Sore ini Rinai ada janji sama Birai buat pergi ke rumah Pakcik. Ia mengerjakan pekerjaan secepat mungkin dan menyisihkan sedikit buat besok. Bukannya Rinai pemalas loh sampe nyisain pekerjaan segala, orang kerjaan Rinai banyak banget, mana selesai satu hari. Untung aja ini masih awal bulan, jadi gak harus buru-buru.
Rinai melirik jam di HP, udah setengah 6 alias udah setengah jam Birai telat. Dealer sudah tutup sejak tadi, sudah tergembok, terkunci rapat. Rinai jadi duduk lesehan di teras dealer menunggu jemputan. Tau gini mending tadi Rinai nebeng Bang Dewa aja kali ya, pasti sudah sampai di rumah Pakcik.
Rinai membuka tas dan mengintip ke dalam salah satu saku. Di dalam sana Rinai sudah menyimpan sebuah penyemprot yang isinya air lada. Bukan buat makan, tapi buat jaga-jaga! Rinai sengaja membawa satu garpu dari rumah, siapa tau Birai bukan orang baik. Siapa tau dia mau culik Rinai, terus dijual! Meski suka cemberut dan berwajah datar gini, organ tubuh Rinai kan bisa aja dipreteli, terus dijual deh ke pasar gelap, atau Rinainya yang bakal dijual ke mucikari!
Ngeri!
Pokoknya Rinai nggak boleh sampai lengah. Bahkan kunci HP pun udah dinonaktifkan, jadi kalau mendesak, gak perlu masukin password dulu, bisa langsung nelpon buat minta tolong.
Tapi, kan Rinai nggak punya paket nelpon! Nggak punya bonus SMS juga, kuota internet juga modal gratisan dari dealer, ini!
Demi apa Rinai gak modal!
Apa Rinai pinjam HP kantor yang biasa dia pake aja kali ya? Kan gak ada yang tau ini bakal dibawa. Lah, dealer aja udah digembok gitu! Kuncinya kan sama Bang Sutan.
Gak apa-apa deh, yang penting Rinai udah bawa penyemprot air lada. Kalo dia macem-macem, liat aja, Rinai langsung semprot terus kabur!
Dari kejauhan, motor Birai tampak mendekat. Cowok itu memasang wajah bersalah dan senyum gak enak.
"Maaf ya, tadi ditahan dosen bentar. Udah lama nunggu?"
Rinai manyun.
"Maaf kali, lah!"
"Gak apa, Bang," kata Rinai sembari bangkit.
"Yok, kita langsung ke sana aja!"
Rinai mendekat dan naik ke atas motor. Ia berpegangan pada besi bagian belakang saat motor mulai melaju.
Dalam hati, Rinai masih was-was. Dia benar-benar takut kalau Birai bukan orang baik. 1001 rencana mulai tersusun di otaknya.
Khayalan 1:
Kalau nanti Birai coba bawa Rinai ke tempat sindikatnya, ia bakal langsung kabur. Terus tangannya bakal ditarik, tapi Rinai bakal ngelawan. Ia ambil penyemprot air lada yang di letak di saku paling luar tas dan semprot wajah Birai. Wajah Birai bakal pedes dan pegangannya terlepas, terus Rinai lari sekencang-kencangnya sambil teriak keras minta tolong, terus selamat!
Selamat ya Rinai!
Cieee, selamat yaaa! Udah makin tua nih!
Selamat ya! Umur berapa? Ke-23 ya?
Dih, bukan!
Bukan selamat ulang tahun kayak gitu!
Tapi selamat dari bahaya!
Keseel!
Khayalan 2:
Rinai sampai di rumah Pakcik, tapi yang menunggu di sana malah teman-teman Birai yang ternyata pada psikopat dan lagi cari mangsa. Ia kemudian dibunuh. Mati! Masuk TV! Lalu satu-satu keluarga dan kenalan bakal di wawancara,
Wartawan: Bagaimana perasaan ibu setelah tau anak ibu dibunuh?
