Malamnya Alea masih belum juga memejamkan matanya, suasana rumah sakit membuat Alea tak menyukainya dan semalaman suntuk membuat Alea harus terjaga.
Hingga pagi-pagi sekali pun Alea hanya duduk di kursi sambil memainkan ponselnya.
"Kamu ngga tidur?" tanya Erwin.
Alea hanya mengeleng pelan, ia sama sekali tak bisa tidur.
"Mas Erwin mandi dulu, nanti aku nyusul," kata Alea.
"Nanti sebentar lagi, aku duduk disini aja dulu," ujarnya.
Alea kemudian menganggukan kepalanya, setuju dengan ide Erwin agar nanti bisa mengunjungi Ayahnya bersama-sama.
Namun baru saja keduanya akan mengobrol hal lain, seorang suster memanggil Dokter karena salah satu pasien kritis dan membutuhkan pertolongannya.
Dokter yang baru saja visit pun kembali masuk kedalam ruangan, hal itu membuat Alea dan Erwin terdiam dengan kepanikan luar biasa, takut jika itu adalah hamzah.
Entah apa yang terjadi didalam sana, hingga akhirnya suara bunyi panjang terdengar membuat yang menunggu anggtota keluarga masing-masing pun terkejut.
"Nona Alea.." panggil salah satu suster.
Membuat Alea semakin takut, Erwin pun mengusap pundak Alea dan ikut mengantar Alea sampai depan pintu ICU karena mereka tak bisa masuk kedalam secara bersamaan.
"Iya kenapa Sus?" Alea langsung menghampiri.
"Masuk dulu, Bapak Hamzah butuh sesuatu," kata sang suter.
Ada rasa lega, setelah mendengar Hamzah membutuhkannya menghilangkan rasa takut dan cemas yang menyerangnya tadi.
Alea pun segera masuk kemudian berpapasan dengan salah satu jenazah yang baru meninggal, Alea menguatkan hatinya mencoba sekuat tenaga melangkah segera menghampri sang ayah.
"Ayah udah baikan belum?" tanya Alea.
Hamzah hanya tersenyum kemudian menganggukan kepalanya, "Ayah mau pulang," balasnya.
Alea mengerutkan keningnya, "Kenapa? Ayah kan belum sembuh bener."
Hamzah telah berbicara kepada Dokter, dan dengan beberapa syarat akhirnya Hamzah diperbolehkan untuk pulang.
"Alea bilang dulu ke Mas Erwin, Ayah tunggu sebentar ya."
Hamzah mengangguk dan Alea pun segera keluar memberitaukan hal tersebut kepada Erwin.
"Ada apa?" tanya Erwin sedikit panic.
"Ayah udah bisa pulang, Mas urus administrasinya dulu ya," pinta Alea.
Erwin segera menuju ruangan administrasi, karena rumah sakit itu besar jadi semua pelayanan pun 24 jam.
Alea kembali masuk kedalam, segera melihat kondisi Hamzah lagi dan mulai membantu untuk berganti baju.
Seorang suster pun melepaskan infusannya, Alea sebenarnya tau jika Hamzah ngotot ingin pulang dan pastinya membuat semua petugas medis pusing karena sifat keras kepalanya.
"Ayah harus sehat kalo dirumah," kata Alea, sedikit sebal sebenarnya.
Alea bisa melihat dengan jelas, jika Hamzah sangat kesulitan dalam hal apapun dan mengotot ingin pulang.
Dokter datang menemui Alea dan Hamzah, seperti biasa beberapa pesan pun Dokter berikan. Dan satu hal lagi, Hamzah dilarang merokok.
Alea sedikit membulatkan matanya, kala Dokter dengan gamblang mejelaskan semuanya kini kepalanya pun semakin pusing melihat tingkah Hamzah yang semakin sulit diatur.
Setelah keluar dari ruangan ICU dan Hamzah telah duduk dikursi roda, Alea sama sekali tak membuka mulutnya. Kekesalannya semakin memuncak setelah apa yang didengar olehnya tadi.
"Kenapa?" bisik Erwin.
Alea hanya mendesah, tak ingin membuka suaranya sama sekali sedangkan Hamzah hanya menikmati setiap lorong rumah sakit.
Mobil telah berada didepan lobi rumah sakit, Hamzah pun dibantu satpam untuk masuk kedalam mobil.
"Besok kalian secepatnya menikah, Ayah harap kamu nggak protes!" ujar Hamzah.
Alea melirik sekilas, kemudian kembali menatap jalanan, untungnya Erwin belum masuk kedalam mobil.
"Udah siap?" tanya Erwin, selang beberapa saat masuk kedalam mobil.
