"Lo?!"
"Lo--"
Cowok bule itu mengedipkan matanya, tersadar dari ke-tertegunan-nya. "Eh, ada cewek." Matanya berkedip genit. "Sebentar, lo murid baru ya?"
Setengah tersadar gadis itu mengangguk kaku. Sesaat kemudian kepalanya menggeleng. Mata bundar jernihnya mengerjap, sontak saja tanpa ditutupi pemuda di depannya terpesona. Lalu menatapnya intens seraya tersenyum kecil. Kalau diamati lebih seksama, senyumnya merupakan senyum lega.
"Lo...satu spesies kayak gue?" tanya sang gadis polos.
Otaknya sedang mencerna sesuatu. Kalau benar, takdir macam apa yang akan ia jalani di sekolah barunya. Takdir atau justru malapetaka baru buatnya?
Mata bundar gadis itu beradu pandang dengan netra hitam kelam cowok bule. Saling berkomunikasi tanpa sepatah kata yang terlontar dari dua mulut insan manusia. Dari hati ke hati. Dari pikiran ke pikiran. Lebih tepatnya, telepati.
Keduanya mengangguk kaku sebagai hasil sekaligus pertanda komunikasi selesai.
Akhirnya, entah karena kasihan atau karena apa. Cowok bule yang belum diketahui identitasnya membawa sang gadis duduk di bangku taman yang tak jauh darinya. Sadar atau tidak sadar sang pemuda itu melupakan tujuannya ke taman belakang yaitu bolos.
Taman belakang ini sepi. Terlebih jam pembelajaran sedang berlangsung. Hanya ada dua manusia ditambah beberapa sosok tak kasat mata.
Namun mereka yang melihat tak berani mendekat atau pun mengusik keduanya. Terlalu berisiko. Satu langkah mendekat, entah hal buruk apa yang akan mereka dapatkan. Yang jelas, keduanya memiliki potensi luar biasa satu sama lain.
Keduanya istimewa. Indigo dengan kemampuannya masing-masing. Tetapi, keduanya memang lebih dari itu.
"Lo belum jawab pertanyaan gue."
Gadis itu mengernyit bingung, "Hah? Pertanyaan apa? Kapan lo ngomong?" netra coklat terang itu terus menjelajah taman. Tak terlalu memperdulikan eksistensi cowok bule yang duduk di depannya.
Taman belakang ini luas serta asri. Banyak bunga-bunga yang beragam jenis tumbuh dan berkembang indah. Beberapa ada juga pohon-pohon yang lumayan besar juga lumayan rindang. Menurutnya, taman ini cukup memukau untuk ukuran sekolah. Nyaman dan mampu memanjakan mata. Terutama suasana yang tenang.
Mungkin setelah ini, tempat ini akan selalu menjadi tujuan sang gadis selain kelasnya.
Gadis itu tersentak saat merasakan kepalanya dihentakkan pelan. Secepat kilat tangan mungilnya menepis kasar tangan cowok itu. "Wowoo, santai girl. Gue gak ngapain-ngapain lo kok." Kedua tangannya ia angkat, bagai buronan yang tercyduk polisi.
Gadis itu menghunuskan tatapan tajamnya, "Gak ngapa-ngapain maksud lo?! Siapa lo sentuh-sentuh gue. Apa itu namanya kalau bukan apa-apain hah?!" Tak terima dengan perlakuan pemuda yang kini justru tertawa tak berdosa. "Cih, dasar cowok."
"Bawel banget sih," balasnya tak kalah judes. "Lagian, kalau ada orang ngomong tuh di tatap matanya bukan malah jelalatan gak jelas." Kali ini nada bicaranya tegas.
Gadis itu hanya menatap datar sebagai respon. Pemuda itu melanjutkan ucapannya, "Lo anak baru kan?" matanya memicing.
"Kalau iya kenapa? Masalah gitu buat lo?" jawabnya jutek.
Cowok bule itu berdecak kesal. Antara kesal dan gemas. Gadis di depannya itu, judes juga galak. Yang membuatnya geli adalah sifat dan wajahnya yang mana sangat bertolak belakang. Sedangkan sang gadis wajahnya Baby Face. Pipinya chubby. Matanya bundar. Netra matanya coklat terang. Layaknya madu.
Cantik sekali.
Cowok itu merasa, jika lama-lama didekatnya bisa membuatnya khilaf. Sekuat tenaga, tangannya ia tahan supaya tidak menyentuh pipi chubby yang sangat menggoda untuk dicubit.
Cowok bule itu, mengangguk-anggukan kepalanya pelan, menatap lekat sang gadis dan sang gadis balas menatap datar cowok itu. "Jelek."
Hah?Apa? Siapa yang jelek? Gadis dengan surai coklat atau siapa?
Gadis berpipi chabby itu molotot tak terima merasa bahwa ungkapan itu ditujukan padanya "Kalau gue jelek? Terus lo ganteng gitu? Dih pede banget lo." Sarkasnya jengkel.
Sang pemuda terkekeh. "Siapa yang bilang lo jelek? Emang tadi gue ngomong apa? Kapan gue ngomong ke lo?" pemuda itu tersenyum miring, "Atau mungkin lo emang merasa jelek." Lanjutnya sinis, seperti tengah menabuh genderang perang.
