Malam natal yang kesekian kalinya tanpa Ayah. Ada satu kesesakan timbul di dada Steve. Setiap malam itu, ia ingin sekali menangis sampai suara tak terdengar lagi. Bahkan, sejak Steve dan Jane memutuskan untuk berpisah, kesedihan Steve akan malam natal semakin membuatnya sesak.
Dua jam setelah sampai di Minnesota, Steve hanya bisa terdiam di kamar. Ibu membuatkan kamar ini khusus untuknya. Ibu bilang, suatu hari nanti Steve akan menemuinya dan menginap di rumah ini. Maka, Ibu mendesain kamar untuknya.
"Steve, ayo kita berkumpul. Semuanya sudah hadir di bawah." Ibu datang dan mengusap pelan lengan Steve. Ia memberikan ketenangan untuk hati putranya yang sedang bersedih.
"Tapi, Bu....."
"Chloe dan Kiehl merindukanmu, sayang. Kau juga tak ingin melihat keponakan manismu?" Steve berbalik, ia tersenyum kecil. Kata-kata Ibunya lah yang paling ia dengar saat ini.
"Baiklah, Bu...."
Steve dan Ibu berjalan menuju ruang keluarga. Sudah ada Chloe dan keluarganya dan Kiehl dengan kekasihnya. Mereka sedang tertawa gembira. Salah satu anak Chloe sedang mengoceh. Steve menghentikan langkahnya. Tangannya gemetar. Ibu mengeratkan genggamannya pada tangan Steve.
"Jangan takut, Ibu disini. Ayo...."
Steve mengangguk. Ia berjalan lagi menuju ruang keluarga, ia duduk di satu kursi. Semua menoleh ke arah Steve dan itu semakin membuat Steve ketakutan.
"Hai, Steve. Kau semakin tampan." Chloe berdiri dan berpelukan dengan Steve. Sudah lama ia tak memeluk adik laki-lakinya. Begitupun dengan Kiehl. Ia memeluk sang kakak, lalu mengusakkan kepalanya di dadanya.
"Kau tak pernah pulang, aku merindukanmu."
Steve hanya tersenyum kikuk melihat anggota keluarganya berkumpul. Satu persatu mereka memeluk Steve, tak terkecuali suami Chloe dan kekasih Kiehl.
Steve akhirnya mulai beradaptasi dengan keluarganya lagi. Ia sudah bisa tersenyum lebar dan berkelakar dengan kakaknya.
"Ah, sayang sekali kau dan Jane harus berpisah. Dia wanita yang cantik dan mandiri," ujar Chloe. Steve hanya tersenyum dan menggeleng pelan.
"Mungkin dia bukan jodohku."
"Atau kau mau aku kenalkan pada seorang gadis cantik di Minnesota? Aku punya kenalan. Sebentar, aku hubungi dia." Kiehl tidak main-main. Ia membuka ponselnya dan menghubungi seseorang yang ia kenal. Mungkin temannya.
"Kau masih mencintainya?" tanya Chloe. Kali ini pertanyaannya cukup menohok Steve. Ia mendengus pelan lalu menggeleng.
"Tidak."
"Sungguh?" Chloe masih penasaran.
"Sungguh. Aku tak pernah berbohong. Dia sudah bertunangan dan akan menikah. Jadi, buat apa aku masih mencintainya," ujar Steve. Chloe menatap mata Steve. Perlahan ia mengusap lengan adiknya dan memberi sedikit tepukan ringan untuknya.
"Kau berhak bahagia, Steve. Lakukan yang kau mau."
Drrtt...
Satu getaran dari ponsel Steve membuyarkan obrolan mereka. Steve melirik ponselnya, ada nama Jane di sana. Steve berdiri dan menjawab telpon itu di ruangan lain. Ini pertama kalinya ia menerima telpon dari Jane di malam natal setelah perpisahan itu.
"Halo, ada apa Jane? Ada masalah dengan kantor?"
"Oh, halo Steve. Kantor aman. Aku hanya ingin menghubungimu. Kau sudah di Minnesota?"
