Osric telah tiba di taman belakang di mana Odelia terbaring di atas rumput hijau tepat di bawah pohon besar yang rindang. Wajah gadis itu pucat, tangannya bergetar. Butir-butir peluh membanjiri paras ayu sang gadis. Pipi chabby itu juga memerah.
Osric meraih kepala sang gadis, ditaruhnya kepala Odelia ke pangkuannya dengan pelan. Kedua tangannya ia letakan di samping kanan kiri kepala sang gadis. Netra gelap tajam itu menutup rapat.
Mencoba mengarungi pikiran Odelia. Berusaha menarik sukma sang gadis dengan mempengaruhi alam bawah sadarnya melalui pikiran sang gadis. Lalu masuk ke lokasi Odelia berada. Alias masuk ke dunia astral.
Kini, sukma Osric berada selangkah di belakang Odelia yang berdiri menghadap sosok jubah hitam yang tengah berjalan ke arah Odelia sembari menarik rantai. Gesekan rantai dengan permukaan lantai berhasil menciptakan suara yang cukup memekakan telinga.
Sosok jubah hitam itu berhenti mendekat tatkala menyadari kehadiran Osric. Osric maju selangkah, tangannya menggenggam erat tangan mungil Odelia. Odelia tercengang, menoleh seraya menatap heran Osric di sampingnya. "Osric, kenapa lo bisa ada disini? Gak seharusnya lo disini Ric."
Osric menoleh dengan wajah datar "Diam, Odelia. Lo pikir dengan lo di sini gak berbahaya buat diri lo?" Osric menghentakan kepalanya ke depan, menghunus si sosok jubah hitam dengan netra kelamnya.
Dari balik jubahnya, sosok itu menyeringai lebar. "Hallo Seifried Osric Gideon. Selamat datang kembali dan--" sebelah tangan jubah hitam itu terangkat, "--Selamat berjumpa kembali Osric."
"Osric, apa maksudnya?" Odelia mengernyit bingung. Keduanya seolah pernah bertemu. Dalam hatinya ia bertanya-tanya. Sebenarnya, siapa Osric dan siapa sosok jubah hitam itu? Kenapa keduanya seolah saling mengenal satu sama lainnya. Dari awal ia memang menyadari ada sesuatu yang lain ada pada diri Osric.
Tapi apa?
Belum terjawab kebingungan Odelia, beberapa benda tajam seperti pisau terus meluncur tanpa henti. Osric mengayunkan tangannya ke depan, sebuah cahaya biru berpendar terang melingkupi keduanya. Semua benda tajam yang mendekat lebur menjadi abu seketika saat benda-benda itu menyentuh dinding cahaya biru terang itu.
Sosok jubah hitam itu tertawa. Tawanya mengerikan, menggema sepanjang lorong, "Rupanya, seorang Osric Gideon masih seperti dulu."
Cahaya biru itu semakin lama pudar. "Gak usah basa-basi lo. Apa mau lo?!" teriak Osric tegas. Tak gentar dengan sosok jubah hitam.
"Osric." Panggilan nada lembut dari Odelia berhasil meredakan emosinya. Gadis itu tampak tenang, setenang telaga di pagi hari.
Mata gadis itu menajam menerawang jauh. Telinganya siaga ke sekitar mereka. Mata gadis itu menggelap, "Kita harus pergi dari sini sekarang." Ucap Odelia dingin tanpa menatap wajah Osric yang kini tak terbaca tatapannya. Keduanya saling mengeratkan kembali genggaman tangan keduanya.
Dalam hitungan detik keduanya berhasil menghilang dari hadapan sosok jubah hitam itu yang kini tersenyum sinis di balik jubah kebesarannya.
"Osric—atau harus kupanggil Alazar, ya?"
*****
Odelia menghembuskan nafasnya kasar. Nafasnya memburu, sesaat kemudian membelalakan kedua bola matanya. Di depannya terpampang jelas wajah bule seorang pemuda dengan jarak sekitar satu centi meter. "Lo gak papa?" tangan pemuda itu terulur hendak membantu Odelia berdiri namun ditepis oleh sang penerima.
