Gigi Steve saling beradu, fokusnya hanya pada satu buah flashdisk kecil yang ia temukan di ruang monitor cctv gedung kosong itu. Mengapa benda penting ini bisa luput dari penglihatan seorang detektif seperti Bee dan Lucas. Seharusnya, ini bisa jadi barang bukti untuk kasus pembunuhan itu.
Brakk
Pintu ruangan Steve dibuka kasar oleh Lucas yang terlihat terengah-engah. Dadanya turun naik, sepertinya ia baru saja berlari maraton dari New York hingga ke Los Angeles. Steve menggeram kesal. Ingin sekali ia memukul kepala pemuda berumur hampir tiga puluh tahun itu. Kalau saja ini bukan di kantor polisi.
"Seharusnya tambahkan pelajaran tentang manner untuk perekrutan polisi bila melihat semua anak buah berlaku tak sopan sepertimu pada atasannya," tunjuk Steve yang telunjuknya mengarah pada Lucas yang masih berdiri di depan ruangannya.
"Maaf, sir. Aku punya berita penting. Ini mengenai tuan Anderson dan kasus pembunuhan sepuluh tahun silam," ujar Lucas masih terengah-engah. Steve memberinya segelas air putih miliknya dan Lucas meneguknya hingga habis tak tersisa.
"Ceritakan. Apa yang ingin kau katakan hingga napasmu seperti tercekik."
"Jejak jarinya kembali terlihat. Kini jejak itu ada di salah satu apartemen mahal di kota New York. Kepolisian New York sudah memeriksanya dan itu asli miliknya." Lucas kembali menggebu. Respon Steve datar. Entah apa yang kembali terngiang di kepalanya mengenai kasus pembunuhan tersulit ini.
Steve menggaruk dagunya. Ia memutar bola matanya ke atas lalu melirik ke samping dan memicing. Pikirannya kembali berputar pada intuisinya kalau pembunuh berantai ini tidak hanya satu orang.
Yang pertama ia curigai adalah keluarga Anderson. Ia punya anak kandung dan anak angkat yang entah ada dimana. Sebelum hari kematiannya, sempat tersiar kabar jika anak pertamanya hampir mencekik lehernya namun urung dilakukan karena warisan.
Tapi, kecurigaan itu musnah. Karena sang anak ke luar negeri hingga kini tak diketahui keberadaannya. Namun tak menutup kemungkinan bahwa dialah saksi dan bisa jadi tersangka kasus pencurian jasad sang ayah.
"Apartemen itu milik siapa?"
"Emma Korf. Pendatang dari Berlin dan baru menetap di New York. Ia tewas terbunuh disana. Tak ada yang tahu siapa pembunuhnya. Cctv, ponsel, kartu pengenal dan passport semuanya hilang. Yang janggal adalah, kondisi wanita itu meninggal dengan cara....."
"Tersayat. Iya, kan?" Steve menginterupsi kalimat Lucas.
"Sir, kenapa anda tahu?"
"Setelah aku teliti lebih dalam, ternyata pembunuhnya memang ada dua orang. Bee mana?" tanya Steve yang hanya mendapat respon gelengan kepala dari Lucas.
"Entahlah. Dia menghilang beberapa hari ini. Kukira sudah ada izin darimu."
Steve mengepalkan tangannya. Ia geram dengan kelakuan salah satu anak buah kepercayaannya itu.
"Cari dia."
Lucas menegakkan tubuhnya lalu menghormat siap pada Steve. Ia melangkah ke luar ruangan dan menutup lagi pintunya. Saat ia berbalik, wajah Jane tepat berhadapan langsung dengannya. Lucas sempat kaget namun ia cepat tersadar.
"Halo, nona Jane."
Jane menarik lengan kemeja Lucas dan membawanya ke sebuah ruangan yang terletak tak jauh dari pantry.
"Katakan padaku, bagaimana bentuk rupa si makhluk jelek yang kau temui di apartemen Larry? Ayo jawab!!" bentak Jane membuat Lucas menelan ludahnya kasar.
Jane menyilangkan tangan di depan dadanya dan menatap lurus pada sosok Lucas. Ia menunggu anak buahnya itu bicara dengan jujur.
"Wajahnya buruk. Ia punya bau anyir seperti sampah. Ehmm...aku tak tahu pasti wajahnya karena selalu tertutup kain," jelas Lucas.
Jane terdiam. Ia kembali mengingat bagaimana bentuk rupa si makhluk itu. Matanya liar berlari ke kiri dan kanan.