Ibu: Sedih, Dek (ibu meraung). Ha-harusnya saya paksa adeknya buat jemput! Huaaaa… (histeris)
Wartawan: bagaimana korban di mata kamu sebagai adiknya?
Embun: Hiks! Hiks!! Huaaaaaa…. (ikut meraung) Kakakkkk! Kasih tau dulu di mana simpan remote TV! KAKAKKKK!!!
Wartawan: Ikhlasin ya, ikhlasin… Nanti saya sedekahin remote TV satu. Di rumah saya ada 2 soalnya. (ikut nangis)
(kemudian, kamera pindah tempat. Tampak dealer tempat Rinai kerja yang terlihat lebih sendu dan gelap)
Wartawan: Apa yang bapak paling ingat tentang korban?
Pak Daniel: Saya ingat, dia terpaksa turun gunung. (buang ingus pakai saputangan) Tapi apa boleh buat, kami terpaksa, kami lagi hemat. Harusnya saya pura-pura nawarin kenaikan gaji biar dia senang di akhir hidupnya.(wajah melas).
Wartawan: Ada hal terakhir yang paling kamu ingat dari korban?
Bang Dewa: Harusnya saya ngelarang dia buat ke sana! (tampang syok) Ini salah saya! Ini salah saya! (histeris sambil guling-guling di lantai)
Wartawan: Tampaknya dealer sangat berduka ya, sampai suasana tampak lebih redup dari pada biasanya?
Bang Sutan: Oh, itu… emang lagi mati lampu sih, Pak. Hehehe...
Wartawan: O-ohhh, gitu yaaa?
Rinai mengulum bibir, mau tak mau senyum-senyum sendiri sama hayalan konyolnya. Demi apa Rinai merasa bodoh!
Mengerjapkan mata, Rinai akhirnya sadar kalau motor yang ia tumpangi sudah tak bergerak lagi. Di depan, Birai memperhatikan Rinai dari kaca spion sambil mengulum senyum. Rinai mati gaya!
"Udah sampe," kata Birai sembari menahan tawa. Gak paham kenapa Rinai senyum-senyum sendiri.
Birai memarkirkan motor tepat di depan sebuah rumah sederhana nan asri. Rumah itu tanpa pagar dengan warna cat hijau muda, mengingatkan Rinai pada daun kelapa yang suka digunakan ibu untuk membuat ketupat setiap kali lebaran datang. Di sisi rumah ada beberapa bunga; anggrek, lili, mawar, dan lain-lain yang tersimpan rapi di dalam pot. Ada yang disusun di atas rak di lantai, ada juga yang digantung di langit-langit rumah. Dan seekor burung cantik berbulu hijau dan hitam dengan kicauan merdunya yang sedang asik bermain di dalam sangkar masing-masing.
Rinai turun dari motor dan masih sedikit was-was, meski dia mulai yakin kalau Birai memang orang baik, gak ada niat jahat. Ia menatap ke sekeliling rumah dan mendapati mereka berada dalam kompleks perumahan padat. Di ujung gang, sekelompok anak kecil bermain-main, di sisi lain ada sekelompok ibu-ibu yang asik merumpi, dan di warung dekat yang tak jauh dari sana beberapa orang bapak-bapak tampak bercengkrama.
Rinai menatap pemandangan itu dengan penuh perasaan. Entah kenapa, terkadang di saat ia melihat pemandangan seperti ini, ia merasa sedang menonton film secara live. Film hidup orang lain.
Ada kalanya saat ia berjalan di depan deretan ruko di pinggir jalan raya dekat rumah mereka setiap kali ia ke supermarket, dari satu sisi ke sisi lain, dari satu toko ke toko lain, dari satu ujung ke ujung yang lain, ia merasa sudah menyaksikan banyak kehidupan.