Karena kesal, gadis itu berdiri dan menghentakan kakinya. Kakinya ia ayunkan menjauh dari peredaran cowok bule yang ia anggap menyebalkan.
Baru satu langkah kaki mungilnya berjalan, cekalan pada tangannya sudah mampu menghentikan gerak-geriknya. "Itu yang gue rasain, saat lo mengabaikan gue. Dan menganggap angin lalu pertanyaan gue."
"Gue enggak peduli." Gadis itu melepaskan cekalan tangan sang pemuda. Menatap tepat pada manik mata hitam kelam, "Gue mau ke kelas. Minggir."
Menghela nafas gusar, pemuda pirang itu berdiri, tatapan matanya begitu lekat. "Emang tahu jalannya? Yakin tuh gak bakal nyasar?" Pemuda itu mencibir sinis. Namun tak urung, tangannya menyelusup ke sela-sela jemari sang gadis.
Menggandengnya tanpa syarat. Sebelum sang gadis menolak, ia sudah terlebih dahulu berjalan sambil mengeratkan genggaman tangannya. Sebelumnya ia sudah puas mencibir pedas gadis yang ia gandeng. "Jangan bawel. Ikutin gue aja, lo gak bakal nyasar. Gue jamin. Tangan lo cuma gue gandeng doang, kasian. Pasti tangan lo gak pernah digandeng cowok seganteng gue. Udah keliatan tangan lo ada sarangnya tuh."
Dengan malas dan ogah-ogahan, gadis itu hanya pasrah. Ia setuju saja cowok itu menjadi pemandu jalannya kali ini, dari pada tersesat dan berujung hanya memutari sekolah. Toh, saat ini ia memang tidak mengenal siapa-siapa selain cowok bule yang ia ketahui satu spesies dengannya.
"Modus lo. Bilang aja pengin gandeng tangan gue. Pake acara nyinyir duluan, dih."
*****
Di bangku pojok paling belakang, gadis bermata bundar indah itu terus menggerutu pelan. Inhale. Exhale. Terus dan berulang-ulang. Disampingnya, cowok bule yang ia harapkan lenyap dari planet bumi ini justru malah duduk disampingnya dan sedang berpangku tangan menatapnya sambil cengar-cengir tak jelas.
Persis orang gila.
Takdirnya memang begitu buruk atau mungkin ini hanyalah proses menjadi sesuatu yang indah pada akhirnya. Ah, intinya ia jadi semakin tak menyukai apa yang dinamakan takdir.
Ekspresi cowok bule itu masih cengar-cengir menatap sang gadis yang hanya dilirik dari ekor matanya dengan malas. Bahkan segala sumpah serapah yang dilontarkan sang gadis seolah tak masuk di telinganya.
Tak merasa cukupkah ia sudah membuat sensasi panas beberapa saat lalu. Bahkan, kini telinga gadis itu terasa mau meledak. Panas dan sakit di waktu bersamaan.
Tadi, sepanjang jalan segala jenis bisik-bisik tetangga bisa ia dengar dengan jelas karena memang telinga gadis itu sangat sensitif dan super tajam. Jarak sepuluh meter saja masih bisa ia dengar. Apalagi jika, yang menjadi bahan gosip adalah dirinya. Telinganya sangat respect terhadap hal-hal seperti itu.
Ditambah sekarang, walau sebagian mereka cuek. Tapi sebagian juga, tak dapat mengontrol nafsu nyinyirnya. Hingga membuat gadis itu jengah dan kesal secara diam diam.
"Lo hebat. Berhasil membuat mereka penasaran sama lo."
Gadis itu menyentakan kepalanya saat mendengar nada serius dari seorang manusia yang duduk di sebelahnya. Siapa lagi jika bukan dia. Si pemuda bule yang entah siapa itu.
"Terus...lo iri sama gue gitu?" balasnya sembari bertumpu tangan menghadap cowok itu.
Menggeleng tegas. Cowok bule itu melanjutkan ucapannya, "Bisa nggak sih, judesnya kurangin dikit. Heran gue." Badan cowok itu maju, hampir menempel pada sang gadis. "Lo... jadi tambah jelek."
Alis gadis itu terangkat sebelah, ditatap balas sang pemuda dengan pandangan mencemooh. "Bibir lo bilang jelek, tapi pancaran mata lo sampai terpesona sama gue. Itu kah definisi jelek lo buat gue?" cowok bule itu memundurkan badannya kembali ke posisi semula.
Cowok itu nyengir lebar selebar dunia. Bahkan tawanya menciptakan dua lubang di pipi kanan kirinya. Sangat menawan. Oh, pantas saja dia digilai banyak lawan jenis.
"Soalnya, lo itu tak terdefinisikan."
Cowok itu mengerjap ngerjap. Tersadar sesuatu, raut wajahnya menjadi datar. Gadis itu mengernyit bingung, ada apa dengan perubahan raut wajah cowok berambut pirang itu?
Satu kalimat terlontar dengan ringan dan datar, mampu menghempas keduanya hingga kebagian otak paling bawah. Keduanya menyadari adanya penurunan nilai IQ mereka sekarang.
"Ngomong-ngomong, kita belum tahu masing-masing nama kita berdua."