"Yahhh…, it's weekend time"
Besok adalah hari Sabtu, hari libur. Waktunya untuk beristirahat dari segala tanggungan hidup. Malam ini aku akan tidur sepuasnya. Memulihkan semua tenaga setelah mengalami kesibukan-kesibukan sekolah. Tapi sepertinya aku tidak akan dibiarkan tidur semudah itu.
"Hey, sudah mau tidur?" Tumben sekali si putih memulai pembicaraan.
"Iya" Kali ini aku ingin segera tidur dengan esok yang segar bugar.
"Tapi PR dari sekolah untuk Minggu depan masih banyak."
Sekejap tidurku yang hampir nyenyak cukup terganggu. Akhirnya sedikit mengalami kesulitan untuk tidur. Sudah memeluk guling, kipas juga menyala, dan lampu juga sudah dimatikan. Tinggal menutup mata dan tidur. Sekarang jam sembilan malam. Tenang saja, ini akan mudah. Tidak usah memperdulikan si putih. Tidur saja.
Rasanya sudah lima belas menit. Belum juga tertidur. Coba kulihat jam pada gadget. Ternyata masih jam sembilan lebih lima. Baiklah, tidak apa-apa. Baru lima menit. Jika aku menutup mata, mungkin tiga atau lima menit lagi akan tertidur. Eh, muncul sebuah notifikasi dari Babu(baca berita umum). Aku lupa mematikan data internet.
"Berita apaan nih! Drama apaan lagi nih. Gak jelas ah! mending tidur aja" tanpa sadar aku mulai menggerutu sendiri. Jari ini mulai menekan notifikasi tersebut. Dan mulai menggesek-gesek layar sambil kesal dengan berita yang ada. Saat menutup berita tersebut, berita lainnya muncul. Postingan lainnya juga muncul. Berbagai postingan menarik dan lucu mulai menunda jam tidurku.
Tak terasa sudah jam sepuluh. Sudah terlanjur untuk kesulitan tidur. Baru tersadar bahwa telah buang-buang waktu, aku kesal pada diri sendiri. Lebih baik kalau tadi menyicil tugas dari sekolah. Saat menggeser kembali layar gadget, ada postingan lucu lainnya. Semakin digeser semakin banyak postingan lucu lainnya. Beberapa menit kemudian, kulirik jam pada gadget.
"Hah!? Sudah jam sebelas! Perasaan baru beberapa menit yang lalu jam sepuluh" seruku dalam hati. Sudah, cukup sampai sini saja. Aku harus tidur. Kuletakkan gadget jauh dari tempat tidur dan segera menutup mata. "Kenapa tidak tidur juga sih!?" kesalku.
Akhirnya tertidur juga. Tapi alarm dari benda kotak cukup tipis itu membangunkanku pukul empat pagi. Ini masih terlalu pagi, dan juga masih sangat mengantuk karena kemarin tidur kemalamam. Aku beranjak sebentar dari kasur untuk mematikan alarm tersebut dan cepat-cepat kembali untuk tidur. Mungkin nanti akan terbangun jam tujuh.
(Ingat teman-teman, contoh di atas bukanlah hal yang baik untuk ditiru)
Rasanya baru sebentar menutup mata, tapi ada alarm lain yang tak bisa dimatikan.
"Son…, bangun, sudah jam enam pagi. Ndak ikut bersepeda sama ayah?" Walau begitu ibu tidak pernah memaksaku bangun cepat di hari libur. Rasanya masih mengantuk.
"Ndak deh, Bu" jawabku dengan setengah sadar. Sekilas terlintas di kepala untuk menanyakan pukul berapa sekarang.
"Sekarang jam berapa, Bu?"
"Jam enam, Son"
Aku mendengarkan, tapi tidak merespon. Ibu keluar dari kamar begitu saja.
Setelah tidur panjang yang kurasa cukup nyenyak, sudah waktunya bangun tidur. Tapi masalahnya, sekarang kepalaku malah sedikit pusing. Tubuh juga terasa sedikit sakit di beberapa bagian. Apa aku kebanyakan tidur?
Kalau diteruskan sepertinya akan berdampak buruk pada tubuhku. Bangun dari ranjang pun terasa berat. Saat kulihat jam di gadget, sekarang sudah jam sembilan. Yap, sepertinya benar kalau aku kebanyakan tidur.