Dalam satu pintu ruko, ada kakak-kakak yang jualan baju dengan 1001 permasalahan hidup. Entah tentang cinta yang telah usai, perjuangan menahan tekanan dari bos mereka yang galak, atau kesedihan karena tak bisa lanjut kuliah layaknya teman-temannya yang lain. Di ruko selanjutnya ada koko-koko yang sibuk memerintah karyawannya untuk menyusun barang-barang yang baru masuk. Satu, dua orang tampak meringis menahan kardus berat dipunggung, yang lain terlihat pasrah. Pada nasib. Pada takdir. Pada hidup yang tak adil. Dan di ruko lain, ada kehidupan lain. Cerita lain. Dan permasalahan lain.
Terkadang, saat melihat hal itu, ia merasa tersesat. Itu membuat dia berpikir ulang ke mana sebenarnya ia hendak pergi? Ke mana harusnya ia kembali? Kadang, hal-hal seperti ini mencubit hatinya, seakan berkata "Ini bukan tempat ku yang seharusnya!"
Ada saat ia berpikir bahwa tempatnya yang sebenarnya adalah sebuah perjalanan panjang. Berisi 1001 pengalaman, pengamatan, dan kebebasan. Ia ingin berjalan dari satu ujung dunia ke ujung dunia lainnya. Ke balik bumi, ke tempat yang berada di belakang gambar Indonesia di globe. Atau… ke sisi lain di peta dunia.
Rinai ingin pergi. Terbang. Bebas. Dan lepas.
Dan kemudian, dia akan menuliskan semuanya di dalam tulisannya. Sedihnya, sakitnya, pahitnya, bahagianya, dan… pulangnya.
Hal ini semakin membulatkan tekadnya untuk menjadi penulis pro. Untuk membuka peluang dan kesempatan dirinya... terbang sebebas mungkin.
"Dek. Malah diam aja?" Birai mengintip dari balik pintu. Rinai tersentak. Ia serasa ditarik ke dunia nyata.
"Melamunnya ditunda dulu, ya. Yuk, masuk!"
Rinai gak suka dibilang melamun! Nih orang nyebelin banget sih!
Sambil meringis, Rinai akhirnya mengikuti Birai masuk ke dalam rumah. Ia tersenyum canggung pada sosok lelaki paruh baya yang duduk di sofa tunggal seakan sengaja menunggu mereka. Di atas meja tamu ada beberapa minuman kaleng, air mineral gelas, dan makanan ringan.
Namanya Agus Salim. Orang-orang kebanyakan memanggilnya Pakcik, soalnya dia orang melayu asli. Lelaki itu bertubuh gendut dengan sebagian rambut sudah memutih. Ia memiliki garis wajah kebapakan yang penuh pengertian dan tanggung jawab. Namun, binar matanya menunjukkan dengan jelas wibawa dan kecerdasan yang sudah terasah.
"Pakcik," sapa Birai. Beliau mengangguk perlahan.
"Oh, ini orangnya Birai?" Suara Pakcik terdengar ramah dan lembut, mengingatkan Rinai pada hari mendung dengan semilir angin sepoi-sepoi. Dia tersenyum ramah sambil menatap Rinai, yang Rinai balas dengan canggung.
"Iya, Pakcik," sahut Birai.
"Rinai, Pakcik," kata Rinai memperkenalkan diri sambil menyalami tangan Pakcik. Ia mengikuti Birai duduk di sisi sofa yang lain.
"Sejak kapan suka menulis?" Pakcik menatap Rinai dengan pandangan tertarik, jarang-jarang dia menemukan anak muda Pekanbaru yang sampai menyambangi rumahnya hanya untuk dimentori menulis.
"Sebenarnya sejak SD udah bercita-cita pengen jadi penulis Pakcik, tapi mulai nulisnya baru pas SMP," jawab Rinai.