"Lo bisa gak sih jaga jarak aman sama gue. Jangan terlalu deket, bikin parno aja tahu gak?!" ucap Odelia ketus sembari bangkit lalu duduk bersandar pada pohon dibelakangnya.
"Gue kan niat bantuin lo. Bukannya makasih kek udah ditolong. Coba kalau gue gak dateng, mau jadi apa lo disana. Bisa-bisa roh lo gak balik ke tubuh lo. Bahaya. Ngerti gak?!" balas Osric tak kalah ketus justru malah terkesan nyolot.
Dia tersinggung sebenarnya, mau marah tapi tak tega tatkala matanya menyorot wajah pucat Odelia. Kesal sudah jelas. Bagaimana pun perkataan Odelia menyinggung perasaannya. Rasanya apa yang ia lakukan sama sekali tidak berharga dan tidak berguna.
"Terus masalahnya sama lo apa?! Gue kan gak minta bantuan lo."
"Masalahnya gue khawatir sama lo, Odelia?!"
Hening. Degup jantung keduanya bekerja lebih cepat.
Odelia terperangah, bibir ranumnya membulat. Mata bundarnya mengerjap-ngerjap. Osric dibuat salah tingkah, dia mengalihkan pandangannya dari Odelia menuju langit biru seraya menghembuskan nafas berat. "Ekhm, maksud gue..itu, hm. Maksud lo apa tadi suruh kita balik. Padahal kan gue belum bales perlakuan dia." Osric mengalihkan pembicaraan. Mencoba mengurangi atmosfir canggung yang sangat terasa.
"Hah? Emang kapan gue ngomong kayak gitu?" Odelia menghentakan kepalanya, mengernyit bingung. Osric mencibir, mata elangnya melirik sinis Odelia. "Gak usah bercanda bisa? Apalagi pura-pura gak tahu, basi banget."
Odelia diam. "Osric." sang empu pemilik nama menoleh. Kali ini sepenuhnya, mata elang itu terpusat pada gadis bermata madu itu. "Gue serius Ric. Gue gak ngerasa ngomong kayak gitu. Emang kapan gue ngomong kayak gitu?" mata bundar itu mengerjap-ngerjap polos. Raut wajahnya terlihat bingung, tanpa dibuat-buat.
Mata elang Osric kian menajam. Menyelami netra coklat terang Odelia. Mencari jejak kebohongan, namun nihil. Tak ada jejak sedikit pun, itu artinya Odelia berkata jujur. Tapi, Osric tak mengerti. Apa gadis bersurai coklat itu memang pelupa atau memang bagaimana?
"Lo, pikun ya?" tanya Osric blak-blakan dengan tampang datar.
Bukannya menjawab, Odelia justru memberi sebuah isyarat untuk tak bersuara. Diletakannya jari telunjuknya di depan mulutnya. "Ststst, ada orang mendekat Ric."
Osric mengangguk. Menajamkan indra ke enamnya. "Empat orang." Keduanya berdiri. Berusaha mengontrol gerak tubuh serileks mungkin. Supaya tidak dicurigai melakukan tindak asusila di saat badai melanda.
Hallo! Mungkin bukan manusia akan berpikir yang tidak-tidak. Apalagi ini taman belakang dan hanya berdua. Ditambah posisi mereka yang tepat di bawah pohon besar. Bukannya mereka terlalu...mencurigakan.
"Satu." Odelia melirik Osric. Osric mengangguk.
"Dua." Osric menggoreskan lengan kanannya pada ranting pohon yang tajam sehingga mengeluarkan darah yang cukup banyak. "Tapi, lo gak papa Ric? Darahnya keluar lumayan banyak." Sarat suara Odelia terdengar cemas dan sedikit ragu. Ragu dengan rencana yang dibuat dadakan lewat telepati.
Osric mengangguk kalem, "Hm, santai aja. Ini mah kecil." Odelia menghembuskan nafasnya pasrah.
