Chereads / RINAI / Chapter 6 - Penculik, Bukan?

Chapter 6 - Penculik, Bukan?

Rinai bergegas turun dari oplet. Ia mengenakan kemeja lengan panjang yang dipadukan dengan celana levis dan sebuah tas selempang kecil. Setelah membayar, ia menyeberang jalan, menuju ke sebuah toko buku bekas.

Pagi ini, Rinai sudah meminta tolong Embun untuk mengantarnya ke tempat ini, tapi Embun malam ngomel-ngomel sambil lanjut tidur. Jadi dengan terpaksa, ia memutuskan untuk naik angkutan umum. 

Derita orang yang gak bisa bawa motor ya ini, nih. Sedih!

Toko itu sangat luas. Memiliki banyak rak yang menjulang ke langit-langit. Berbagai buku dengan berbagai judul tersusun rapi di setiap ruang, dibedakan sesuai kategori.

Rinai menjelajah. Semangatnya menggebu-gebu. Ia tampak layaknya anak kecil, berlari pelan ke sana ke sini hanya untuk kegirangan melihat betapa banyaknya buku-buku bagus yang bisa dibeli dengan harga yang murah.

Untuk manusia berdompet tipis seperti rinai, toko buku bekas ini bagaikan bagian kecil dari surga. Ia merasa seperti… di sini ada dunia dan seisinya. Bibirnya tak bisa berhenti mengembang. Dalam beberapa jam, di tangannya penuh dengan tumpukan buku.

Hari ini pengunjung begitu ramai. Rinai bahkan tak sengaja menyenggol beberapa orang saat berjalan dari rak yang satu ke rak yang lainnya. Mungkin juga dipengaruhi karena toko ini baru saja buka di sini. Mereka bahkan memberikan diskon yang cukup besar untuk pembelian dalam jumlah banyak.

Malam itu, setelah Bang Jack mengirimi info tentang lomba, mereka chatting sampai larut. Membicarakan tema apa yang akan diambil untuk tulisan Rinai. Ia sangat bersyukur karena BOB Publishing membebaskan peserta untuk mengambil tema apapun. Dan dia sudah memutuskan untuk mengambil tema tentang pembunuh bayaran.

Tema pembunuh bayaran sendiri sangat sedikit di Indonesia. Mungkin karena minat pembaca terhadap tema ini begitu rendah, atau mungkin karena kurangnya penulis yang menuliskan cerita dengan tema ini. Tapi Rinai tetap percaya diri. Ia merasa yakin kalau cerita dengan tema seperti itu akan lebih menarik. Selain itu, ia juga yakin kalau sedikit sekali penulis yang akan membuat tema serupa, sehingga tulisannya akan kelihatan lebih mencolok dan mencuri perhatian. Hal itu bisa membuat peluang Rinai menjadi semakin besar, kan?

Rinai mendekat ke bagian rak novel. Niat Rinai hari ini mau membeli beberapa novel dengan tema yang sama dengan yang ingin ia tulis sebagai referensi. Beberapa hari kemarin, ia sudah menonton banyak film atas saran Bang Jack. Tapi film saja tak cukup, ia butuh referensi dalam bentuk tulisan supaya lebih paham dan mantap.

Rinai tersenyum senang. Buku-buku itu dibiarkan terbuka tanpa pembungkus sama sekali. Seakan memang mengizinkan pengunjung untuk membaca sepuasnya. Tak menunggu lama, Rinai langsung tenggelam dalam dunianya sendiri. Orang-orang disekitarnya bagaikan kilatan bayangan cepat yang tidak berarti. Sekelilingnya buram. Hanya ada satu titik fokus. Dirinya.

Hal ini juga yang membuat Rinai tidak menyadari bahwa sejak dia masuk, ada seseorang yang memperhatikannya. Seorang laki-laki yang Rinai panggil Abang Ojek. Ia mengikuti Rinai dengan matanya dari sudut lain rak buku. Berpikir sejenak, ia memutuskan untuk menyapa. Menolak dianggap sombong.

"Lagi cari buku apa, Dek?" sapa Birai.

Rinai tersentak. Ia menoleh cepat dan langsung mengambil satu langkah mundur mendapati di sebelahnya mendadak ada orang. Rinai menatap lamat-lamat. Kok rasa nggak asing, ya?

"Lupa, ya? Saya Birai!"

Oh, iya! Hutang 6 ribu!