"Sejak SD udah niat jadi penulis? Hebat betul! Kenapa tak jadi dokter saje? Atau guru? Kan anak kecil biasanya macam tu lah, kalau nggak dokter, ya guru." Mereka terkekeh.
"Iya ya, Pakcik. Dulu Birai waktu SD ngebet kali jadi polisi," sahut Birai.
"Iye lah, anak kecilkan cita-citanya pada sama. Cita-cita 1000 umat lah tu hahaha...." Pakcik kembali terbahak.
"Nah, Rinai kenapa cita-citanya tak ikut cita-cita 1000 umat?" Pakcik dan Birai menatap Rinai.
Kenapa ya?
Ingatan Rinai kembali pada 17 tahun yang lalu, saat dia masih berstatus murid kelas 1 SD.
Rinai kecil di kampungnya di Sumatera Barat. Tinggal bareng nenek, kakek, dan adik perempuan ibu yang ia panggil Ande. Kampung Rinai asri dan hijau, dekat laut dan dari teras rumah bisa kelihatan puncak gunung.
Kampung Rinai masih asing dengan yang namanya TK, jadi saat sudah cukup umur, mereka bisa langsung mendaftar ke SD. Mereka hanya memiliki seorang wali kelas yang hanya akan masuk ke kelas yang ia walikan saja dan mengajar semua mata pelajaran.
Rinai tak memiliki bayangan sedikitpun akan menjadi apa saat besar, ia bahkan juga tak cukup paham menjadi besar itu maksudnya seperti apa? Ia hanya mencoba melakukan yang terbaik dengan semua rasa ingin tahu yang dimiliki oleh anak SD pada umumnya.
Di sekolah, selain berhitung Rinai juga diajari membaca. Tapi Rinai termasuk dalam kelompok anak yang masih mengeja saat teman-teman yang lain sudah mulai lancar. Hal itu membuat Rinai bekerja 2x lebih keras agar tak tertinggal jauh.
Disuatu sore yang mendung, Rinai memutuskan untuk membaca buku dibandingkan main bersama teman-teman di lapangan desa. Di atas sofa berwarna abu-abu, Rinai menelungkupkan badan dengan sebuah buku. Seretnya kulit sofa yang menggesek di sepanjang lengan tak membuat semangat Rinai surut, ia tetap fokus belajar membaca.
"Ha, tumben kau nio belajar membaca?" Ande datang dari dalam mengunci pintu depan. Rambutnya tampak disanggul sederhana seperti biasa. Dia menggunakan baju tidur seadanya dan tampak bersiap-siap memasak untuk makan malam.
Rinai hanya tersenyum. Biasanya kan ia lebih memilih untuk main dibanding belajar, ketangkap basah kayak gini membuat pipinya bersemu merah.
"Rajin-rajin lah kau belajar, biar lebih dulu kau pandai dari pada si Santi. Dia pun pas ande dengar waktu membaca masih patah-patah juo." Tanpa menunggu jawaban Rinai, Ande berlalu menuju dapur.
Rinai tercenung. Santi… masih patah-patah kalau membaca? Padahal selama ini Rinai selalu minder kalau sama Santi. Dia selalu menganggap Santi itu hebat dan pintar.
Dengan sumringah, Rinai makin semangat melanjutkan membaca. Dia akan membaca semua buku, terlebih ini pertama kalinya Rinai dapat semangat dari Ande. Ini pertama kalinya ada yang menyemangati Rinai sejak masuk sekolah.
Tekad ini lah yang secara tidak sadar tertanam dalam di sanubari, di jiwa yang terdalam. Mungkin bagi Ande saat itu ucapannya hanya sepintas lalu, tapi siapa sangka hal itu lah yang membawa perubahan besar terhadap hidup Rinai, termasuk masa depannya.
Sejak hari itu Rinai memakan semua buku. Rinai gak peduli dia paham atau tidak isinya, yang penting baca! Dan hanya berselang beberapa hari, Rinai jadi lancar membaca! Di saat yang sama Santi masih terpatah-patah seperti biasanya.
