Chereads / RINAI / Chapter 11 - Embun

Chapter 11 - Embun

Setelah mengucap salam, Rinai masuk ke dalam rumah. Rinai tinggal di sebuah rumah petak yang berbentuk persegi panjang, dengan sebuah ruang serbaguna di bagian depan yang mereka gunakan untuk menonton dan menerima tamu, 2 kamar tidur, dan sebuah dapur terjepit dibagian belakang rumah.

Rinai langsung masuk ke dalam kamarnya yang ia tempati bersama Embun. Dari balik triplek tipis sebagai dinding, ia dapat mendengar suara ibu dan Embun yang sedang bercakap-cakap di luar. Rinai memilih untuk tidak peduli. Ia melempar tas ke sudut kasur dan melemparkan badan ke atas kasur. 

"Aduh!" Ringisnya.

Ia lupa kasur keras dan jeleknya itu bisa melukai tubuh manusia. Kepala Rinai yang menghantam kasur langsung berdenyut. 

Sambil meringis, ia kembali membaringkan badan. Ia kembali ingat dengan percakapannya dengan Birai barusan. Dengan malas-malasan, ia menjangkau ponsel dari dalam tas dan mengirim pesan kepada Bang Jack.

[To: Bang Jack

Bang Jack sibuk?]

Rinai mau minta saran dari Bang Jack terlebih dahulu. Apa tanggapan Bang Jack bakalan sama dengan Pakcik? Sambil menunggu balasan dari Bang Jack, Rinai melanjutkan bacaan novel yang kemarin ia beli di toko buku bekas.

Dua jam berlalu, tak ada balasan sama sekali. Rinai menutup buku dipangkuannya dan meraih ponsel untuk memeriksa kembali pesan yang iakirim. Centang duanya belum berubah menjadi biru, yang mengisyaratkan orang diseberang belum membaca sama sekali.

Rinai mencoba buka media sosial, tempat grup menulis yang ia dan Bang Jack ikuti. Di sana juga tak kelihatan tanda-tanda keberadaan Bang Jack.

Bang Jack dimana yaaa? Tumben hilang pas dicari? Apa udah tidur? Tapi kan, baru jam 10 malam. Biasanya dia begadang terus.

Sedang sibuk dengan dunianya, Rinai dikagetkan dengan suara ibu di luar kamar. Ia meletakkan buku di atas kasur dan beranjak keluar.

"Tu gimana? Kau ikut diberhentikan?" Dari luar, suara ibu menggema dengan nada tinggi. Rinai mengerutkan kening dan bergegas mendekat.

Di ruang TV, Embun duduk di sofa butut kusam milik mereka. Sofa itu berumur sama dengan kasurnya Rinai. Di sebelah Embun, ada ibu dengan pandangan putus asa.

"Ndak do, Bu. Cuma anggota yang nggak produktif yang dipecat. Embun enggak," jelas Embun, mencoba menenangkan ibu.

Rinai mengernyit tidak mengerti. Ada apaan sih? Apa yang terjadi?

"Dipecat kenapa? Siapa yang dipecat?" Rinai tak bisa menahan diri untuk bertanya.

"Ndak ada. Perusahaan cuma lagi kesulitan aja. Beberapa produk mau ditarik sama Babe." Embun menjelaskan.

"Ditarik sama Babe gimana ni maksudnya?"

"Kan untuk produk food itu masih punya Babe. Babe ini tu paman dari bos kami yang di sini. Untuk produk food Pekanbaru dia yang pegang, tapi karena dia tinggal di Jakarta, Bos kami lah yang dikasih kepercayaan buat urus. Jadi, Babe mau tarik food, terus buat perusahaan distribusi baru."

Embun bekerja di perusahaan distribusi. Produk yang mereka pegang tidak cukup banyak yang terkenal, sehingga sering mengalami kesulitan penjualan.

"Ngapa emangnya, kok sampai mau buat perusahaan baru segala?" tanya Ibu.