Saat keluar kamar, semua sudah melakukan aktivitasnya masing-masing. Ibu yang sedang bersih-bersih rumah, ayah dan kakak sedang mencuci motor di halaman, dan aku yang baru bangun tidur. Ditambah tugas untuk Minggu depan belum ada yang dikerjakan membuatku semakin merasa malas melakukan sesuatu.
Entahlah, sering kali hal tersebut terjadi saat semakin merasa mendapat banyak tugas. Setelah itu aku makan, mandi, ganti pakaian, dan bersantai di depan tivi. Si putih kembali memulai percakapan.
"Hey, Son, daripada kamu ndak ngapa-ngapain, bantuin ibu kek, kasian tuh bersih-bersih sendiri. Atau ngapain gitu yang lebih guna"
Tapi sejak bangun tidur tubuhku sudah tidak mendukung untuk beraktivitas. Rasanya ingin rebahan saja, bersantai, melakukan hal-hal yang menyenangkan. Si hitam yang untuk saat ini sepaham denganku membalas pernyataan si putih.
"Lagi pula inikan akhir pekan, bolehlah kita istirahat dulu sehari. Capek tau sekolah dari pagi sampai sore lima hari berturut-turut, udah gitu sampai rumah mau pegang gadget katanya main mulu, jadinya sama aja kita lima hari penuh belajar terus. Dan sekarang kau ingin kita beraktivitas lagi?"
"Ya tapi jangan rebahan mulu, udah tidur sembilan jam lebih, bukannya enakan malah sakit kepala kan? Coba deh ngapain gitu, olahraga atau apa, pasti enakan."
Yang diucapkan si putih mungkin benar. Kalau aku melakukan sesuatu mungkin tubuhku akan enakan. Tapi masih terlalu malas buat gerak. Bersantai itu masih terasa enak karena sudah terlanjur nyantai dari awal. Usaha si putih untuk membuatku bangkit dari bersantai tidak berhenti di sana. Ia menghela napas tak tahan mengetahuiku terus-terusan bersantai. Kemudian melanjutkan pernyataannya.
"Kamu ndak kasihan sama ayah? Sama ibu? Setidaknya ringankan beban mereka, mereka juga setiap hari bekerja untuk kita, istirahat mungkin beberapa jam saja dalam satu Minggu. Bantulah sedikit."
Tentu aku ingin membantu. Tapi itu masih belum cukup untuk menggugah semangatku. Dan si putih masih belum menyerah.
"Baiklah kalau kau masih ingin bersantai. Setidaknya pikirkan kedepannya untuk dirimu. Sampai kapan kau ingin terus begini? Bermalas-malasan, hanya mengerjakan apa yang harus dikerjakan, tak ada peningkatan, tetap standar. Bukan standar, lebih tepatnya tetap di bawah, dan tanpa prestasi. Mau hidup seperti apa kau nanti kalau masih muda sudah begini, atau kau ingin terus begini? Kau pikir akan bertahan hidup seperti ini, jangan berharap bisa menghidupi sebuah keluarga nantinya, atau kau ingin hidup sendiri saja setelah ini dan seterusnya?"
Si hitam yang sejak tadi memperhatikannya berbicara tampak mengamati dengan heran.
"Oi, apa pernyataanmu tidak terlalu jauh? Memiliki pemikiran yang maju ke depan memang bagus, tapi apa perlu sampai bawa-bawa keluarga masa depan?" tanya si hitam. Si putih hanya menjawab, "Biarlah."
Tiba-tiba ibu memanggilku untuk mengambil kain pel. "Ambilin tuh!" sahut si putih. Aku hanya menjawab "Iya" dengan nada suara yang malas. Sesudah memberikannya pada ibu, aku kembali ke depan tivi. Si putih masih berlanjut.
"Yahhh… Son, gantiin ayah nyuci motor di depan tuh."
Kadang, dorongan yang berlebihan malah bisa membuatku semakin malas. Lalu, ibu kembali memanggilku. Ia menyuruh untuk membantu kakak mencuci motor lainnya. Aku hanya merespon dengan gerak tubuh mau membantu tapi malas. Lalu ibu bertanya, "Kenapa? Kamu masih capek? Tadi udah tidur lama gitu. Sana, Son, bantu kakak."
Aku hanya mengiyakan dengan berjalan ke halaman. Kakak langsung menyambut dengan perkataan yang tak ingin kudengar untuk saat ini.
"Son, bantu cuci sepeda motor satunya ya, aku mau siap-siap dulu, mau keluar" ucapnya.