Rinai senang! Bangga! Meski tak pernah terucap, ia sangat berterima kasih kepada Ande yang menyemangatinya. Sejak saat itu Rinai jadi rajin membaca di rumah dengan suara keras, berharap Ande mau memuji. Dipuji sih, tapi cuma sekali!
Dari kebiasaan ini, di hati Rinai tumbuh kecintaan besar terhadap sastra, terhadap buku. Perlahan-lahan ia mulai memutuskan bahwa ia ingin menulis buku sendiri suatu saat nanti. Dan saat ia sudah cukup mengerti apa itu impian, ia dengan lantang mengumandangkan ke seluruh penjuru semesta cita-citanya jadi untuk penulis! Cita-cita besar yang akan ia perjuangkan di saat ia besar. Sesulit apa pun itu, seberat apa pun nantinya.
Ya… sesulit atau seberat apa pun, Rinai akan perjuangkan!
Rinai mengangkat pandangan, sedetik kemudian ia sadar Pakcik maupun Birai sedang menatapnya.
Duh, pasti mereka pikir dia melamun, nih!
"Premisnya apa?"
Rinai melongo.
Haaah? A-apaan?
"Premis Rinai apa?" Ulang Pakcik, mengerti bila Rinai masih tak paham.
Rinai menatap Birai minta bantuan, yang dibalas tatapan bertanya yang sama dari Birai.
"Maaf Pakcik, premis apa ya?" Rinai bertanya dengan sungkan.
"Premis itu ide awal. Ada dasar dan tujuan cerita di dalamnya. Nanti, novel yang kamu buat tak boleh lepas dari premis. Kalau kamu nak buat novel, kamu harus tau jelas premisnya seperti apa, tujuannya apa?" Pakcik menatap Rinai. "Premis itu penting sekali. Dia adalah penyangga cerita, pondasinya. Nah, nanti kalau udah dapat premisnya, barulah kita buat sinopsis, baru habis itu kita kembangkan outline," jelas Pakcik.
Rinai manggut-manggut, paham gak paham. Rinai pernah ikut kelas menulis online, tapi semua pembahasannya adalah materi dan teori yang secara garis besar sudah ia ketahui dan biasa ia baca di internet, seperti POV, setting, tema dan-lain yang sangat mainstream, bedanya dia memiliki seorang mentor di sana.
Jadi, bisa dibilang ini pertama kalinya Rinai mendengar kata premis. Kok, dulu dia nggak diajarin ya di kelas menulis online? Cuma seratus ribu rupiah doang sih, itu pun pakai diskon 25%, beda sama kelas lain yang setengah juta. Bahkan ada yang lebih dari sejuta.
Pantes ilmunya beda!
"jadi macam mana? Tujuan tokoh utama yang Rinai nak buat apa?"
Rinai rada segan buat ungkapin ide cerita yang ia tulis. Baginya, ide yang ia buat terkesan konyol dan mengada-ada. Dia juga belum begitu paham cara mengeksekusi ide yang ia punya.
Semalam, ia sengaja menunda kedatangan ke tempat ini agar bisa menulis beberapa bab terlebih dahulu. Rinai gak punya teknik menulis, ga paham menulis yang baik itu seperti apa? Yang dia tahu, menulis ya menulis! Tulis aja dulu, seiring waktu cerita akan mengalir begitu saja. Terus ending. Udah.
Sebenarnya Rinai masih gak paham premis apaan, tapi dia segan buat bertanya. Ia memutuskan untuk mengeluarkan kertas hasil print-an yang tulis semalaman sampai begadang dan menyerahkannya kepada Pakcik.
"Ini Pakcik. Baru selesai 3 bab sih, hehe…"
Pakcik membuka setiap halaman. Wajahnya tak menunjukkan ekspresi apapun sampai Rinai tak mampu mengira-ngira apa yang sedang ia pikirkan. Apa Pakcik terkesan dengan tulisannya? Atau malah Pakcik merasa dia begitu payah?