"Soalnya bos kami ni udah pegang produk baru. Minuman energi. Dan lumayan laku. Jadi dia lebih sibuk urus produk baru. Itu lah makanya Babe jadi marah, bos dianggap menelantarkan kepercayaannya. Jadi produk food mau ditarik sama dia," tutur Embun. 

"Tu kau gimana? Nanti malah kau pulo yang dipecat," sahut Ibu dengan cemas.

"Belum tau lagi. Mudah-mudahan gak sampai dipecat. Kan selama ini juga kerja dengan benar," kata Embun.

"Terus, kau di situ sekarang ngurus apa?"

"Masih Admin Piutang, cuma sekarang pegang minuman yang baru itu. Jadi insyaallah, posisi aku aman."

Rinai dan ibu menghela napas lega bersamaan. Hampir aja jantung mereka berdua copot. Kalau sampai Embun dipecat, itu bukan gawat lagi. Udah darurat. Ibaratnya nih ya, udah siaga 1. Harus menurunkan tim khusus untuk melakukan penyelesaian kasus.

Dengan gontai Rinai kembali ke kamar, meninggalkan ibu dan Embun yang masih membahas tentang pemecatan. 

Biaya hidup yang semakin mahal, gaji yang kecil, dan hutang yang menumpuk. 

Rinai mendesah. Ia melirik foto yang terpasang di dinding kamarnya. Itu fotonya bersama Embun, ibu, dan ayah dengan latar pantai. Foto sewaktu dia masih berumur 7 tahun, sebulan sebelum ayah meninggal. Sejak itu, ibu terpaksa banting tulang sendiri untuk menghidupi mereka. Berhutang sana-sini agar mereka bisa tetap sekolah.

Ha-ah. Seandainya ayah masih ada, mungkin hidup mereka tidak akan sekeras ini. Ibu tidak perlu kerja sampai jatuh sakit, tidak perlu mengutang untuk bayar SPP, atau mungkin, mereka tidak perlu terjebak dalam situasi ini sama sekali.

Yah, gak ada juga sih guna berandai-andai.

Ibu sendiri saat ini bekerja sebagai penjual es tebak di pinggir jalan. Awalnya, dagangan ibu banyak pembeli, tapi kemudian, ibu kena gusur karena yang punya tanah mau membangun ruko. Ia pindah tempat, tapi di tempat yang baru malah tidak laku. Akhinya ibu buka warung sarapan di depan rumah, hanya ada beberapa pembeli, tapi masih bisa mengcover biaya makan mereka meski tidak ada sisa yang bisa ditabung.

Itulah kenapa, mereka merasa terguncang kalau Embun sampai dipecat. Hanya mengandalkan gaji Rinai saja mana cukup. Jualan ibu bahkan tidak laku.

Kadang rasanya, Rinai benar-benar tak kuat. Pengen kaya aja! Yang instan gitu, gak perlu kerja keras.

Dapat uang kaget kek, uang nomplok kek, diwariskan uang yang banyak dari kakek kaya raya yang kelebihan uang, kek. 

Serah! 

Yang penting kaya, mah. Kaya Raisa! Enggak ding, bercanda! Hehehe….

Apa daftar ikut 'Want To Be Millionaire' aja kali ya?

Kan nanti pas ditanya, Rinai bisa googling dulu diam-diam.

Oke Google, apa arti dibalik kata 'Terserah' yang sering diucapkan cewek?

Atau…

Oke Google, siapa yang mengesahkan pasal 1 yang berisikan "Wanita selalu benar"?

Duh, Rinai malah jadi makin stres!

Mencoba mengalihkan pikirannya, ia meraih ponsel. Cek pesan masuk dulu deh, kali aja ada balasan dari Bang Jack. Dan benar saja, ada sebuah pesan di sana.

[From: Bang Jack

Tidak.]

Rinai langsung membalas.

[To: Bang Jack

Bang, tadi Rinai habis bimbingan sama Pakcik.]

Ting!

[From: Bang Jack

Wah, bagus. Semoga cepat wisuda ya, Rinai. 😃😃😃]

Rinai mendadak gemas. Bang Jack bercanda aja nih!