"Lagi cari buku apa?" Birai menatap tumpukan buku di gendongan Rinai dengan takjub. "Banyak kali, mau ngeborong?!" serunya sambil tergelak.

Rinai malah gak mendengarkan sama sekali. Ia membuka tas dengan satu tangan dan mengambil pecahan uang 10 ribu.

"Utang saya, Bang," kata Rinai sambil menyodorkan uangnya. Birai melongo. 

"Bukan saya yang jual, Dek. Kasirnya di sana." Emang Birai kelihatan kayak penjaga toko ya? Orang dia udah dandan keren juga.

"Eh, bukan! Ini buat utang yang kemaren, Bang." 

"Yang mana?"

"Yang pas anterin saya ke dealer ujan-ujan itu loh!"

"kok bisa?"

"kok bisa apa?"

"Hujan-hujanan."

"Lah, kan kemarin emang hujan, Bang."

"Gak hujan, kok. Orang panas gini," kata Birai sambil melihat ke arah langit.

"Bukan hari ini Bang, kemaren." Rinai mendadak kesal.

"Kemaren juga panas, kok. Jemuran saya aja kering."

Demi, Rinai nggak paham lagi! Nih orang nyebelin banget!

"Kan beberapa minggu yang lalu saya pesan ojek online, terus abang yang jemput. Waktu saya mau bayar, uang saya tinggal, jadi saya ngutang ongkosnya sama abang. Kalau nggak salah 6 ribu. Ini mau saya bayar."

"Saya lagi ulang tahun loh, dek. Minum es dawet ayu yok, saya traktir!"

Rinai mengernyit. 

SIAPA JUGA YANG NANYA?!!

Nih cowok aneh banget sih. Stres gitu kayaknya. Tinggalin aja deh, nggak usah dekat-dekat. Kali aja dia penculik yang menculik orang buat diambil organ dalamnya, terus di jual. Kan sekarang lagi marak berita yang kayak gitu. Modus ngedeketin, terus di preteli deh organ korban. Ngeri!

"Ini Bang," Rinai menarik paksa tangan Birai dan menyerahkan selembar uang di sana, "Makasih ya, Bang." Tanpa menunggu jawaban, Rinai berlalu menuju kasir. Bodo amat dianggap nggak sopan, Rinai udah takut duluan.

Setelah beres belanja, Rinai berencana untuk langsung pulang dan menghabiskan stok bacaan super banyak ini dalam waktu singkat. Bukan ngejar deadline lomba, tapi Rinai emang suka kalap kalau sudah berurusan sama buku. Sama kalapnya kalau lagi ngiler makanan enak. Kayak sekarang, niat pulang tinggal niat doang, Rinai malah berakhir di tukang es dawet ayu yang jualan nggak seberapa jauh dari toko buku bekas. Gara-gara Abang Ojek nih, yang tadi ngajak Rinai buat minum es. Kan, jadi pengen!

Sedang asik menikmati es dawet ayu sambil balas-balasan pesan sama Bang Jack, seseorang duduk di sebelah Rinai. Awalnya sih Rinai cuekin, paling juga pembeli lain. Tapi Rinai langsung menoleh dengan cepat saat orang itu mengeluarkan celetukan.

"Adek penulis, ya? Keren!"

Rinai melotot. Apaan sih, nggak sopan banget baca pesan orang lain!

"Mau ikut lomba apa tadi itu? Makanya ya beli banyak buku? Pantes sih, penulis kan nyawanya setengah ada di buku." Birai tersenyum lebar.

Rinai masih nggak merespon. Ia mematikan layar HP dan minum es cepat-cepat, biar bisa cepat pulang, dan membatalkan rencana buat sedikit berleha-leha di sana.

Birai, entah gak peka entah emang gak waras, tidak menyadari sama sekali tingkah Rinai yang tampak antipati sama keberadaannya. Ia malah menatap Rinai dengan jenaka.

"Nggak usah buru-buru minumnya, santai aja. Nggak bakal diminta kok, saya udah pesan juga barusan."

Siapa juga yang peduli dia mau minta apa enggak? 

"Oya, ini juga, uang kamu," Birai menyodorkan uang Rinai tadi di atas meja.

"Ini kan utang saya, Bang." Rinai baru bersuara saat uang itu berada di sebelah mangkoknya, ia pun kembali menggeser uangnya ke arah Birai.

"Nggak apa, lagian lebih juga."