"Bagus." Pakcik membuka lembaran-lembaran berikutnya dan membaca sekilas lalu. "Rinai punya kemampuan, ya."
Rinai mengulum senyum, dadanya membuncah begitu saja.
"Jadi, premis cerita kamu ni apa? Dasarnya apa? Tujuan tokoh utamanya apa?"
"Tujuan si tokoh utama buat cari pembunuh ayahnya. Dia mau balas dendam."
"Coba buat dalam premisnya. Pakcik tunggu."
Rinai mikir. Ia bingung. Butuh pertolongan. Tapi di sini cuma ada Birai, mana paham masalah sastra. Dengan memaksa otak, Rinai mulai menulis di buku catatan kecil yang selalu ia bawa kemana-mana.
Setelah di rasa cukup, Rinai menyerahkan buku itu ke Pakcik.
Premis Selasa:
Selasa bingung saat ia terjebak dalam situasi yang membuat dia harus bergabung dengan kelompok pembunuh bayaran yang mengaku bahwa ia ayahnya sudah dibunuh oleh para polisi. Ia dibawa ke markas mereka dan diajarkan balas dendam. Bertahun-tahun setelah itu, ia kembali dan meneror para polisi untuk membalas dendam atas kematian ayahnya. Dengan banyak pertengkaran, masalah baru, dan kebenaran yang akhirnya terungkap, Selasa berhasil menemukan kebenaran dari kematian ayahnya yang sesungguhnya.
"Itu cukup gak, Pakcik?"
Kening Pakcik tampak mengernyit saat membaca. "Premis itu tak perlu mendayu atau puitis. Juge tak lah perlu panjang-panjang, macam blurb. Cukup ditulis dengan kalimat yang solid. Di dalamnya harus ada karakter utama, masalah, dan goal cerite." tutur Pakcik.
"Oke lah, untuk sekarang, PR Rinai buat premis lah tu ye. Nanti Pakcik cube carikan beberapa buku untuk membantu, biar lebih paham."
"Kalau di google, ada Pakcik?"
"Ade lah tu. Malah di google lebih banyak contohnye."
Rinai mulai menyusun rencana untuk mengobrak-abrik google setelah kembali ke rumah nanti.
Pakcik kemudian mengambil kembali tulisan yang sudah Rinai Print, dan membolak-balik setiap halaman seakan mencari sesuatu, tapi berakhir dengan menatap judul lama-lama.
"Apa alasan Rinai mengangkat cerita macam ni sebagai karya perdana? Ditambah lagi, untuk ikut lomba? Saran Pakcik, seorang penulis harus tau ke arah mana layar kapalnya mengembang. Dimana haluannya," Pakcik menumpukan kedua siku di lengan kursi dan menatap gadis di depannya makin intens. "Awak nak ikut lomba apa? Sasarannya seperti apa? Penerbit mana yang mengadakannya? Harus paham tu! Karena penerbit pun punya aturan lah dalam menerbitkan karya. Kalau kamu nak buat cerita pembunuh bayaran macam ni, apa penerbit yang kamu sasar ni pernah menerbitkan buku dengan tema yang serupa? Kalau belum pernah, maka peluangnya kecil. Semakin kecil kalau saingan di lomba malah menembak tepat sasaran. Habis kesempatan."
"Tapi kalau cerita ni Rinai bikin bagus, tulisannya rapi, plotnya menarik, dan ada hal lebih dibandingkan yang lain, bisa jadi hebat ini. Bisa menarik atensi lebih dari cerite yang lain."
"Rinai kurang tau Pakcik," jawab Rinai dengan lirih.