[To: Bang Jack

Bukan, Banggg. 

Tadi Rinai habis dimentori lagi sama Pakcik Agus Salim.]

Ting!

[From: Bang Jack

Bagus. Jadi gimana? Sudah sampai mana progresnya?]

Nah, ini! Rinai bingung nih. Dia jadi mendadak ragu. Cerita, gak, ya? Cerita, gak, ya?

Tapi Rinai butuh teman buat bertukar pikiran. Ia tidak bisa melakukan itu dengan Birai tadi, soalnya mereka berdua tidak cukup akrab. Mana baru kenal. 

Dengan membulatkan tekad, Rinai mulai mengadu.

[To: Bang Jack

Bang, Rinai merasa kurang cocok deh sama Pakcik.]

Ting!

[From: Bang Jack

Ada masalah apa?]

Rinai kembali mengetik.

[To: Bang Jack

Jadi Bang, tadi Pakcik ngasih Rinai saran. Tapi, sarannya gak sama dengan apa yang kita bicarain kemarin.]

Ting! 

[From: Bang Jack

Saran seperti apa?]

Dengan menggebu-gebu, Rinai menceritakan segalanya. Dia yakin kalau Bang Jack akan berada dipihaknya. Beda dengan Pakcik, Rinai sudah mengenal Bang Jack sejak lama, jadi Bang Jack pasti sangat paham cara berpikirnya.

Tapi… setelah panjang lebar chatting dengan Bang Jack, Rinai merasa menyesal. Karena apa yang dia pikirkan tidak sesuai dengan kenyataan.

F[rom: Bang Jack

Anda memang lah penulisnya, dan tugasnya memang untuk menulis. 

Tugas Bang Jack mengeditori tulisan anda, jadi selama menulis, gak usah membebankan diri dengan memikirkan masalah typo dan sejenisnya. Terus saja tulis. Nanti Bang Jack yang akan membersihkan typo dan saudara-saudaranya.

Nah, tugas Pakcik sebagai mentor adalah mengarahkan. Memberi masukan. Memberikan saran.

Pakcik itu kan asam garamnya udah banyak, sarannya itu seharga puluhan buku yang sudah ia terbitkan. Untuk penulis pemula seperti anda, akan lebih baik mendengarkan saran dari beliau. Kalau ada yang tidak anda suka atau kurang setujui, anda bicarakan langsung dengan beliau. Beliau pasti bisa berpikir bijaksana.

Jangan sampai gara-gara merasa kurang cocok, anda melewatkan kesempatan emas menjadi murid penulis pro seperti beliau.

Hal-hal yang bisa dibicarakan, sebaiknya dibicarakan. Jangan dipendam. Nanti anda lah yang rugi.

Untuk sekarang, TULIS DULU SAJA. 

Jangan biarkan hal lain mengganggu konsentrasi anda untuk menulis.

Nah. Sekarang sudah menulis belum?

Kemarin baru kirim sampai bab 4 ke Bang Jack.

Apa harus menunggu minggu depan baru bisa jumpa "Selasa" lagi, ya?? 🤔🤔😃😃]

Hati Rinai serasa dicubit. Bang Jack tidak memihaknya, tapi bersikap netral. Ya, harusnya dia tak perlu heran, sejak dulu Bang Jack memang seperti itu.

Dengan sedikit perasaan pilu, Rinai kembali membalas.

[To: Bang Jack

Iya, Bang. besok Rinai coba bilangin sama Pakcik.

Hehehe… ampun, Bang. Belum selesai. Tadi cuma diskusi sama Pakcik, jadi belum sempat nulis 🙏🙏🙏]

Kirim!

Rinai menarik selimut untuk menutupi kepala. Selimutnya adalah seprai kasur yang sudah lama tak digunakan. Berbahan dasar dingin dan lembut, hingga saat menutupi wajahnya, terasa amat sejuk. 

Rinai mengambil napas panjang, lalu menghembuskannya. Ia melakukan itu beberapa kali, hingga tanpa sadar, ia jatuh ke alam mimpi.