Marcel semakin menarik pinggang Mawar mendekat padanya.
"Sudah," Marcel tersenyum.
"Kamu mau jadi pacarku?" Lirih Marcel, suaranya sangat pelan sehingga Mawar tidak bisa mendengar dengan jelas apa yang di katakan oleh Marcel.
"Hah? Tuan mengatakan sesuatu?"
Marcel menggeleng, "Tidak."
"Benarkah?" Tanya Mawar ragu.
"Iya sayang," balas Marcel menggoda Mawar menggunakan kata sayang.
"Tuan jangan memanggilku seperti itu," kata Mawar dengan bibir mengerucut semakin menambah keimutannya. Dengan posisi keduanya yang begitu dekat, Marcel bisa dengan jelas melihat rona merah di pipi sekretaris barunya ini.
"Kenapa? Aku menyukainya." Balas Marcel tak mau kalah.
"Tapi..."
"Kamu keberatan?" Sela Marcel.
Mawar menggeleng.
"Ya sudah jika begitu." Bibir Mawar melengkung kebawah.
"Jangan membuat ekspresi seperti itu."
"Kenapa?"
"Aku jadi ingin menciummu!"
Mata Mawar membulat, tak lama gadis yang masih perawan itu mengerling.
"Sini, coba ayo. Nih, nih bibir aku nih," Mawar menantang seraya mengerucutkan bibirnya. Tidak sadar jika tindakannya itu mengundang bahaya.
Marcel tergelak, meski begitu dia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan yang ada.
Marcel mendekatkan wajahnya, membuka lebar mulutnya kemudian memasukkan bibir Mawar yang mengerecut ke dalam mulutnya. Menghisapnya dengan rakus.
Mawar membelalak, tak percaya jika Marcel berani melakukan tindakan kurang ajar kepadanya untuk yang kesekian kalinya.
Tangannya mendorong bahu Marcel hingga membentur kepala ranjang.
"Kenapa anda menciumku!" Pekik Mawar tak terima.
Tangan kecilnya memukul dada Marcel dengan membabi buta, tidak peduli jika lelaki didepannya ini adalah bosnya. Awalnya Marcel tidak merasakan sakit, tapi lama - kelamaan Marcel merasakan nyeri di dadanya.
"Hiks, hiks, hiks."
Marcel menghela napas, membawa tubuh Mawar ke dalam dekapannya.
"Lain kali jangan seperti itu, karena aku akan melakukan apapun yang kamu minta, sayang. Termasuk menciummu." Bisik Marcel.
Dengan masih sesenggukan, Mawar menatap Marcel.
"Ishh, jorok." Ucap Marcel seraya menjauhkan wajah Mawar menggunakan kedua jari telunjuknya.
Srot srot srot
Marcel menatap jijik ke arah Mawar, tak habis pikir dengan tingkah ajaibnya. Bukannya membuang ingusnya malah menyedot ingusnya.
"Di buang, jangan di sedot." Ucap Marcel penuh penekanan.
"Nggak bisa, hikss." Marcel mengambil tisu yang berada di atas nakas kemudian mendekatkan tepat di depan hidung Mawar.
"Keluarkan," perintahnya.
Mawar menurut, dan kembali mengeluarkan ingusnya.
"Sudah?" Mawar mengangguk.
"Buang," Marcel memerintah yang lagi - lagi di turuti Mawar dengan patuh.
Setelah membuang tisu yang berisi ingusnya ke dalam tempat sampah yang ada di kamar tersebut, Mawar kembali menghampiri Marcel.
Berdiri di dekat laki-laki yang sialnya menjadi bosnya entah sampai kapan.
"Kita tidak berangkat kerja?" Tanya Mawar.
Marcel menatap Mawar yang berdiri di samping ranjang king size miliknya.
"Kamu tidak melihat keadaanku, kamu ingin kita bekerja di saat aku sedang sakit seperti ini?" Ucap Marcel menatap tajam sekretaris barunya.
"Bukan begitu..." Mawar menggeleng, kenapa bosnya tidak memberinya kesempatan untuknya bicara.
"Lalu apa? Kenapa kamu bertanya seperti itu?" Tanya Marcel lagi. Menatap sinis pada Mawar, dan tentu saja gadis itu tidak suka jika ditatap seperti itu.
"Bagaimana jika kita tidak di terima? Bukankah ini hari pertama kita masuk kerja ke perusahaan Wijaya Grup?" Tanya Mawar semakin memelan di akhir kalimat.
"Aku sudah meminta ijin." Jawab Marcel seraya berbaring memunggungi Mawar. Karena jujur saja, rasa pusing yang menyerang kepalanya semakin bertambah.
Mawar mengerutkan dahi, merasa aneh dengan jawaban bosnya. Semudah itukah mereka mendapatkan ijin. Tapi Mawar mengendikkan bahu tidak peduli, ia tidak mau memikirkannya.
"Tuan," Mawar memanggil lirih. Tangannya ragu antara menyentuh bahu Marcel atau tidak. Apalagi Marcel menutup seluruh tubuhnya dengan selimut.
