Kiehl menangis saat George datang dan hendak menyeretnya keluar dari apartemen Steve. Begitupun dengan Amanda. Ia menangis saat sahabatnya dipaksa meninggalkan apartemen kakaknya sendiri dengan alasan kehidupan Steve adalah kehidupan malam yang tidak pantas dilihat oleh para gadis kecil seusia Kiehl.
"Aku sudah dewasa George. Steve kakakku sendiri, tidak ada alasan kau memisahkan aku dengan Steve. Asal kau tahu, Steve tak seburuk yang kau pikirkan. Dia orang yang baik, bukan orang yang brengsek," teriak Kiehl. George menahan emosinya dan tetap mengemasi barang -barang adik iparnya. Ia tak mempedulikan ucapan Kiehl.
"Aku tak butuh pendapatmu. Ayo pergi dari sini. Kau akan mengetahui betapa bejatnya Steve jika kau terlalu lama tinggal di sini."
"Aku tak mau."
Tepat saat mereka berdua sedang berdebat, Steve datang dengan santai berjalan ke arah kamar Kiehl. Ia melihat dengan mata kepalanya sendiri jika George mulai ambil ancang-ancang menganiaya Kiehl dengan tangannya yang tepat di depan pipi gadis kecil itu.
"Ckckck...seorang pria dewasa dengan tidak tahu malunya memukul seorang gadis kecil yang juga seorang adik iparnya. Bukan contoh pria yang baik. Kiehl, ku sarankan kau jangan pilih pria seperti dia sebagai calon suamimu kelak." Steve menarik Kiehl dan menyembunyikannya di belakang tubuhnya.
"Minggir kau. Bukankah kau sendiri yang menyuruhku kesini untuk mengambil adik iparku? Kenapa kamu menghalangi?"
Steve tertawa, George mengernyitkan dahinya. Ia berpikir pasti Steve sengaja memberikan alamat apartemennya agar adik iparnya bisa melihat bagaimana ia memperlakukannya kasar.
"Kiehl, kau percaya kata-katanya, sayang?" tanya Steve mengedipkan satu mata pada adiknya. Kiehl menggeleng. Biar bagaimanapun ia tetap mempercayai Steve.
"Tidak, aku tidak percaya. Sejak Chloe menikah dengannya, dia tak bahagia. Aku yakin, ia pasti bermuka dua saat bertemu Ibu."
George menggeram. Ia membanting kasar buku yang ia pegang dan berlalu keluar kamar lalu pergi dari apartemen Steve dengan membanting kasar pintunya.
"Kau tidak apa-apa, sayangku? Hmm..."
"Steve kau hebat. Aku bangga padamu." Kiehl memeluk Steve. Di belakangnya, Amanda memandang kagum pada Steve dan Kiehl. Mereka saudara kandung yang saling melengkapi.
"Ah, baiklah. Aku akan memasak makan malam." Amanda memecah keheningan. Kedua kakak adik itu menengok ke belakang, lalu saling berpandangan. Keduanya tertawa pelan.
"Dia gadis yang baik."
"Lamarlah ia Steve. Aku restui kalian."
***
Setelah mandi dan berganti pakaian tidur, Steve berlalu ke arah dapur dan mendapati Amanda masih berkutat dengan masakannya. Ia memasak braised chicken, pasta dan juga beberapa buah kentang rebus. Terlihat enak.
Steve menghampiri Amanda yang sedang sibuk. Ia berdiri di belakangnya, Amanda yang masih memotong bombay menjadi kaget. Ia menaruh pisaunya dan berbalik.
Tepat di hadapannya, wajah Steve yang tampan dan mengagumkan seketika membuat otak Amanda membeku. Bahkan tangannya terlihat gemetar. Ia seperti terpanah sesuatu. Jangan bilang, ini adalah awal ia menumbuhkan benih cintanya pada pria dewasa itu.
"Ma-maaf. Permisi."
