Steve pulang larut malam, dua kantung makanan cepat saji terpaksa ia bawa dari sebuah restoran terkenal di New York. Ia tak ingin merepotkan adik dan sahabatnya yang sedang menginap di apartemennya untuk membuatkannya makanan tengah malam.
Steve masuk kedalam apartemen dan duduk bersandar di atas sofa putih kesayangannya. Ia memejamkan mata dan membayangkan betapa indahnya dunia pernikahan seandainya ia dan Jane tak berpisah dua tahun yang lalu.
"Steve, kau kah di situ?"
Steve membuka matanya dan melirik ke arah lampu meja yang menyala terang, ia mengangguk. Ia menaikkan tangannya dan menguap karena kelelahan. Matanya yang sayu memandang hangat seorang wanita yang kini diam terpaku menatapnya. Mungkin ia penasaran dengan kehidupannya sebagai seorang detektif.
"Duduklah. Temani aku disini." Steve mengambil remote tv dan menyalakannya. Amanda pun duduk di sebelah Steve. Sedikit berjauhan karena, ia masih sedikit canggung dengan kakak sahabatnya.
"Bagaimana harimu?"
"Menyenangkan. Aku bahkan harus menginap di rumah sakit karena tak mungkin datang ke kantor kalau korbannya ada di sana. Kalau kau bagaimana?" Steve membuka satu kaleng soda dan memberikannya pada Amanda, ia pun membuka satu kaleng lagi dan meneguknya.
"Aku? Seharian ini aku hanya tidur dan makan lalu tidur lagi. Menyenangkan tinggal di apartemenmu. Nyaman," ujar Amanda. Ia terlihat sedikit menyunggingkan senyumannya.
Steve menoleh dan memaku pandangannya pada sosok gadis cantik yang kini duduk di sebelahnya. Ia mendekat dan tak sengaja tangannya bersentuhan dengan tangan Amanda.
"Kau sudah pernah menjalin hubungan dengan seorang pria?" Steve tetap menatapnya saat menanyakan hal itu pada Amanda.
"Belum pernah. Aku rasa aku belum pantas menjalin hubungan dengan seorang pria," jawab Amanda. Ia malu mengakui jika dirinya masih lajang dan kini telah jatuh cinta pada Steve, pria dewasa yang lebih pantas menjadi kakaknya.
"Kenapa? Kau cukup menarik, Amanda."
"A-aku sedang jatuh cinta pada seseorang. Tapi kurasa, ia tak mungkin mencintaiku."
"Kau pernah mengungkapkan perasaanmu padanya?" Amanda menggeleng, lalu Steve bertanya lagi,"Lalu mengapa kau bisa berkesimpulan ia tak menyukaimu?"
"Perasaanku saja, aku malu."
Steve membalikkan tubuhnya dan kini ia berhadapan langsung dengan Amanda. Dada Amanda bergetar hebat, baru kali ini ada seorang pria yang bisa membuatnya jatuh cinta.
Steve menaikkan dagu Amanda, wajahnya mendekat. Desiran darah di tubuh Amanda mulai naik hingga ke atas kepala. Jarak antara mereka terkikis. Steve semakin mendekat dan akhirnya, ia mencium pipi Amanda. Dua kali.
"Tidurlah Amanda, sudah hampir pagi. Kau masih terlalu muda untuk.....lupakan." Steve beranjak pergi dari sofa kebanggaannya. Ia berjalan ke arah kamarnya dan menutup pintunya.
Amanda memegangi pipi yang sudah ternoda oleh bibir Steve. Amanda menginginkan lebih, tapi Steve sepertinya hanya menganggapnya adik. Tidak lebih.
"Aku akan menjadi dewasa untukmu, Steve."
***
"Steve, ada tamu untukmu." teriak Bibi Claire. Steve mengangguk sambil mengunyah roti sandwich yang selalu Bibi Claire bawakan setiap pagi untuknya.
Steve membuka pintu ruangannya dan mendapati seseorang yang ia kenal duduk di sana. Steve tidak tahu maksud kedatangannya di pagi hari untuk menemuinya, apakah penting atau tidak?.
"Hai George. Kau sedang berlibur di New York?" sapa Steve sekedar berbasa-basi pada kakak ipar yang sebenarnya sangat ia tidak sukai.
"Hai Steve. Dimana Kiehl?"
"Di apartemenku. Kenapa?"
"Hari ini aku akan menjemputnya. Ia tak pantas tinggal di tempatmu. Aku tak mau adik iparku melihat hal yang tidak pantas sebelum waktunya," ujar George dengan tatapan penuh kebencian. Steve menurunkan tangan yang sejak tadi ia pangku di dagunya. Ia menuliskan sebuah alamat pada selembar kertas dan menyerahkannya pada George.