"Nggak bisa gitu lah, utang dibawa mati, jadi Abang harus terima!"

Birai kicep. Dengan agak terpaksa ia mengeluarkan dompet dan menarik 2 lembar 2 ribuan dan balik menyodorkan.

"Ya udah, ini kembaliannya. Kan cuma 6 ribu."

Rinai nggak membantah. Ia nggak mau berurusan lebih lanjut sama orang ini. 

"Ya udah, sebagai gantinya, saya traktir ya! Anggap aja buat perayaan pertemanan kita." Birai tersenyum senang. Rinai mengernyit, sejak kapan mereka temenan?!

"Nggak usah Bang, udah dibayar kok tadi," tolak Rinai. Untung aja dia langsung bayar tadi, kayaknya Tuhan masih sayang sama Rinai.

Pemuda di depannya langsung memelas.

"Serius? Yahhh, sayang banget. Jarang-jarang loh saya mau foya-foya buat traktir orang."

Rinai cuma melempar senyum canggung.

"Kalo gitu kapan-kapan aja lah saya traktir, ya!" Birai melanjutkan.

"Nggak usah, Bang."

"Nggak apa, do! Kata orang, persahabatan itu dimulai dari sebuah traktiran!"

Tapi Rinai nggak mau sahabatan sama kamu, Bang! Ngeri!

"Emang kamu sejak kapan jadi penulis? Udah nerbitin berapa novel?" Birai menyeruput es dawet ayu miliknya yang baru saja datang.

"Masih pemulanyo, Bang, belum pernah nerbitin novel," jawab Rinai, lupa kalau dia nggak mau berurusan banyak sama cowok satu ini. Habisnya, dia tanya-tanya impian Rinai sih, kan Rinai jadi semangat menjelaskan.

"Masa iya? Terus tadi mau ikut lomba apa tu?"

"Baru mau ikut lomba. Belum buat novel." Rinai jadi kesel lagi pas ingat orang aneh ini mengintip chat-nya dengan Bang Jack.

"Ohhh, gitu! Tapi udah jago lah ya?!"

"Belum lah, kan masih pemula."

"Oya, saya punya kenalan, dia penulis juga, tetangga saya. Novelnya udah banyak. Beberapa karyanya bestseller!"

Rinai menatap tertarik. Serius nih? 

"Serius, Bang?"

"Iya! Rumahnya dekat kos-kosan saya. Mau saya kenalin?"

Mau sih. Tapi ini bukan modus, kan, ya?

"Emang kos-kosannya Abang dekat mana?"

"Ini, dekat jalan Soekarno-Hatta. Nggak jauh do! Gimana? Mau ke sana sekarang?"

Rinai ragu. Masa sih ada orang sebaik ini di dunia? Kenal aja belum, udah mau bantu sampai sebegitunya. Mana sejak tadi SKSD lagi kayak lagi cari korban.

"Ndeh… kalau sekarang nggak bisa do Bang, habis ini ada perlu." Rinai bohong.

"Oh, ada perlu? Ya udah besok aja kalau gitu! Nanti biar saya antar. Jadi malam ni, biar saya kasih tau dulu Pakciknya. Biar nggak terkejut pula Pakcik tu didatangin sama kita haha…"

Rinai mesem-mesem, memutar otak buat nolak. Bukan nggak mau dapat ilmu baru, tapi Rinai ragu sama cowok di depannya ini. Lagipula Rinai udah punya Bang Jack kok yang mau editorin. Untuk sementara, cukup sih kayaknya! 

"Nggak bisa mastiin jugak do Bang, soalnya saya juga kerja, sibuk kali soalnya."

"Oh, kapan ada waktu luang aja kalo gitu?"

Nih orang kok gak peka sih, kalau Rinai merasa terganggu?!

Rinai mendadak berdiri setelah es dawet ayu tandas dari gelas. Ia tersenyum canggung pada Birai yang tampak kaget sama gerakan tiba-tiba Rinai.

"Saya duluan ya, Bang." Tanpa menunggu jawaban Birai, Rinai beranjak. Ia langsung memberhentikan oplet yang sedang mendekat dan naik, mengabaikan Birai yang untuk kedua kalinya ditinggal begitu saja.

Sesaat oplet berjalan, Rinai merutuki sikap tidak sopannya. Ia gak enak hati sih, tapi mau gimana lagi? Siapa suruh tuh cowok SKSD segala sama Rinai. Rinai kan takut!