Dari balik meja, Rinai mengotak-atik HP sambil sesekali melirik ke arah Birai yang sedang memesan bakso langsung ke Mamangnya.
Karena sudah malam, setelah berdiskusi panjang dengan Pakcik, Rinai akhirnya memutuskan untuk pamit dengan diantar Birai. Tapi bukannya langsung mengantar pulang, Birai malah membelokkan motornya ke warung bakso satu ini. Katanya sih lapar, jadi mau makan dulu. Soalnya rumah Rinai jauh. Nanti kalau dia mendadak pingsan di jalan karena kelaparan, gimana?
Gaya banget!
Orang rumah Rinai cuma selemparan batu kok!
Batu meteor.
Nggak ding, bercanda. Tapi gak sejauh itu juga sampai buat Birai pingsan.
Sebagai tebengers, Rinai manut-manut aja. Mau gimana lagi, kalo nolak nanti malah disuruh pulang jalan kaki. Makasih deh, Rinai lelah.
Tak lama, Birai berjalan mendekat dan langsung menghempaskan diri pada kursi di samping Rinai sambil tersenyum kecil.
"Udah, Bang?" Rinai basa-basi
"Udah. Semuanya 50 ribu ya, Neng."
Rinai menahan senyum, "Iya, Mang. Ngutang dulu tapi yak," balas Rinai. Kemudian mereka tertawa bersama.
Birai duduk di sebelah Rinai yang kembali menyibukkan diri dengan ponselnya. Ia melirik ke kiri, ke kanan, ke depan, lalu ke Rinai. Yang dipandangi malah sibuk dengan ponselnya.
"Kenapa, Bang?" tanya Rinai. Ia merasa tak nyaman ditatap lekat-lekat.
"Gimana? Nyaman gak dimentorin sama Pakcik?"
"Gimana apanya?" Rinai balas bertanya heran. Lah, kan dia juga di sana loh, meski cuma jadi penonton doang.
"Yaaa... gimana…? Maksudnya, gak ada masalahkan sama cara Pakcik membimbing?"
Rinai terdiam. Mau bilang kurang nyaman, nanti dibilang gak bersyukur. Mau dibilang nyaman, tapi ada sengklek-sengkleknya gitu.
Gimana dong?
"Lumayan lah. Dibanding nggak punya mentor sama sekali, jadi nggak ada yang kasih masukan."
"Ohhh…"
Birai mengangguk-angguk pelan. Ia kemudian memainkan wadah tusuk gigi dengan memutarbalikkannya berkali-kali. Di sisi lain, Rinai merasa nggak enak hati. Kurang lebih, ia sedikit kurang nyaman dengan saran-saran yang Pakcik berikan.
Sedikit banyak, Rinai tahu, menulis bukan hanya tentang apa yang ingin kamu tulis, tapi juga tentang selera pasar dan teknik yang baik.
Tapi Rinai adalah seorang penulis pemula dengan tingkat kekeraskepalaan yang tinggi, ketidaktahuan yang besar, dan kearoganan yang selangit. Baginya, bukan seorang penulis yang harus mengikuti selera pasar, tapi kalau bisa pasar lah yang harus mengikuti selera penulis.
Lagipula, kalau dia bisa menulis cerita hebat, meski bukan selera pasar sekalipun, pasti akan tetap laku, kan? Kenapa harus terlalu menjunjung tinggi selera pasar?
Dan teknik… kenapa harus ribet memikirkan teknik ini dan itu?!
Dulu saat masih SMP, masih belum mengerti apapun tentang teknik menulis, premis, outline dan lain-lain, ia tetap bisa menulis cerita dari prolog sampai epilog. Dan dari tanggapan teman-teman yang membaca hasil cerita amatir miliknya, itu sudah cukup bagus. Malah ada yang minta di buatkan lagi, biar bisa baca lagi.
Jadi, kenapa harus merepotkan diri dengan hal-hal seperti itu?
Penulis ya menulis. Cerita yang bagus akan tetap menjadi cerita yang bagus, begitu pun sebaliknya. Bagus tidaknya sebuah cerita tentu saja ditentukan oleh isi ceritanya, bukan hanya teknik.
Intinya, Rinai nggak mau mengikuti saran Pakcik!