"Datanglah. Aku tak pernah memaksa siapapun untuk ikut dan masuk ke dalam kehidupanku. Pergilah, aku mengusirmu."
George meraih kertas itu dan memasukkannya ke dalam saku jasnya. Ia masih menatap sengit pada Steve dan membuang pandangannya pada detik berikutnya.
Di pintu masuk ia berpapasan dengan Jane yang kebetulan akan masuk kedalam ruangan untuk bertemu dengan Steve. George memandanginya dari atas hingga ke bawah, seolah mencurigai sesuatu.
"Pantas saja, tidak salah aku menjulukimu 'Liar'." George melenggang pergi dengan santainya menyisakan tanda tanya di hati Jane.
"Steve, bukankah dia?"
"Jangan urus masalah pribadiku. Ada yang sudah kau dapatkan?" ok, Jane tidak akan bertanya lagi mengenai pria tadi. Jane tanpa bersuara sedikit pun langsung menyerahkan berkas pada Steve. Beberapa foto dan dokumen aneh lainnya.
"Surat penyerahan kekuasaan? Apa ini maksudnya?"
"Makam dibongkar satu tahun lalu dan itu atas keinginan ahli warisnya. Petugas pemakaman tidak mencurigai seseorang yang datang ke sana dengan selembar kertas yang membuktikan bahwa ia adalah ahli warisnya. Satu yang jadi tanda tanya, siapa yang membongkar dan apa tujuannya." Steve semakin bingung dengan teka-teki ini. Apakah ini berkaitan dengan pembunuhan pengemis beberapa tahun silam atau tidak.
"Lalu, mengenai Lucas?"
"Ia sudah mulai bisa beraktifitas normal, hanya saja butuh istirahat sedikit lama." Jane menyerahkan surat istirahat dari rumah sakit yang ia minta kemarin. Lucas harus beristirahat setidaknya satu minggu.
"Saksi aman?"
"Aman. Sudah ada polisi pengganti di sana. Ada lagi yang kau butuhkan?" tanya Jane. Steve tampak masih butuh bantuannya.
"Tolong hubungi profiler yang menangani kasus pengemis wanita yang dibunuh di malam natal beberapa tahun lalu. Mintakan data serta buktinya juga. Aku, curiga mereka adalah satu orang yang sama."
"Baiklah." Jane beranjak dari ruangan Steve dan menutup pintu ruangannya lagi.
Steve masih sibuk menghubungkan beberapa titik mencurigakan antara pembunuh wanita itu dan pembongkar makam Tuan Anderson. Steve yakin mereka orang yang sama.
"Malam natal, penyiar dan ada beberapa petunjuk lagi. Jika itu benar, kemungkinan besar mereka adalah orang yang sama. Apakah kau mengincar hal itu, tuan pembunuh?" gumam Steve.
****
Pria itu menggeser pelan beberapa kotak di sampingnya. Ia memberikan rasa nyaman pada kakinya setelah lelah berjalan dari satu toko ke toko yang lain. Ia mengambil satu batang rokok yang tersisa dari tempat pembuangan sampah terbesar di kota New York. Ia menyalakan api dan menyesap nikmatnya hembusan asap yang keluar dari dalam mulutnya.
Ia menengadah ke atas langit dan membentangkan satu tangannya menunjuk bintang di sana. Ia tersenyum lalu tertawa meringkik seperti kuda. Lalu di sela tawanya ia menangis, lagi dan lagi.
"Apa kabarmu, Ibu?"
Ia teringat masa kecilnya, Ibunyalah orang yang pertama kali membawanya pada dunia kejam ini. Ibunyalah yang membuat ia harus kehilangan masa kecilnya yang indah. Masa kecil yang harusnya ia rasakan di dalam dekapan seorang Ibu, masa kecil yang harusnya ia gunakan untuk menggapai cita-citanya. Itu hanyalah mimpinya saja.
Ia selalu teringat perkataan sang Ibu saat memukul dirinya menggunakan tongkat kayu atau kawat dan besi sekitar rumahnya. Kata-kata kotor selalu ia dapatkan. Ia masih dan akan selalu mengingatnya sampai kapanpun.
"Kau bedebah, kau anak yang tak seharusnya lahir ke dunia. Kau anak pembawa sial. Harusnya kau mati!!" Ibunya memukuli dirinya yang saat itu masih kecil hanya karena kesalahan yang tak pernah ia tahu.
"Maafkan aku, Ibu. Aku janji tidak akan menyusahkanmu lagi," ia menangis terisak sampai memeluk kaki sang Ibu.
"Aku membencimu."
Pria itu menangis. Rokok yang tadi ia sesap, sudah habis. Ia tertawa meringkik lagi. Lalu ia pun berkata dengan suara paraunya," I hate you, mom."