Kini, Osric dan Odelia duduk berhadapan di bangku taman yang memang tersedia tak jauh dari pohon itu berada. "Tiga."
"KALIAN! KENAPA ADA DISINI?!"
Osric menjerit pura-pura kaget. "Aduh Bapak. Bapak gak lihat ini saya lagi ngapain Pak?" Odelia yang melihat raut pura-pura Osric hanya memasang wajah datar. Terlalu malas mengikuti drama dadakan ini terlalu dalam.
"Iya, saya lihat kamu lagi diobati. Tapi tidak sebaiknya kalian berduaan di tempat seperti ini. Kenapa tidak ke depan saja yang ramai."
"Bapak kira waktu kejadian itu saya bisa berpikir jernih pak? Enggak pak. Justru saya ke sini karena tempat ini yang satu-satunya ada dipikiran saya. Dan tentunya aman Pak."
Kali ini, seorang wanita tim medis berjalan mendekat, meneliti luka Osric. "Lukanya cukup dalam. Harus segera ditangani agar tidak infeksi." Perkataan sang wanita medis itu berhasil menghentikan gerakan pura-pura mengobati Odelia. Sebuah ide jahat tiba-tiba lewat tanpa permisi, gadis berparas ayu itu dengan sengaja menekan luka Osric dengan kapas yang ia pegang membuat pemuda itu memekik kesakitan. Kali ini pekikannya murni tanpa mendramatisir.
"Aduh, sayang pelan-pelan dong." Ujar Osric manja suaranya sengaja dibuat-buat, pemuda itu benar-benar sangat ingin menggoda wajah imut di depannya. Matanya lantas berkedip genit. Odelia melotot galak.
Osric gagal.
"Kenapa tidak di obati di depan saja? Di depan kan ada petugas medis, yang pasti lebih terlatih."
"Maksud dokter, pacar saya tidak bisa mengobati saya gitu?! Emang apa yang salah dok?" balas Osric nyolot, lebih mendramatisir.
"Bukan be--"
"Sudah-sudah. Biarkan Osric melakukan sesukanya. Saya harus segera pergi. Ayo!" teguran dari Pak Rian selaku guru kesiswaan berhasil menghentikan keributan kecil itu. Setelahnya Pak Rian beserta dua orang satpam yang tadi berbincang dengannya entah membahas apa dan satu wanita tenaga medis itu akhirnya beranjak menjauh.
Osric tertawa ngakak, puas dengan apa yang sudah ia perbuat. "Gila. Lagian tadi buat apaan sih harus kayak gitu?!" cibir pedas Odelia. Gadis itu bangkit seraya menepuk-nepuk rok spannya.
Osric mengangkat sebelah alisnya, tangannya ia lipat ke belakang kepala dan ia jadikan sandaran. Dagunya ia naikkan. Sebisa mungkin raut wajahnya dibuat menantang. "Lo emang mau difitnah? Kalau lo mau ya silahkan gue sih ogah. Ribet. Buktinya lo juga tadi gak nolak kan?"
Odelia berdecak kesal, wajahnya ditekuk. Kemudian tersenyum kecil. "Thanks buat hari ini Ric. Termasuk ngobatin luka gue. Gue tahu lo yang ngobatin mimisan gue." Langkah gadis itu berjalan menjauh.
Osric berdiri menatap heran gadis bersurai coklat sepunggung itu. "Mau kemana lo?!" Osric berteriak lantang.
"Pulang lah. Lo emang mau disini terus sendirian." Balas Odelia tanpa berbalik dan terus berjalan. Osric mengumpat kesal tanpa suara. Dirinya tidak terima ditinggal sendirian.
Tetapi, kekesalan Osric terhenti tatkala gadis itu berbalik dan berdiri mematung menatapnya, menatap polos. Osric heran namun setelah gadis itu melontarkan kalimatnya, Osric kembali dibuat kesal. Kali ini, Osric benar-benar ingin memakan manusia.
"Ngomong-ngomong, lo itu beneran manusia atau manusia jadi-jadian sih."