"Sudah. Aku sedang berkumpul dengan mereka. Apakah makan malammu sudah selesai?"
"Bahkan aku belum memulainya," jawab Jane lirih. Ada nada sedih di antaranya.
"Kenapa?"
"Aku lupa kalau kau menemui Ibumu, tadi aku ingin mengajakmu makan malam. Roland membatalkan acaranya tiba-tiba. Ehm, maaf menganggu waktumu. Sampaikan salamku untuk keluargamu. Bye."
Steve tersenyum miris. Bahkan, saat bicara dengannya Jane selalu menyebut nama kekasihnya. Dan apa-apaan itu, Jane menghubungi Steve hanya karena dia tak bisa merayakan natal? Apakah ini berarti Steve hanya buangan saja?.
Steve pun kembali ke ruang tengah dan mendapati seorang gadis duduk di sebelah Kiehl. Seorang gadis cantik yang Steve taksir usianya masih di bawah tiga puluh tahun.
"Steve, kenalkan. Ini Amanda, dia sahabatku. Amanda, ini Steve kakakku. Dia seorang detektif di kantor kepolisian New York. Dia hebat." Kiehl mengenalkan gadis itu pada Steve dan baru kali ini ia memujinya dengan tulus.
Steve mengulurkan tangannya dan berjabatan tangan dengan Amanda.
"Salam kenal, aku Steve."
"Salam kenal. Aku Amanda."
Perbincangan natal di keluarga Richardson berjalan seru. Bahkan sampai menjelang tengah malam. Mereka tak menyadarinya. Amanda yang hanya mampir sebentar memilih undur diri saat ia kaget melihat jam dinding menunjukkan angka pukul satu pagi.
"Astaga, sudah pukul satu pagi. Aku harus pulang. Terima kasih atas perkenalannya. Aku permisi." Amanda berdiri. Ia mengambil tas dan jaket tebalnya yang digantung di dekat pintu masuk.
Steve ikut berdiri dan juga mengambil jaket tebalnya lalu memakainya.
"Aku antar. Kau tinggal di sekitar sini, kan?" tanya Steve. Amanda menoleh ke arah Kiehl. Dan Kiehl hanya mengangguk penuh senyum sambil mengangkat kedua jempolnya.
"Ehm, baiklah. Terima kasih semuanya."
Di perjalanan menuju rumah Amanda, suasana terasa sangat sepi. Kemungkinan ada dua, pertama karena ini malam natal dan yang kedua hari sudah mulai pagi. Steve banyak berceloteh, ia menjadi sedikit cerewet. Terkadang ada saja bahan leluconnya yang membuat Amanda tertawa terpingkal-pingkal.
"Sungguh? Kau pernah berkeliling New York hanya dengan sepeda kecil?" tanya Amanda. Ia seolah tak percaya pada cerita Steve.
Steve tertawa dan tersenyum manis setelahnya." Sungguh. Sampai sekarang bahkan Ibuku tak tahu jika aku pernah mengayuh sepeda hingga ke kota. Kalau ia tahu, bisa habis dipukuli."
"Kau seorang petualang. Menyenangkan sekali." Amanda berhenti di depan halaman sebuah rumah kecil di kompleks perumahan Minnesota. Steve memandang ke arah rumah itu dan bertanya pada Amanda.
"Ini rumahmu?"
Amanda mengangguk." Ini rumahku dan keluargaku. Mampirlah jika kau pulang ke Minnesota."
"Boleh aku minta nomer ponselmu? Yah, siapa tahu saat aku pulang ke sini kau bisa menjemputku di bandara," rayu Steve. Wajah Amanda berubah merah. Steve mengulurkan ponselnya dan meminta Amanda menuliskan nomer ponselnya. Steve menyimpannya dalam phonebook.
"Semoga kita bisa bertemu lagi."
"Iya, semoga. Selamat natal Amanda."
"Selamat natal, Steve."
