Chereads / Sixth Sense : Rahasia Semesta / Chapter 3 - Dibalik Sebuah Nama

Chapter 3 - Dibalik Sebuah Nama

"Ngomong-ngomong, kita belum tahu masing-masing nama kita berdua."

Mendengar itu, gadis bersurai coklat itu kini duduk tegak dan netra madunya menyorot sinis mata hitam kelam pemuda berambut pirang itu.

"Deket-deket lo ternyata..." Gadis itu menjetikan jari-jemarinya tepat di wajah kebarat-baratan pemuda itu. Membuat sang pemuda terkesiap. "....Bikin otak gue bodoh seketika."

Pemuda itu cengo, sedetik kemudian decakan sebal terdengar, namun dengan ekspresi gemas tertahan. "Lo tuh cewek apa bukan sih? Pedes amat ucapannya neng." Tangannya melayang hendak mencubit pipi chabby di depannya yang tampak sangat menggoda namun secepat angin berhembus, secepat itu pula gerakan pemuda itu dibaca oleh gadis indigo itu.

"Jangan coba-coba sentuh gue!" tegasnya tanpa mau dibantah.

Pemuda itu mengangguk pasrah, cewek di depannya itu memang ganas. " Kembali ke awal, kita belum tau nama kita masing-masing." Sang pemuda mengulurkan tangan kanannya sebagai simbol perkenalannya secara resmi seraya melayangkan senyum seratus juta pesonanya, "Kenalin, kembarannya Leonardo De Caprio sewaktu muda. Gue, Seifried Osric Gideon. Panggil aja Osric."

Dengan malas gadis itu membalas menjabat tangan pemuda di depannya tanpa segaris senyum pun. Tanpa diperintah, sesuatu hangat itu menjalar di rongga dada keduanya saat kedua tangan manusia itu saling menjabat.

Perasaan familiar itu tanpa aba-aba menyergap keduanya. Seolah keduanya memang ditakdirkan untuk bertemu. Rasanya mereka seperti pernah berjumpa sebelumnya.

"Adora Odelia Aloysius. Biasa dipanggil Odelia." Balas sang gadis memperkenalkan namanya, kali ini nada bicaranya tidak datar namun halus.

Keduanya tersentak kaget tatkala sepasang netra madu dan netra kelam itu berhasil menyorot kilat petir yang menyambar ganas menciptakan lantai keramik berwarna hitam layaknya benda yang terbakar. Diluar kelas gelegar suara petir yang sedang saling adu suara bergaung hebat. Tanpa sadar tangan keduanya saling bertaut. Menggenggam tanpa kata yang terucap.

Cuaca diluar juga gelap. Angin berhembus kencang. Padahal, beberapa saat yang lalu matahari bersinar terik. Panas, tidak berawan hitam. Tetapi entah bagaimana ceritanya kekacauan ini terjadi.

Ada apa?

Jeritan-jeritan bergaung menjadi satu menciptakan suara yang memilukan. Kaca-kaca jendela pecah. Sebagian siswa terluka akibat goresan kaca tersebut. Odelia, gadis bermata coklat madu itu hampir saja menjadi target kaca selanjutnya jika saja Osric pemuda berambut bule itu tidak dengan cepat mendekap sang gadis. Menjauhkannya dari luka. Sorot matanya nampak cemas.

Odelia terdiam. Shock di tempat, tubuhnya kaku. Wajahnya pucat pasi, kulitnya yang putih bersih semakin putih. Kini justru kulit gadis itu layaknya vampire dalam cerita-cerita kuno. Gadis itu juga membiarkan Osric mendekapnya, memeluknya dan merengkuhnya. "Lo aman sekarang. Ada gue, pokoknya jangan jauh-jauh dari gue mulai sekarang."

Odelia mengangguk patuh. Melepas pelukan pemuda itu kala dirasakannya permukaan kelas yang ia pijak bergetar hebat. Dinding-dinding kelas mulai retak. Para siswa-siswi berhamburan keluar kelas.

Gadis itu merintih kesakitan saat volume kebisingan terus meningkat. Telinganya sangat sakit. Tangannya terus berusaha menutupi kedua telinganya. Tetapi tetap gagal. Volume suara-suara itu tidak berkurang sedikit pun. Justru semakin keras. Osric semakin panik, namun wajahnya tetap berusaha setenang mungkin. Sarat suara pemuda itu penuh rasa khawatir tak bisa ditutupi. "Odelia lo--"

"OSRIC AWAS?!"

Tanpa menoleh, pemuda itu menggerakan telunjuknya ke arah sebuah bangku yang melayang ke arahnya hingga hancur menjadi beberapa kepingan. "Kita harus keluar sekarang." Tangannya menuntun gadis itu menuju pintu kelas. Namun langkah keduanya terpaksa terhenti tatkala Odelia mencengkram erat tangan Osric.

Garis wajah gadis itu tegas, sorot matanya menajam menghujam setiap sudut kelas yang kini hampir roboh. Memandang curiga, menyadari ada sesuatu yang janggal. "Osric, lo liat mereka? Kenapa mereka gak terlihat satu pun Ric?"

Osric terhenyak. Dia kalah cepat menyadari itu. Gadis itu benar, mereka tak tampak barang sesosok pun. Kemana mereka? Kenapa mereka tak tampak? Osric mulai bergelut dengan pikirannya. Hingga menyadari posisi mereka yang kini berbahaya.