"Kenapa harus minta maaf? Seharusnya aku. Karena mengejutkanmu tadi. Mari aku bantu. Kau akan memasak apa?" Steve meraih apron di atas lemari dan mulai memakainya. Ia terlihat sexy. Lihat saja otot lengannya. Ya tuhan, pikiran Amanda berkelana ke segala penjuru dunia.
"Aku akan membuat acar untuk side dishnya."
"Oh, baiklah. Aku bantu."
Amanda memotong bombay, sedangkan Steve meracik bumbu acar dan salad. Steve tampak senang ketika salad kesayangannya sudah selesai.
"Hei, coba ini. Sudah sesuai rasanya?" Steve menyendokkan satu sendok acar dan salad ke dalam mulut Amanda. Ia mengunyahnya. Amanda mengangguk. Rasa acarnya sesuai dengan lidahnya.
"Enak, Steve."
"Eh, tunggu." Steve membalik tubuh Amanda yang saat ini menghadap irisan bombay lalu mengusap ujung bibir Amanda dengan jarinya. Lalu membersihkannya dan menjilatnya. Amanda terkesiap melihat adegan itu. Wajahnya memerah malu seperti kepiting rebus.
"Ta-tadi...."
"Maaf jika membuatmu tak nyaman."
Steve berbalik. Ia merapikan meja makan dan menyiapkan tiga piring serta alat makan yang lain. Amanda berdiri di belakangnya. Sungguh, ia tak bermaksud untuk membuat Steve menjadi malu.
"Steve, kurasa yang tadi tak membuatku menjadi tak nyaman. Aku hanya kaget. Apakah kau?"
Steve berhenti menaruh piring. Matanya diam menatap wajah Amanda yang berulang kali mengibaskan tangannya pada wajahnya.
"Kau cantik, Amanda."
"Terima kasih."
*****
"Profesor, apa hasilnya? Apakah benar mereka orang yang sama?" tanya Jane. Menjelang pukul sepuluh malam ia masih berada di rumah profesor ahli krimonologi yang juga seorang profiler.
"Entahlah Jane. Masih terlalu kasar. Tapi, melihat cara ia membunuh ada kemungkinan ia adalah orang yang sama. Jane, kalau hanya dengan dua bukti belum bisa menyimpulkan hal yang sama. Setidaknya harus ada beberapa bukti lagi," ujar profesor Carl. Ia yakin masih ada petunjuk lain.
"Apa kita harus menunggu sampai pembunuhan berikutnya?"
"Jangan. Ehmm...tunggu."
Profesor Carl membuka dokumen lama pembunuhan wanita di malam natal beberapa tahun lalu. Ia membuka salah satu file dan memperlihatkannya pada Jane.
"Lihat, nama korban adalah Emma mantan seorang penyiar radio dan tanggal lahirnya sama dengan salah satu korban." Jane membacanya. Ia memperhatikan dengan seksama dan menelitinya.
"Ehmm...memang sama. Tapi apakah ini bisa jadi salah satu petunjuk?"
"Bisa. Amati pergerakannya, jika memang intuisiku terbukti, korban berikutnya adalah seorang penyiar. Jika tidak berhasil, ia akan mengincar seseorang bernama Emma atau seseorang yang tanggal lahirnya sama. Kalau mau, kau awasi saja semuanya." profesor menyarankan hal yang sangat sulit. Jane berpikir sejenak.
Lalu ia meraih ponselnya dan menghubungi Bee untuk membantunya mencari data yang di perlukan untuk diawasi oleh mereka.
"Bee, tolong hubungi pusat data statistik. Minta bantuan mereka untuk mendapatkan berbagai bukti tentang beberapa calon korban pembunuhan berikutnya. Ini penting."
"Apa-apaan kau, menyuruhku. Hanya Steve yang bisa."
"Baiklah, kuharap Steve tak mendepakmu keluar dari tim."
"Baiklah, apa maumu?"