"Nah, jadi penulis itu tugasnya bukan cume menulis saje. Juga harus cari tahu mau menerbitkan di mana. Setiap penerbit punya standar, syarat, dan pangsa pasar masing-masing. Tengok novel-novel yang diterbitkan penerbit A. Lalu tengok penerbit B. Pelajari. Apa saje tema dan genre yang mereka terbitkan. Baca bukunya. Dari sana kita bisa tahu standarnya apa. Karya seperti ape yang mereka mau ini."
Rinai tercenung. Tak pernah sekalipun ia memikirkan itu. Bagi Rinai menulis ya menulis. Emang ada alasan lain?
Masalah apakah penerbit ini pernah menerbitkan cerita tentang pembunuh bayaran atau sejenisnya kan masalah lain. Orang dia bebasin genre dan tema kok. Berarti penerbit memang hanya mencari karya terbaik, kan? Bukan hanya karya yang sesuai?
Eh, bener kan yah?
Duh, kok Rinai jadi ragu.
Tapi, tekad Rinai udah kuat banget buat bikin buku dengan tema ini. Dia suka banget tema yang kayak gini, dibandingkan cinta-cintaan. Rinai anti. Soalnya Rinai jomblo.
Enggak sih, Rinai emang kurang tertarik aja. Soalnya jadi ngenes tiap selesai baca.
Enggak kok, biasa aja. Paling habis itu baper liat orang pacaran.
ENGGAK!
RINAI GAK NGENES KARENA JOMBLO DAN GAK MASALAH SAMA NOVEL CINTA, ASAL CINTA-CINTAANNYA DIKIT KAYAK KARTUN TOM AND JERRY!
"Macam mana?" Pakcik setia banget nunggu jawaban Rinai.
Rinai masih dengan tekad yang sama. Tema dan idenya cucok kok! Kenapa harus ganti ikuti selera pasar? Pasar lah yang harus ganti selera!
"Saya tertariknya itu Pakcik, gak kepikiran cerita yang lain. Lagipula lombanya bebasin peserta kok, yang penting gak SARA."
"Biasanya, kalau penulis pemula rata-rata untuk novel perdana selalu membuat cerita yang pasti memasukkan sedikit unsur dirinya sendiri. Kamu kenape tak buat cerita tentang diri kamu sendiri dulu saje? Atau lingkungan sekitar kamu. Ambil dari yang paling mudah, cerita tentang pekerjaan. Atau tentang usaha kamu mencapai sesuatu."
"Saya gak punya cerita yang menginspirasi pakcik, makanya susah…."
"Inspirasi itu bukan dibentuk, tapi terbentuk. Selama tulisan kamu niatnya baik, inspirasi itu akan hadir dengan sendirinye."
"Hehehe…" rinai ketawa canggung.
"Lagi pun, tema yang kamu angkat ini cukup sulit. Peminatnya di indonesia juga sedikit. Apa kamu sudah mempersiapkan segalenye?"
"Emangnya gak bagus ya pakcik, ambil tema yang jarang kayak gini? Kayaknya pasarnya tetap ada kok, meski gak sebanyak genre romance."
"Ya, bukan tak bagus. Ide kamu bagus. Saye ka cume sarankan saje. Kalau kamu yakin, ya ayolah kita eksekusi." pakcik mengambil buku catatan kecil. "Terus, sejauh mana kamu menguasai tema yang nak di tulis?"
"Saya suka nonton film atau baca novel dengan tema serupa, jadi bisa lah dijadiin referensi."
"Berarti sebelumnya belum pernah buat cerita dengan tema macam ni, lah, ya?"
"Belum Pakcik, nulis novel dengan serius juga baru ini perdana."
Pakcik menatap Rinai lama, seakan menguliti isi pikiran Rinai. Rinai hanya mendesah pasrah kalo Pakcik sampe berubah pikiran. Pupus deh harapan. Tapi, siapa sangka kalimat selanjutnya yang dilontarkan Pakcik,
"Oke. Biar saye bantu, karena saya liat pun kamu punya niat. Jadi, sudah sampai mane saje yang Rinai tulis?"