Chereads / My Bos My Love / Chapter 3 - Spoiled

Chapter 3 - Spoiled

Marcel menarik tangan Mawar menuju tempat kerjanya. Beruntung, jalan menuju ruangannya terlihat sepi. Karena memang tidak sembarang orang bisa masuk ke ruangan ini. Bahkan, Pratama Enterpries menyediakan lift khusus untuk para petinggi perusahaan.

"Tuan." Rintih Mawar saat Marcel dengan kuat menggenggam pergelangan tangannya.

"Sakit." Seakan tuli, Marcel tetap menarik Mawar menuju ruang kerjanya.

"Duduk."

Tanpa membantah dua kali, Mawar mulai duduk di sofa.

Kepalanya terus menunduk tanpa berani melihat bosnya yang terus menatapnya penuh intimidasi.

Marcel menghela napas kasar, dan duduk di samping Mawar.

"Kau tau kesalahanmu?" Bisik Marcel tepat di telinga Mawar.

Mawar mengangguk dengan cepat. Dia tidak ingin mencari masalah dengan Marcel dan berakhir dengan dirinya dipecat.

Tubuh Mawar terus mundur ke belakang saat Marcel mengikis jarak di antara mereka.

"Tu..tuan!" ucap Mawar terbata saat punggungnya sudah menabrak punggung sofa. Tidak ada lagi kesempatannya untuk menghindar.

Jemari Marcel membelai wajah Mawar yang halus.

Tatapannya turun ke arah bibir cherry yang tampak bergetar.

Bibir itu. Marcel ingin merasakannya kembali. Bagaimana bibir itu berada di dalam mulutnya. Kekenyalan yang tak bisa Marcel lupakan begitu saja.

Cup.

Cup.

Cup.

Airmata Mawar siap tumpah karena perilaku kurang ajar Marcel. Tangannya sudah siap menampar pipi Marcel jika saja tak merasakan suhu hangat dari tubuh Marcel.

"Anda sakit?" Tanya Mawar. Terlihat sekali nada khawatir di dalam suaranya.

Marcel menggeleng, pelukannya semakin erat dan wajahnya semakin betah bersembunyi didalam leher milik Mawar. Mengendusnya dan tak jarang lidahnya menjilat leher jenjang Mawar yang tak tertutupi apapun karena gadis tersebut menguncir kuda rambutnya sehingga semakin mempermudah Marcel berbuat yang iya-iya.

"Tapi..."

"Aku tidak apa - apa," jawab Marcel serak, karena tenggorokannya terasa sakit ketika dia coba untuk bicara.

Mawar, entah kenapa merasa khawatir dengan keadaan Marcel. Padahal seharusnya dia membenci pria tersebut. Tapi, dia tidak enak hati bila harus memendam dendam pada bosnya itu.

Maka dengan sedikit paksaan, Mawar melepas pelukan Marcel.

Menangkup kedua pipi Marcel dengan kedua tangan mungilnya. Bisa Mawar rasakan napas hangat Marcel menerpa wajahnya.

"Kamu sakit," lirih Mawar dengan nada penuh kekhawatiran.

Dan entah Marcel keberanian darimana hingga dia bisa dengan lancang memanggil Marcel dengan sebutan kamu tanpa embel-embel presdir.

"Aku baik-baik saja, sayang." Bisik Marcel, hidung keduanya sudah bersentuhan, meninggalkan jarak kurang dari 3 centi pada bibir mereka.

Dari awal, Marcel sudah memilih Mawar menjadi teman hidupnya. Tak peduli gadis itu mau atau tidak, tak peduli gadis itu menyukainya atau tidak. Marcel benar-benar tak peduli. Mawar selalu berada disisinya itu sudah lebih dari cukup untuk Marcel.

Entah setan apa yang merasuki Mawar hingga dia dengan berani mengecup bibir Marcel. Yang ada dipikirannya ketika menatap mata Marcel adalah perasaan nyaman yang tidak pernah Mawar dapat dan rasakan sebelumnya.

Bahkan, Marcel cukup terkejut dengan tindakan kecil yang sedikit nakal tersebut.

Mawar mengerjap, merutuki tindakannya tersebut.

"Maaf," mata Mawar berkaca - kaca. Seharusnya dia tidak melakukan hal yang bisa dikatakan kelewat batas. Apa nanti tanggapan Marcel mengenai dirinya. Mawar takut Marcel berpikir dia gadis yang nakal. Demi Tuhan! Dia bukan gadis seperti itu. Sumpah, Mawar hanya reflek ketika melakukannya.

"Ssstt, tidak apa-apa." Marcel mendekap Mawar dalam pelukannya.

"Hikss, hiksss." Mawar terus menangis.

"Jangan menangis, sayang. Aku menyukainya."

