.
"Son Soni! Kemari, Nak!"
Aku langsung menghampirinya bersama Dimas. Kemudian ayah dan om tadi menjelaskan semuanya. Dan ternyata benar, om itu mau mengembalikan gadget-ku yang ketinggalan di meja warkop tadi. Yang lebih mengejutkan lagi, ternyata ia teman lama ayahku.
"Ohhh… ternyata begitu, maaf ya, Om, kami kira Om orang yang, ya…" belum selesai aku berbicara dengan rasa yang sangat malu, om itu langsung memotong pembicaraanku.
"Hahaha! Iya, ndak apa-apa, Nak. Om sudah biasa banyak orang yang salah paham sama, Om" ucapnya.
Om melanjutkan pembicaraannya memperkenalkan diri, dan namanya adalah Om Arif. Aku langsung berinisiatif menyuruhnya masuk dan duduk sebentar. Ia menerima tawaranku. Ayah kemudian menyuruh untuk membuatkan minuman, tapi om menolak. Dimas pun izin untuk pulang duluan tidak jadi menginap di rumahku.
Ayah membersihkan sedikit tempat kerjanya dengan aku yang membantunya. Kami duduk dan mengobrol santai bersama di ruang tamu itu, sambil Om Arif menceritakan kekonyolanku dan Dimas tadi. Ia juga menjelaskan alasan pengunjung warkop biasa saja dengan sikapnya yang seperti itu. Jawabannya adalah karena Om Arif sudah biasa begitu di warung tersebut, orang-orangnya juga rata-rata sama.
Malam itu berakhir dengan menyenangkan, Om pamitan kembali menemui teman-temannya di warkop tadi. Kami saling melambaikan tangan sebagai tanda berpisah. Dan Om Arif pergi dengan mengendarai motornya. Lalu, tak ada angin tak ada hujan, si putih mengingatkan sesuatu.
"Son, cepetan kembali tidur, besok kamu harus seharian penuh mengerjakan tugas buat Minggu depan loh"
"Oh iya! Yah, aku mau langsung kembali ke kamar, tugasku buat Minggu depan belum kucicil sama sekali" ucapku terkejut.
Aku langsung masuk kembali ke dalam rumah. Ayah hanya tersenyum kecil melihat kelakuanku itu.