Alea hanya menganggukan kepalanya, matanya telah ngantuk dan kepala terasa pusing.
"Ayah kalo ngga nyaman atau pusing bilang aja," kata Erwin kemudian.
Kini mobil Erwin pun segera keluar dari lobi rumah sakit, meninggalkan tempat yang kemarin malam dikunjungi.
Ketika Alea tidur Hamzah mengatakan banyak hal, dan soal pernikahaan pun Hamzah bicarakan.
Erwin sangat senang jika ia bisa menjadi suami Alea, ketika mendengar hari pernikahan dipercepat wajah Erwin kelihatan semakin berbinar.
"Baik Ayah," sahut Erwin, setelah mendapatkan banyak petuah.
*
Waktu cepat berlalu bahkan hari pernikahan Alea pun hari ini dilaksanakan, Pendeta pun telah datang ketempat tersebut.
Alea memang menikah disebuah taman kecil dekat rumahnya, tak ada pesta mewah dan sebagainya karena Erwin pun telah yatim piatu.
Alea keluar mengunakan gaun merah muda selutut dengan rambut yang digerai begitu saja, polesan diwajahnya pun tak begitu banyak namun aura kecantikannya semakin terpancar.
Berbeda dengan Erwin yang memakai jas berwarna abu, lelaki itu terlihat semakin tampan namun dimata Alea tak terlihat sama sekali.
Upacara pernikahan pun segera dimulai, Pendeta mulai meminta Erwin untuk mulai mengikuti ucapannya kemudian disusul oleh Alea.
Pernikahan mereka pun sah dimata tuhan dan negara, mereka kini telah resmi membuat Hamzah senang dan jatuh pingsan sekaligus.
Semua yang berada disana kaget, termasuk Pendeta dengan cepat mereka segera mengangkat tubuh Hamzah yang terasa dingin.
"Bawa kesana." kata Pendeta tersebut.
Erwin segera membopongnya, kemudian Pendeta tersebut memeriksa nadi Hamzah kemudian ia mengelengkan kepalanya pelan.
"Kita bawa ke rumah sakit!" putus Alea.
Pendeta membuka suaranya, jika Hamzah telah meninggal dunia dan percuma saja jika dibawa ke rumah sakit semua prosesnya akan semakin lama.
Alea berteriak tak percaya bahkan menangis dengan kencang, Hamzah meninggalkannya tanpa sepatah kata pun, bahkan meminta dirinya menikah pun tanpa ada senyuman diwajahnya.
Hanya ketika Pendeta menyatakan semuanya sah, ia langsung pergi begitu saja.
Alea merasa kesal kembali, kenapa harus seperti ini jadinya ia berharap jika dirinya menikah dengan Erwin, sang Ayah akan kembali sehat dan melihatnya bahagia namun apa yang terjadi. Alea malah kehilangan Hamzah dan pernikahan sialan ini telah terjadi.
Pernikahan yang digelar pun harus diselingi dengan duka, pengantin yang berbahagia pun harus bersedih karena pernikahan itu bercampur dengan acara pemakaman.
Alea menyanyikan beberapa lagu rohani untuk Hamzah, kemudian meminta beberapa tamu memberikan bunga mawar putih sebagai tanda penghormatan untuk Hamzah.
Masih memakai baju pengantin, Alea melepaskan mahkotanya kemudian segera masuk kedalam mobil untuk mengantarkan jasad sang Ayah ke rumah barunya.
Alea hanya mengusap-ngusap peti tersebut selama perjalanan, ia sama sekali tak memperdulikan keberadaan Erwin.
Hari kemarin ia telah berjanji kepada hatinya sendiri untuk menerima Erwin, namun saat ini hati Alea kembali berubah dan menolak lelaki tersebut.
"Ayo turun, kita udah sampai.." bisik Erwin.
Alea yang sedari tadi melamun pun langsung mengerjap, ternyata mobil telah sampai ditempat pemakaman.
Mau tak mau Alea turun dibantu oleh Erwin, semakin masuk kedalam tempat peristirahatan Hamzah, Alea semakin menangis kencang ternyata ia tak rela harus mengubur sang Ayah disana.
Erwin berusaha menenangkan Alea yang sangat kacau, dan membantunya untuk berjalan, agar menyaksikan proses pemakaman Hamzah.
Bebera orang yang ikut mengantarkan Hamzah pun turut menangis, melepaskan kepergian Hamzah untuk selama-lama.
Alea tak sanggup lagi melihatnya, ia pun berlindung dipelukan Erwin, menangis meraung-raung sambil menyebut nama sang Ayah berkali-kali.