"Cari wanita bernama Emma atau yang tanggal lahir dan profesinya sama dengan korban. Siapapun, tanpa terkecuali."
"Ok, tunggu laporannya besok siang."
***
Steve bersantai di balkon apartemennya. Membawa satu cangkir coklat panas dan duduk bersandar sambil menikmati indahnya kota New York dari atas. Ia melihat beberapa orang berlalu lalang. Ada yang sedang asik mengobrol, bahkan berciuman di tengah jalan pun ada.
Steve tersenyum. Ini persis seperti masa lalunya saat bersama Jane. Duduk di balkon sambil bercerita tentang indahnya masa berkenalan mereka yang panjang hingga akhirnya memutuskan bertunangan.
Ia ingat sebuah kalimat yang diucapkan oleh Jane saat itu. Kalimat yang masih terasa sakral hingga saat ini.
"Steve, aku tak bisa jatuh cinta lagi selain denganmu. Bagaimana jika nantinya kita harus berpisah? Apa kau tetap mengejarku?" saat itu sorot mata Jane seperti ketakutan. Ia takut kehilangan Steve.
"Aku, pria yang akan selalu memilihmu walau kau tak disisiku lagi. Tapi, aku akan pergi jika kau sudah memilih seseorang yang baru sebagai penggantiku."
"Mengapa?"
"Karena, aku tak ingin merusak hubungan orang lain."
Steve melamun. Bahkan, coklat hangatnya sudah habis pun ia tak sadar.
"Steve, sudah malam. Kau belum mengantuk?" Amanda berdiri di balik pintu balkon dan menatap Steve yang masih melamun.
"Belum. Kau juga. Belum mengantuk?"
"Belum juga. Aku tidak bisa tidur. Mau ku temani?"
Steve mengangguk. Ia menepuk satu tempat di sampingnya. Amanda mendekat dan duduk di dekat Steve.
"Malam ini indah," ujar Steve. Amanda mengangguk.
"Iya, malam yang indah."
Steve dan Amanda pun terlibat perbincangan seru. Sampai Amanda tak henti-hentinya tertawa. Steve lucu. Ia ternyata punya jiwa humoris. Amanda terasa nyaman bersamanya. Sampai saat Steve tersadar sendiri, jika Amanda terlihat sangat cantik jika sedang tertawa.
"Kau cantik, Amanda."
Steve mendekati wajah Amanda, ia mengusap pelan pipinya. Amanda yang malu, tak kuasa menahan warna merah di pipinya.
Steve semakin mendekat seakan tak ada jarak diantara mereka. Hembusan napas Steve terasa di pipi Amanda. Terasa panas.
"I wanna kiss your lips. May i?" Amanda mengangguk. Ia memberi jalan bagi Steve untuk menciumnya. Tepat di belahan bibirnya. Dan ciuman itu terasa hanya satu detik hingga tiba-tiba suara ponsel Steve membuyarkan semuanya.
"Ada apa Jane?" Steve berdiri dan sedikit menjauh dari Amanda.
"Aku sudah menemui Prof Carl. Ia memberikan petunjuk. Besok siang kita rapat mendadak."
"Kau atau aku bosnya."
"Kali ini aku."
"Baiklah, siapkan bahannya. Kali ini jangan sampai meleset."
Steve menutup telpon. Ia berbalik dan masih mendapati Amanda yang terdiam duduk di kursi balkon.
"Steve, apakah ciuman tadi....." Amanda menengadahkan wajahnya menatap Steve. Ia meminta penjelasan atas ciuman pertamanya yang direbut oleh Steve.
"Maafkan aku...ciuman tadi hanya..ehm..aku terbawa suasana....."
"Baiklah, maaf menganggu. Selamat malam."
Amanda berlari kedalam apartemen lalu masuk ke kamar dan menutup pintunya. Steve membatu. Apakah Amanda menyimpan perasaan padanya?.
'Bagaimana ini?'
***