Mawar mendongak menatap Marcel dengan airmata yang masih mengalir.

"Apa yang kalian lakukan?" Sebuah suara yang menginterupsi membuat Marcel mendengus tak suka.

Dengan enggan, Marcel mengurai pelukannya dan beranjak menuju pintu lain yang ada di ruangan tersebut.

Mawar merasa hampa saat rasa hangat yang menggelayuti tubuhnya menghilang. Tatapannya menyendu menatap pintu yang baru saja ditutup oleh Marcel.

"Apa yang terjadi?" Lagi, lelaki yang tidak lain adalah Vino kembali bertanya.

Mawar tersentak, kemudian menatap Vino dengan gugup, sudah pasti Vino melihat apa yang dia lakukan bersama Marcel.

"Tuan Marcel sakit, dia demam," jawab Mawar pelan.

Vino mengangguk pelan, "Aku akan membeli obat, tolong jaga dia sebentar ya." Ucap Vino disertai senyum manis, membuat jantung Mawar berdentum kencang.

Vino kemudian keluar untuk membeli obat di apotek yang ada di sebrang kantor. Mengabaikan banyak pertanyaan yang berkelebat di otaknya saat melihat kedekatan Marcel dan Mawar yang bisa dikatakan cukup intim. Mereka baru kenal kemarin, hanya dalam waktu satu hari mereka bisa sedekat itu. Vino menggeleng, dia akan bertanya pada Marcel nanti.

Mawar menghembuskan napasnya lega saat Vino sudah keluar. Segera, Mawar membuka pintu yang di masuki Marcel tadi, membukanya dengan pelan, takut mengganggu Marcel yang entah sedang apa di dalam sana.

Mawar tertegun, matanya bergerak liar menjelajah ruangan yang baru saja dia masuki, terkesan mewah dan berkelas, tentu dengan barang yang ia pastikan harganya sangat mahal.

Kamar itu memang cukup simple, hanya ada tv, dua buah lemari yang berisi baju dan buku, lemari pendingin kecil yang berada di pojok ruangan juga satu set sofa berwarna abu - abu. Juga ada satu pintu lagi yang Mawar yakini sebagai kamar mandi.

Puas melihat, kini mata Mawar beralih menatap ke arah Marcel yang berbaring di ranjang king size miliknya. Dengan gerakan pelan, dirinya mulai mendekat. Duduk tanpa menimbulkan suara di pinggir ranjang agar tidak membangunkan Marcel.

Tangan Mawar terulur mengusap wajah Marcel, mulai dari pipi, mata kemudian hidung turun lagi ke bibir Marcel. Mengusapnya dengan pelan.

Deg deg deg

Tangan kirinya memegang dadanya yang berdetak keras dan cepat, lebih cepat daripada saat melihat Vino. Ada apa ini, Mawar belum pernah merasakan hal yang seperti ini, apa dia memiliki penyakit jantung.

Lamunannya buyar ketika merasakan ibu jarinya di hisap, matanya membelalak terkejut saat mengetahui pelakunya adalah Marcel.

Mawar tidak bisa mengeluarkan sepatah kata, meski sekedar sebuah umpatan.

Entah kenapa, Mawar tidak bisa marah dengan semua sikap kurang ajar yang Marcel lakukan padanya. Tubuh dan hatinya seakan menerima semua itu. Begitu juga saat ini, ibu jari yang dihisap Marcel kini malah mengusap bibir pucat lelaki tersebut.

"Sebentar," Mawar bangkit berdiri, buru-buru keluar dan masuk kembali kedalam sembari membawa plester penurun demam. Ya, dia baru ingat jika dua hari yang lalu dia membelinya, bersama obat demam di apotek karena merasa tidak enak badan.

"Ini," Mawar menyerahkan bungkusan plester tersebut pada Marcel, tapi hanya ditatap oleh Marcel tanpa repot mengambilnya.

"Pasangkan," perintah Marcel.

"Eh.."

"Pasangkan, sayang." Lagi, Marcel mengulangi perkataannya.

Mawar mengalah, menuruti sikap manja Marcel barusan. Membuka bungkus plester kemudian menyingkap rambut yang menutupi dahi Marcel lalu menempelkannya.

"Cium," lagi. Marcel kembali menyuruh Mawar sesuka hatinya.

"Hah?"

"Mama biasanya mencium dahiku ketika selesai menempelkan plester agar panasnya cepat turun." Alibi Marcel. Tak apa bukan jika dia memanfaatkan kepolosan Mawar untuk dirinya sendiri.

"Benarkah? Aku baru mengetahuinya." Mawar berucap penuh binar.

Marcel mengangguk meyakinkan.

'Berhasil,' batin Marcel senang.

Mawar kembali mendekat, menangkup wajah Marcel lalu mencium dahinya dengan sayang.

TBC