Bukan sok pintar dan jago, tapi ia punya gaya sendiri. Kalau Rinai mengikuti saran yang Pakcik berikan, bukankah itu hanya akan membatasi kemampuannya? Bagaimana kalau ternyata setelah mengikuti saran Pakcik, dia malah kalah? Bagaimana kalau ternyata gaya menulis Rinai sudah cukup bagus? Dan juga, bukankah penulis harus punya karakter? Apakah dengan mengikuti saran Pakcik, karakter Rinai akan keluar? Atau malah makin tertutup?
Rinai benar-benar ingin memberi ruang untuk dirinya sendiri berkarya sesuai kata hati.
Ini karyanya, ini tulisannya.
Rinai memiliki hak 100% untuk memilih seperti apa gaya cerita yang ia mau!
Namun, Rinai masih pemula. Ibarat anak kelas 1 SD, sudah bisa berhitung dan membaca, tahu yang benar dan yang salah, tapi belum bisa dilepas di keramaian. Masih akan tersesat dan salah jalan. Masih akan ketakutan dan goyah. Masih perlu dibimbing.
Tapi yang Rinai butuh hanya diperhatikan dari kejauhan, bukan diarahkan. Meski itu arah yang benar, bagaimana bila itu bukan arah yang tepat untuknya? Siapa yang akan tahu bila Rinai memilih sendiri, mungkin itu akan menjadi lebih baik?
Bukanlah sebuah dosa, kan, jika Rinai memilih sendiri jalan yang ingin ia tapaki?
Rinai mendesah. Ia mau bercerita banyak ke Birai, tapi ia tak cukup yakin kalau itu pilihan yang benar.
Begini, bagaimana pun, Birai lah yang merekomendasikan Pakcik pada Rinai. Lantas, apa yang akan ia pikirkan kalau Rinai mengeluh nantinya? Rinai tidak enak hati.
Lalu, kalaupun Birai tidak masalah dengan sikapnya yang kurang menyukai cara Pakcik mementori dirinya, apa yang akan mahasiswa itu pikirkan? Sombong? Sok hebat? Masih amatir tapi angkuh!
Rinai nggak sanggup!
Diam aja deh, biar aman!
"Kalau emang ada yang ngeganjel, kasih tau aja. Pakcik orangnya selow kok, dia gak pemaksa. Kalau kamu aja sharing, dia pasti bakal dengerin kamu."
Rinai tersentak. Ia dengan cepat melirik Birai yang juga sedang menatapnya.
"Nggak do, Bang. Aman hehehe…" Rinai masih keukeh memendam.
"Yakin? Tapi wajahnya kurang nyaman gitu tadi" Birai memasang wajah meledek. "Gak usah dipendam. Bang Dewa cerita, katanya kamu anaknya kalau ada masalah suka dipendam. Makanya saya tanya. Kalau disimpan kayak gitu, gimana coba orang lain bisa nolong?"
HAH?!!
MEREKA BERDUA GOSIPIN RINAI?!!
DASAR, COWOK-COWOK HOBI RUMPI!
NGOMONGIN APA LAGI TUH? JANGAN-JANGAN BANG DEWA CERITA YANG ENGGAK-ENGGAK LAGI TENTANG RINAI.
MAMPUS!
Rinai jadi pengen menenggelamkan diri dalam lautan luka dalam aja, deh!
Atau tersesat aja, dan sekalian tak tahu arah jalan pulang!
ARGHHHH!
MALUUU!!!
Rinai menarik napas panjang. Ha-ah, kalau udah kayak gini, apa coba yang perlu disembunyiin?! Orangnya udah peka gitu kok.
"Ngomong aja lah. Apa susahnya tinggal ngomong doang. Kenapa? Pakcik terlalu keras tadi ngajarinnya?"
"Bukan gitu," Sahut Rinai cepat, "cuma yaaa… kayak kurang klop aja rasanya."
"Klop gimana?"
"Kayak, kami… gimana yaaa? Kayak… kami memiliki cara pikir yang beda, gitu."
"Beda gimana? Bukannya Pakcik oke-oke aja sama cerita kamu?
"Bukan itu! Cuman kan kayak tadi, aku udah punya rencana sendiri bikin ceritanya gimana, nulisnya gimana, tapi Pakcik kayak kurang suka ya?"
"Oh. Kamu nggak suka sama saran Pakcik tadi ya?"
"Bukan nggak suka, cuma yaaa… kan aku berharapnya bisa nulis sesuai dengan apa yang udah aku susun di kepala. Pakcik mendadak minta ganti kayak gitu rasanya sulit. Nanti malah ada plot hole."
"Apaan plot hole? Temennya Black hole?"
"Bukan, plot hole."
"Benda di luar angkasa?"