****
Steve bangun di pagi hari dengan perasaan yang lebih baik. Ia telah melewati ketakutannya pada malam natal yang selama ini ia hindari. Malam natal bersama keluarganya. Oh, Steve harus memberikan officer banyak hadiah besok.
Steve membersihkan diri dan berjalan menuju dapur. Ia mendapati Ibunya sedang mengaduk adonan kue dan menaruhnya ke dalam loyang. Ibunya akan membuat tart kesukaannya.
"Selamat pagi, Ibu." Steve berdiri di samping ibunya dan mengecup pipinya. Tubuhnya yang tinggi mengapit hangat sang Ibu dan mengeratkannya.
"Kelak, kau akan seperti ini pada istrimu." Ibu berbalik dan tersenyum sambil menyentuh wajah anaknya yang sudah dewasa. Ia merindukan Steve nya yang ceria."Menikahlah, Steve."
Steve menunduk lalu mengangguk." Maafkan aku, Ibu. Seharusnya aku sudah menikah dengannya. Tapi...."
Ibu mengusak rambut Steve dan mengecup dahinya. Matanya berkaca-kaca. Ia tahu, anaknya pasti menderita selama dua tahun ini.
"Carilah yang bisa membuatmu bahagia. Ibu akan menerimanya. Bukankah Amanda gadis yang baik? Ibu sering ditemani olehnya saat ia berkunjung." Steve tersenyum mendengar celotehan Ibunya. Ia mengangguk.
"Akan aku coba mendekatinya, Bu."
"Berterima kasihlah kau pada Kiehl, Steve. Dia yang mengenalkanmu pada Amanda. Aku menyukainya. Selamat pagi Ibu," sapa Chloe. Ia sudah berpakaian rapi, tak lama kemudian George dan putrinya ikut menyapa Steve dan Ibu.
"Selamat pagi, Ibu dan juga Steve," sapa George dingin. George masih sedikit dendam pada Steve karena pernah hampir menggagalkan pernikahannya dengan Chloe.
"Kalian akan pulang? Menginaplah sehari lagi di sini," pinta Ibu. Nadanya memelas. Chloe melirik Steve dan George. Ia merasa tak enak atas keduanya. Adik dan suaminya masih belum bisa berdamai.
"Anggap saja aku tak ada di rumah ini. Kau jangan menghindari Ibu hanya karena kedatanganku," ucapan Steve membuat George geram. Adik iparnya ini menyudutkan dirinya di hadapan istrinya dan Ibu.
"Tak ada alasan apapun, ini semata karena ada pekerjaan yang harus aku kerjakan." mata George menatap sinis pada Steve.
Steve tak membalasnya, ia sibuk makan buah dan kue yang sudah dipotong oleh Ibunya. Disuapan kelima, ia menaruh garpu dan berdiri.
"Aku selesai, silakan lanjutkan. Aku akan keluar rumah seharian."
Ibu memandang punggung Steve hingga menghilang dari pandangan. Chloe terasa canggung, begitupun dengan George.
Di pertengahan tangga, Steve berpapasan dengan Kiehl. Ia baru saja bangun. Steve mengacak rambutnya dan berjalan pelan menuju kamar tidurnya. Kiehl mengikutinya.
"Kau mau pergi kemana?" tanya Kiehl. Steve memakai jaket tebalnya dan menyambar ponsel diatas nakas.
"Aku? Aku ingin berkeliling Minnesota. Kau mau ikut?"
Mata Kiehl berbinar-binar, sudah lama ia tak berjalan-jalan bersama kakaknya. Ia pun mengangguk.
"Benarkah? Boleh ajak Amanda?"
"Boleh saja. Aku tunggu lima belas menit dari sekarang." Kiehl berteriak kegirangan. Ia segera berlari ke kamarnya dan bersiap-siap akan pergi bersama kakaknya.
Steve menghubungi Amanda. Ia tak ingin gadis itu terburu-buru saat ia datang ke rumahnya.
'Mungkin, aku memang harus segera pergi dari bayangan Jane.'
****