"Terima kasih atas informasinya." Jane menepuk bahu Lucas dan pergi meninggalkannya di pantry.
"Dia aneh," gumam Lucas.
***
Krekk
"Ckckck....datang ke New York, hanya untuk menyerahkan nyawa. Dasar wanita murahan. Baiklah, apa yang bisa kita jadikan umpan bagi si polisi dan detektif bodoh itu. Sshhtt...."
Asap putih membumbung di seluruh ruangan. Menyebarkan aroma tembakau khas bercampur wangi aroma kesturi dari pengharum ruangan. Tak peduli apakah ventilasi itu berfungsi atau tidak, ia tetap menyesap tembakau itu.
Ia berhasil melancarkan aksinya. Seharusnya hari ini, tapi ternyata wanita yang ia datangi sangatlah agresif.
Tak ada yang istimewa, hanya pergumulan singkat dan permainan panas yang melelahkan.
Klikk
'Berita utama kota New York. Telah terjadi pembunuhan berantai yang kembali meminta korban seorang warga asing yang beberapa waktu lalu mendiami sebuah apartemen mewah di kota New York. Tak ada satupun yang ditemukan untuk bisa menjadi barang bukti pihak kepolisian.'
'Korban mengalami dehidrasi dan banyak kehilangan darah akibat luka sayat di sekitar leher. Belum diketahui motifnya, namun pihak kepolisian memastikan pelakunya adalah orang yang sama untuk kasus pembunuhan pada tahun lalu.'
'Korban atas nama Emma Korf, seorang warna negara Jerman yang bertempat tinggal di Berlin. Pihak kedutaan Jerman memastikan akan membantu kepulangan jenazah korban esok hari.'
"Hhaaaa.....haaa...bodoh. Steve, kau bodoh."
Krekk
Cesss
Sekaleng cola ia buka untuk memastikan dahaganya hilang. Sambil menyesap tembakau itu, ia mengumpat berkali-kali pada siaran tv dan mengacungkan jari tengahnya.
Brakk
Arrgghhh
"Sampai kapan ia akan tetap bodoh. Haa?"
****
"Steve, kau sengaja?"
Steve menoleh. Tangannya masih tetap berayun pada kertas yang baru saja ia buka lembar demi lembar. Tak peduli akan pertanyaan Jane, ia kembali mengguratkan kata di lembar itu.
"Maksudmu, Jane?"
Jane menarik lembaran itu dan membantingnya kasar di meja Steve. Tatapan marah membaur di wajah Jane. Steve tak bisa marah, ia lelah menghadapi teka-teki pembunuhan ini.
"Kau sengaja membuatnya keluar dari persembunyian, ya kan?" tanya Jane, mengembalikan kertas itu. Steve mengangguk.
"Aku yakin dia akan menemuiku. Cepat atau lambat. Ia punya tujuan tertentu denganku."
"Percaya diri sekali. Bagaimana kalau dia mengincar korban baru?" Jane duduk dengan satu kaki tersilang. Steve melirik sekilas lalu memperlihatkan beberapa tulisan di lembaran kertas tadi.
"Lihat ini, bukti baru."
Jane menyipitkan pandangannya. Hanya empat buah angka yang Steve utak-atik hingga membentuk rumus. Jane masih tak mengerti dengan angka yang ditulis oleh Steve tersebut.
"Apa ini?"
"Tanggal lahirku."
"Kau sekarang lebih memilih menghabiskan waktumu dengan mengutak-atik angka kelahiran mu? Hei, kau dibayar bukan untuk narsis," protes Jane. Steve tak peduli. Ia melipat lembaran itu dan memasukkannya ke saku kemejanya.
"Terima kasih atas pujiannya. Selamat malam." Steve menyambar kunci mobilnya dan berjalan santai keluar dari ruangan kerjanya. Ia tak menghiraukan teriakan Jane yang terus saja memanggilnya.
Brughh
Steve meringis. Dadanya terantuk sesuatu, ah bukan tepatnya seseorang yang tengah berdiri di depan pintu masuk kantornya.
"Amanda?"
"Hai, Steve. Aku baru saja pulang berbelanja, aku lewat jalan sekitar kantormu. Kupikir kita bisa pulang bersama," Amanda melambaikan tangan dan tersenyum. Steve merangkulnya dan mengajaknya pulang.
"Baiklah, mari pulang bersama."
"Hei, Steve. Kau ha...." Jane menghentikan teriakannya. Percuma memanggil Steve, sosoknya saja sudah berjalan jauh.
'Bersama seorang gadis.'
***