"Bukan! Plot hole, lubang dalam cerita!"
"Hah, cerita kamu tentang bencana alam?"
"Bukan, Bang. Plot hole itu kayak gak relevannya sebuah cerita. Yang tadi kami bahas, loh!"
"Yang mana?"
"Ya, yang tadi pas pertama kami bahas."
"yang mana, nih?"
"Ya... itu lah pokoknya!" Rinai gondok. Ia buang muka dengan bibir manyun. Birai kicep.
Paling males deh lagi badmood gini di ajak ngomong muter-muter. Ish!
Disisinya, Birai terkekeh tanpa suara. Tampak puas mengerjai Rinai.
Seorang karyawan warung bakso mendekati mereka dengan sebuah nampan. Setelah menyajikan semangkuk bakso yang masih panas dengan segelas es teh, ia berlalu pergi.
"Lalu, bagian mana yang kamu kurang suka sama saran Pakcik?"
Rinai berdecak. "Ah, tau ah, Bang!" Rinai udah gondok. Nih orang baiknya cuma sebentar, lebih sering gak warasnya.
Melihat respon dan wajah gadis di sampingnya yang mendadak berubah, Birai memutuskan untuk menunda pembicaraan dan mulai menikmati baksonya. Ia bukan mau sok perhatian, tapi ekspresi Rinai mengingatkannya pada teman-temannya di saat tanggal tua. Mau pinjam uang buat beli makan, tapi sungkan dan berakhir memasang tampang memelas di sampingnya dan berharap ditanyain. Kurang lebih, ia pikir ingin membuat Rinai membicarakan kegelisahannya, dan berhenti memasang tampang anak anjing kejepit. Kasian, pas mau ditolong, eh digonggongin. Ngeselin, gak tuh!
Setelah mangkuk mereka berdua kosong, Rinai mulai mencari dompetnya dan mengeluarkan selembar uang pecahan lima puluh ribu.
"Tadi udah langsung dibayar kok," ucap Birai cepat.
Gerakan Rinai terhenti mendadak. "Oh, kalau gitu punya aku kena berapa?" tanyanya cepat.
"Biar aja, saya yang traktir."
"Nggak usah, Bang, biar aku bayar aja."
"Nggak apa."
"Ehhh… nggak usah lah, Bang." Rinai menarik dua lembar sepuluh ribu dari dompet dan meletakkannya di hadapan Birai.
"Udah, nanti aja kalau novelnya udah jadi kamu ganti traktir saya. Sekarang simpan dulu aja." Malas cekcok karena suasana hatinya sedang buruk, Rinai akhirnya mengalah. Yang penting masih ada kesempatan buat bayar utangnya lain kali, jadi nggak apa deh.
Sedikit banyak, Rinai juga nggak enak hati. Ia merasa sudah bersikap jahat ke Birai tadi. Harusnya kan ia senang ternyata Birai peduli kayak gitu, tapi ia malah bersikap kasar.
Udah deh, pasti sekarang Birai menyesal udah nolongin dia.
Orang Birai udah baik kayak gitu tapi Rinai malah gak tahu diri.
Harusnya Rinai nggak perlu terima tawaran Birai buat ketemu Pakcik. Jadi, dia tidak akan terlibat dalam perasaan rumit seperti ini. Tidak akan merasa dongkol dengan saran baik Pakcik yang tidak sesuai dengan yang ia mau, dan hatinya tak perlu merasa terhimpit seperti sekarang. Ia juga tak perlu merasa bersalah karena tak bisa menerima semua masukan baik dari Pakcik dan tak perlu merasa sungkan pada Birai karena ia tidak klop dengan mentor barunya itu.
Rinai memang bukan orang baik. Tapi bukan berarti dia jahat. Hanya saja, orang-orang disekitarnya selalu memperlakukannya secara berbeda. Hal itu yang membuatnya jadi sangat perasa. Ia takut melakukan kesalahan. Meski hanya sekadar tak bisa tampak baik di mata orang lain.
Seharusnya waktu itu Rinai bilang saja pada Bang Jack bahwa dia tidak menemukan satupun mentor, mungkin akan lebih baik. Saat ini ia pasti sedang mengurung diri di dalam kamar dengan setumpuk novel, laptop, dan berbagai tips menulis yang ia print dari internet.