Odelia memekik kesakitan. Telinganya berdengung. Bunyi kretek-kretek berkumandang, alarm tanda atap di atas mereka semakin rapuh dalam hitungan menit yang dipastikan atap itu akan roboh. Gadis itu mulai kehilangan gravitasi buminya. Tubuhnya terasa ringan, samar-samar suara Osric yang terus memanggilnya bergaung, setelahnya kegelapan berhasil menguasai sang gadis.

Pemuda berambut pirang itu menghentakan kepalanya. Matanya membulat. Netra gelap itu berkedip, raut wajahnya tajam tatkala melihat darah menetes dari hidung Odelia diiringi  teriakan kesakitan sang gadis sebelum tak sadarkan diri.

Pemuda itu yang tak lain Osric menangkap tubuh mungil itu dengan tanggap. Di ruangan itu tersisa dua orang, hanya dirinya dan seorang gadis tak sadarkan diri. Sedangkan siswa-siswi yang lainnya berhasil keluar kelas.

Osric memejamkan matanya rapat. Bibirnya bergerak tanpa suara. Sebuah cahaya biru terang berpendar bersamaan dengan atap kelas yang runtuh.

Semuanya kacau. Kekacauan itu dimulai sejak keduanya saling memberitahu nama keduanya. Tapi--

--Kenapa bisa demikian?

*****

Osric, pemuda itu kini tengah menjelajahi bangunan sekolahnya yang kini tak pantas di sebut bangunan sekolah setelah terjadi kekacauan besar. Puing-puing bangunan berserakan. Semua fasilitas sekolah rusak. Tak ada sisa. Beberapa tim medis sedang melakukan tugasnya, mengobati sebagian siswa-siswi yang luka dan sebagian lainnya dipulangkan karena kondisi yang tidak memungkinkan.

Dalam pikiran Osric dia bertanya-tanya, akan seperti apa reaksi Daddynya nanti saat tahu dan melihat bangunan sekolah kesayangannya. Dia berharap Daddy nya akan baik-baik saja.

Namun anehnya, semua kejadian tadi hanya terjadi disini. Diluar sekolah tampak seperti biasa. Tidak ada satu jejak pun yang dapat ditemukan dari insiden mengerikan beberapa saat lalu. Ini terlalu aneh bukan? Dan bagaimana ini bisa terjadi?

Tak sampai disitu, ada sebuah tempat bagian sekolah ini yang seolah tak tersentuh. Seperti tidak terkena guncangan besar beberapa saat lalu. Yaitu taman belakang sekolah. Setelah ia berhasil membawa dirinya dan seorang gadis keluar dari keadaan membahayakan, Osric membawa Odelia yang tak sadarkan diri ke taman belakang, untuk sementara waktu gadis itu ia tinggalkan sendiri disana.

Osric terpaku. Matanya menatap kosong pemandangan di depannya, lalu ia menutup kelopak matanya mencoba memusatkan penglihatan mata batinnya. Indra ke enamnya.

Dapat ia saksikan disana terdapat Odelia dengan seragam sekolah yang sama dengannya dan terlihat kebingungan di dunia mereka. Dunia Astral. Dunia yang memisahkan antara hidup dan mati. Dunia yang saling berdampingan, walau tak tampak oleh mata biasa, karena perlu keistimewaan untuk dapat melihat mereka yang sudah mati.

Gadis itu baru akan masuk ke dunia astral. Ibarat sebuah rumah, dia baru sampai di pelataran rumah, belum melewati pintu utama rumah. Sama halnya dengan Odelia, gadis itu baru sampai di gerbangnya. Sepanjang lorong, suasana disana berwarna merah terang. Semua pintu astral tertutup rapat. Keadaan sunyi, senyap. Tak ada tanda-tanda kehidupan. Tetapi, dapat dirasakan keberadaan mereka sangat kuat. Jumlahnya tak terhitung. Mereka bersembunyi. Tetapi--

--Why? Dan bagaimana gadis itu bisa sampai disana dan yang mengherankan, kenapa semua pintu astral tertutup rapat. Jika memang ia terpanggil untuk menyelesaikan misi, biasanya seorang petualang akan langsung masuk ke dunia mereka tidak seperti sekarang.

Apa mungkin sukma gadis itu keluar dengan sendirinya?

Atau, mungkinkah, gadis itu belum dapat mengendalikan kemampuan Astralnya.

Osric mengepalkan tangannya erat, tubuhnya berbalik dan dengan cepat berlari menuju taman belakang. Dapat ia lihat pula dengan mata terbuka, di depan gadis itu kira-kira berjarak lima meter, sesosok pria dengan jubah hitam seukuran orang dewasa dan rantai besi panjang ditangannya berdiri menjulang seolah memang sedang menunggu gadis itu. Sosok itu begitu mencolok diantara keadaan disana yang serba merah.

Sedangkan Odelia hanya mampu terdiam. Dirinya kaku, ingin berlari menjauh namun seluruh syaraf di tubuhnya seolah mati. Dia tidak tahu harus berbuat apa dan bagaimana. Sedangkan, peluh bercucuran deras. Gadis itu panik.

Dan kemungkinan terburuknya gadis itu dalam bahaya.