Duh, masih mager banget. Tapi daripada argumen si putih terus memenuhi otak, lebih baik kulakukan saja. Tapi baru mandi juga, masa kotor-kotoran lagi. Bukannya takut kotor, tapi males banget kalau nanti mandi lagi. Kakak yang melihatku diam kemudian bertanya.
"Ayo lah, Son, bantu aku, kamu juga gak ngapa-ngapain kan?"
"Oh iya, biar aku saja"
Saat mencuci motor, sudahlah, aku sampai malas menjelaskan kemalasanku. Jadi kepikiran omongan si putih. Kadang aku juga iri pada orang-orang yang lebih hebat dariku. Saking irinya, sering kali sampai berpikir yang aneh-aneh. Si hitam pun mengambil andil dalam pemikiranku. Ya, kita memang bisa saling mengetahui pemikiran masing-masing.
"Iya lah, mereka itu punya banyak koneksi, temannya banyak, dapat informasi dengan mudah tentang apa pun itu dari koneksi-koneksinya itu, entah informasi yang nguntungin diri sendiri atau informasi yang bisa ngerugiin orang lain. Yang penting mereka dapet apa yang mereka mau, apa yang ingin mereka capai."
Si putih tidak terima. Dia bilang, "Kata siapa!? Itu kan hanya dugaan-dugaan yang tidak jelas. Kalau kau tahu suatu kabar hanya berdasarkan katanya, itu namanya bukan kabar, tapi gosip. Dan sering kali gosip itu tidak benar kan?"
Memang ada kabar kalau orang-orang yang berhasil itu menggunakan uang atau kecurangan apa pun itu. Aku tidak bisa percaya begitu saja. Jika beritanya diliput oleh media sosial, televisi, atau aku mengetahuinya dengan mata kepalaku sendiri, itu bisa dipercaya. Tapi bagaimana jika itu memang hasil kerja kerasnya selama ini? Bagaimana jika ia selalu menyisihkan waktu untuk melatih keahliannya itu? Sudahlah, daripada memikirkan urusan orang lain, lebih baik aku memikirkan urusan diri sendiri.
Setelah mencuci motor, lumayan terasa lelah. Karena sudah siang, setelah ini aku mau makan dulu kemudian ke kamar. Dan kembali berseluncur di sosial media atau mungkin bermain game. Si putih kembali mengingatkan, "Bagaimana buat tugas Minggu depan?" Untuk itu kurasa bisa dikerjakan besok, atau mungkin nanti malam.
Malamnya, aku bersiap mengerjakan tugas. Padahal ini malam Minggu. Tadi siang juga sudah cukup bersenang-senang dengan gadget-ku. Baiklah, tidak apa-apa, itu impas. Lalu muncul chat howsapp dari temanku, Dimas. Dia bertanya apakah aku sedang sibuk dan mengajak ke warkop terdekat sambil menikmati wifi di sana. Tapi aku sedang mau ngerjakan tugas.
"Gapapa lah…, sekali-sekali, biar ndak di rumah terus" bisik si hitam. Okelah, kuputuskan untuk ikut.
Sebelum kukirim chat, si putih mengingatkan, "Son, tugas untuk Minggu depan itu banyak, kalau dikerjakan besok kau nantinya malah mengerjakan satu hari penuh. Kalau tidak, jika dicicil setiap sepulang sekolah, untuk Minggu depan kau tidak bisa istirahat, belum lagi kalau ketambahan tugas Minggu depan."
Si hitam menyangkal omongan si putih. "Sudahlah ndak apa-apa, kau jangan mengekang Soni jadi anak rumahan. Sekali-sekali bolehlah ia main keluar. Yang penting nanti bisa mengatur waktu."
Si putih tidak setuju. Ia membalas pernyataan si hitam dengan sinis. "Mengatur waktu? Kapan terakhir kali Soni bisa mengatur waktu? Dia sekalinya lagi asyik dengan sesuatu suka lupa waktu, apalagi kalau itu game atau sosmed."
Kadang kejujuran si putih itu menyebalkan. Tapi aku tidak bisa bohong kalau itu benar. Kemarin malam saja tidurku terganggu karena dua hal itu. Dimas kembali mengirim chat, "Njir, cuma di-read." Eh iya, aku sampai lupa balas. Sekali-kali boleh deh nyantai bareng temen keluar rumah. Kuputuskan untuk menyetujui ajakannya.