Jika ia kurang paham atau kurang yakin dengan apa yang ia tulis, ia akan membombardir Bang Jack sampai tengah malam dengan pesan lewat aplikasi chatting. Ia tak perlu mengenal Pakcik, tak perlu menerima kebaikan hati Birai yang ia sendiri tidak tahu apakah bisa membalasnya suatu hari nanti atau tidak, dan tidak akan ada rasa tak nyaman yang bercokol di hatinya seperti sekarang.
"Pakcik itu… walaupun udah punya banyak pengalaman tapi dia manusia biasa kayak kita," kata Birai tiba-tiba, memutuskan lamunan Rinai.
Lah, kenapa nih tiba-tiba?
"Pasti sebagai manusia dia juga punya kekurangan, tapi seenggaknya dia udah berusaha memberikan yang terbaik yang dia bisa buat membantu kamu," kata Birai. Ia kemudian menatap Rinai, "Kalau memang ada yang kamu kurang setuju, kan bisa diomongin. Jangan di pendam aja." Birai kembali menatap ke depan. "Nggak ada yang bisa mendengarkan kamu, kalau kamu hanya diam. Apapun yang kamu inginkan, nggak inginkan, kalau nggak kamu ungkapin, mana ada orang yang tahu."
RINAI FIX GAK ENAK HATI!!
SESEORANG… TOLONGIN RINAI DUNK!
RINAI GAK SUKA DIGINIIN!!
Rinai benci saat seseorang bisa memahaminya dengan mudah. Isi hatinya. Isi kepalanya.
Rinai benci ada yang mau merepotkan diri untuk mengerti seperti apa dirinya sesungguhnya. Bersikap baik tanpa diminta. Mendengarkan bagian yang tak pernah terucap dari mulutnya.
Rinai benci!
Rinai benci orang seperti Birai!
Rinai lebih memilih dianggap nakal, keras kepala, susah diatur, dan dijauhi dibanding dimengerti seperti sekarang.
Karena kalau seseorang mencoba mengerti Rinai, entah kenapa Rinai jadi membenci dirinya sendiri.
Benci, karena tak cukup baik, dan benci, karena tak cukup berharga untuk menerima semua itu.
Di sisi lain, Birai benar. Itu adalah hal yang sudah sangat ia pahami. Ia sudah cukup dewasa, bagaimana mungkin tidak mengerti. Tapi… bagi beberapa orang, membuka mulut untuk menyampaikan pemikirannya atau isi hatinya terasa sangat berat. Itu seperti meletakkan beban berton-ton beban di mulutnya. Dan yang paling sulit adalah, terkadang ia akan menyesal setelahnya. Karena bagi Rinai, tidak semua hal yang ia pikirkan bisa ia bicarakan. Tidak semua orang memiliki sikap layaknya Birai.
Lagipula, bukankah diam adalah emas?
Itu adalah pilihan terbaik untuk orang seperti Rinai.
"Gimana pun juga, gak gampang kan nemu mentor yang udah pro kayak Pakcik di Pekanbaru. Kalo ada yang ilmunya lebih tinggi, kan lumayan juga. Pasti lebih paham. Lebih tahu banyak. Jadi mending, kamu omongin lagi sama Pakcik. Pakcik kan udah dewasa, mungkin seumuran bapak kita, pasti lebih bijaksana. Dia pasti juga gak bakal maksa lah kalo kamu nggak setuju. Jangan cuma gara-gara ini jadi males buat dimentorin Pakcik lagi. Kamu yang rugi." tutur Birai.
Tuh kan, Birai pasti mikir Rinai angkuh! Makin menyesal dengan keputusannya yang sudah mengiyakan ajakan Birai buat ketemu Pakcik.
Harusnya gak perlu cari mentor segala.
Semua orang pada akhirnya pasti akan kecewa pada dirinya.
"Saya nggak menyudutkan kamu, hanya memberi saran sebagai kawan. Sayang kan, udah sesemangat ini jadi lemes cuma gara-gara kurang klop doang. Jangan tersinggung ya…" pinta Birai.
Semua perkataan Birai meresap ke hati Rinai. Iya sih, dari segala timbang-tindihnya, emang dirinyalah yang akan menjadi pihak yang akan rugi kalau masih bertahan dengan sikap seperti ini.
Rinai menatap wajah samping Birai. Nggak nyangka ya, cowok gak jelas gini bisa sangat peka tentang apa yang ia rasakan. Ini pertama kalinya Rinai merasa benar-benar dipedulikan.
Sambil tersenyum, ia mengangguk pelan dan berkata, "Iya, bang."
Dan sepanjang perjalanan pulang, hati Rinai menghangat seperti mangkuk bakso yang tadi ia genggam.