"Nanti tuan tidak bisa bernapas," akhirnya Mawar menjadi pihak yang mengalah.
Tangannya menyingkap selimut yang dipakai Marcel, kemudian dengan gerakan hati - hati menempelkan telapak tangannya pada dahi Marcel yang terasa semakin panas.
"Makin panas," Mawar menggigit bibir bawahnya, khawatir. Beberapa kali melirik jam dinding, merasa jika Vino lama sekali untuk sekedar membeli obat.
Mawar akhirnya beranjak dari kasur, memutuskan menunggu Vino di depan, jika perlu menyusulnya. Karena setau Mawar, disebrang kantor ini ada apotek.
*****
Vino terkejut saat mendapati keberadaan Mawar di depan kantor. Dengan langkah tergesa, dia menghampiri Mawar.
"Kenapa tuan lama sekali." Baru saja Vino sampai dan belum sempat bertanya, Mawar sudah lebih dulu mengeluarkan kekesalannya.
"Kenapa kau marah?" Vino bertanya tak suka.
"Tuan Marcel sedang sakit, tapi anda lama sekali membeli obat." Jawab Mawar lirih. Takut melihat raut wajah Vino yang terlihat marah akan sikapnya, bukan maksud ingin melampiaskan kekesalannya, tapi Mawar khawatir dengan keadaan bosnya itu yang dia tinggal sendiri tanpa ada yang menemani apalagi tengah sakit begini.
"Dia sudah besar, kau sudah sarapan?" Tanya Vino mengalihkan pembicaraan.
Mawar menggeleng sebagai jawaban.
"Kita sarapan dulu," kata Vino menggenggam tangan Mawar. Mengajaknya pergi untuk sarapan.
"Tapi...."
"Marcel bisa mengurus dirinya sendiri, jadi kau tidak perlu merepotkan dirimu."
Melihat Mawar yang hanya diam, Vino kembali mengeluarkan suaranya, "Jika tidak mau, aku tidak akan memberikan obatnya." Ancam Vino.
"Saya bisa membelinya sendiri." Jawab Mawar.
"Silahkan, tapi obatnya sudah habis. Tinggal ini," kata Vino seraya mengangsurkan tangan yang menenteng kresek didepan wajah Marcel.
"Kenapa tuan jahat sekali, hiks." Mawar menangis.
Vino menghela napas, "Jika kau ingin merawat orang sakit sebaiknya lihat keadaanmu lebih dulu."
"Kau bahkan belum makan," Vino melanjutkan.
"Sekarang, terserah padamu." Kata Vino sambil berlalu, karena dia yakin Seyeon akan mengikutinya.
Vino melirik ke belakang, senyum tipis tersungging di wajah tampannya ketika Mawar mengikutinya dengan langkah pelan.
Keduanya tak menyadari jika seseorang menatap tajam mereka dari lantai atas kantor.
****
Marcel menggeram, tangannya mengepal erat seakan siap memukul apa saja yang ada didekatnya.
Beraninya gadis itu meninggalkannya. Batinnya marah. Ia terbangun begitu merasakan kesunyian saat tadi tertidur, dan ketika membuka mata, dugaannya benar jika Mawar telah pergi.
Dengan kasar Marcel menarik tirai yang menutupi kaca jendela. Langkahnya kembali ke ranjang king size miliknya. Karena jujur saja, rasa pusing masih mendera di kepalanya.
.
.
.
.
.
.
.
Mawar menggigit bibir bawahnya, merasa bersalah dan khawatir menjadi satu. Bersalah karena meninggalkan bosnya sendirian dan khawatir karena tidak ada yang menemani bosnya itu. Ia terpaksa mengikuti Vino karena menginginkan obat tersebut untuk Marcel.
Rasanya Mawar ingin menangis, karena Vino terus - menerus menahannya.
"Saya pergi dulu," ucap Mawar merampas kresek berisi obat yang berada di atas meja.
Vino menatap kepergian Mawar dengan tidak rela, dia masih ingin berlama - lama menghabiskan waktu dengan gadis cantik yang sialnya sangat polos tersebut.
***
Mawar mencari keberadaan Marcel begitu sampai di dalam kamar. Langkahnya dengan tergesa menuju ke kamar mandi begitu mendengar suara muntahan.
"Tuan!" Pekik Mawar tak bisa menyembunyikan rasa khawatirnya. Di depan sana, Marcel mengeluarkan cairannya di dalam westafel kamar mandi.
"Tuan," Mawar mendekat dan mengusap tengkuk Marcel namun segera ditepis si empunya.
"Pergi," tajam, dingin dan menusuk hingga ke tulang sampai tak sadar bulu kuduk Mawar ikut berdiri.
"Tapi,...." Mawar sudah mencicit, matanya berkaca - kaca ketika Marcel membentaknya.
"AKU BILANG PERGI!!"
TBC
note: disini parah banget ya, yang baca hampir seribuan tapi nggak ada yg ngasih vote dan komen.. sedih sih.. mending di wattpad kalo kayak gini..