Chereads / LEMBAH KEMATIAN / Chapter 3 - Kim

Chapter 3 - Kim

(Lisidas, tahun 2024)

Levi mengelap keringatnya dengan punggung tangannya sementara kedua matanya fokus pada rangkaian jam tangan di depannya.

Pekerjaan utamanya di pabrik ini adalah menyusun komponen jam tangan mewah yang akan di kirim ke negara Valdivian.

Ia cukup beruntung. Setelah kematian kedua orangtuanya, salah satu teman ayahnya menawarkan pekerjaan ini.

Walaupun tempat bekerjanya panas karena sebenarnya gedung ini hanyalah gudang beratapkan seng, tapi paling tidak pekerjaan ini aman dan bayarannya juga setimpal.

Eric, salah satu teman masa kecilnya, tidak seberuntung Levi.

Ia mendapat pekerjaan di pabrik pengolahan metal, beberapa minggu yang lalu tangan kanannya terpotong karena kecelakaan saat bekerja.

Tentu saja Eric tidak bisa bekerja lagi setelahnya. Levi mendapat kabar temannya bunuh diri dengan loncat dari gedung tertinggi pabrik tempatnya bekerja.

Hal seperti itu tidak aneh di negara ini. Orang-orang cacat dan tidak mampu bekerja biasanya akan dijauhi dan dibully oleh sekitarnya.

Tidak ada hal yang lebih mengerikan dibandingkan ditindas oleh orang yang tertindas.

"Levi, adikmu menelepon." suara supervisornya membuyarkan fokusnya. "Lain kali jangan pernah suruh adikmu menelepon ke kantorku lagi, kau mengerti?" bentak atasannya dengan kesal.

"Menyusahkan saja." lanjutnya sambil berjalan menjauh.

Levi hanya memberikan anggukan singkat. Tidak biasanya Kim menelepon ke tempat kerjanya, perasaannya agak tidak enak.

Lagipula mereka tidak punya telepon di rumah, adiknya pasti menelepon dari telepon umum yang lokasinya cukup jauh dari tempat tinggal mereka.

Dengan rasa khawatir Levi berjalan mengikuti supervisornya hingga ke kantor.

Dengan diawasi wajah kesal supervisornya, Levi menempelkan telepon ke telinganya lalu memanggil nama adiknya, "Kim, ada apa?"

Suara isakan adiknya membuat punggungnya membeku, "Kim?" ulangnya dengan desakan.

"Kak Levi! Tolong pulang... Be—Beberapa orang menunggu di rumah setelah aku pulang da—dari sekolah. Mereka bilang ayah dan ibu punya hutang yang sangat banyak... Aku takut, apa kakak tidak bisa pulang sekarang?" tanya adiknya dengan putus asa.

"Aku akan pulang." jawab Levi dengan tenang agar tidak membuat adiknya semakin panik. "Tunggu aku di telepon umum itu sampai aku datang, kau mengerti?"

Ia tidak menunggu jawaban adiknya sebelum memutuskan sambungan telepon.

"Apa yang baru saja kau katakan? Kau akan pulang?!" hardik supervisornya dengan wajah memerah karena marah.

Levi menghela nafasnya sebelum mendongak membalas tatapan atasannya, "Maafkan aku, Sir. Sepertinya adikku sedang dalam masalah."

"Persetan dengan adikmu, aku akan memotong gajimu hari ini!"

***

Perjalanannya kembali ke rumah dihantui dengan perasaan khawatir.

Sepanjang ingatannya kedua orang tuanya tidak memiliki hutang yang banyak, lalu kenapa orang-orang itu baru muncul empat tahun setelah orang tuanya meninggal dunia?

Mereka tinggal di perkampungan padat dan kumuh, kedua kakak beradik itu menyewa sebuah rumah petak kecil yang sempit bahkan untuk dua orang.

Levi berjalan ke arah adiknya yang duduk sendirian di bilik telepon umum, rambutnya yang diikat terlihat berantakan begitu juga seragam sekolahnya.

Hati Levi seperti diremas ketika melihat keadaan adik perempuannya, tidak peduli sekeras apapun Ia bekerja Ia tidak bisa lepas dari jerat kemiskinan yang semakin menghimpit keduanya.

Levi berhenti di depan adiknya yang duduk sambil membenamkan kepalanya di kedua tangannya yang terlipat. "Kim..."

Adiknya mendongak dengan sangat cepat, kedua matanya memerah dan terlihat sembab. Terakhir kali Kim menangis seperti ini adalah saat orang tuanya mati.

"Ayo." Levi mengulurkan tangannya, kejadian ini terasa familiar bagi Kim. Tapi Ia tetap menyambut uluran tangan itu setelah mengamati ekspresi lelah kakaknya.

Keduanya menyusuri perkampungan kumuh dalam diam, seluruh penduduk yang tinggal disana bekerja sebagai buruh jadi biasanya di waktu seperti ini perkampungan itu terasa sangat sepi karena ditinggal penghuninya bekerja hingga malam.

Kedua kakak beradik itu berhenti beberapa meter dari tempat tinggal mereka, pintu rumah sudah menjeblak terbuka dan di dalamnya sekitar tiga orang pria berbadan besar dan tinggi sedang mengacak-acak seisi rumah.

Walaupun mereka tidak punya banyak barang, tapi tetap saja melihat barang yang sudah dibeli susah payah dengan hasil keringatnya dilempar-lempar membuat darah Levi mendidih.

Ia melepaskan genggaman tangannya lalu melangkah dengan marah, masuk ke dalam rumah. Dari belakangnya suara Kim yang memanggil namanya terasa seperti angin lalu.

Levi melepaskan pukulan sebelum ketiga pria itu menyadari kedatangannya, walaupun perawakannya kurus tapi setidaknya posturnya juga setinggi pria-pria itu.

Dengan membabi buta Ia berusaha menarik, memukul, dan menendang orang-orang yang sudah menghancurkan isi rumahnya.

Sementara suara jeritan Kim melengking nyaring membelah suasana sepi perkampungan kumuh mereka.

***

Pada akhirnya Levi harus pergi ke rumah sakit karena tiga tulang rusuknya retak. Wajahnya dipenuhi lebam dan luka yang masih mengeluarkan darah hingga Ia hampir tidak bisa dikenali.

Seluruh tubuhnya terasa nyeri karena menerima puluhan pukulan tukang tagih si rentenir.

Kim berada di sampingnya setiap saat sambil menahan tangis.

Levi kalah telak. Ia merasa marah, lelah, dan kehilangan semangat. Ternyata orang tuanya memang punya hutang yang sangat banyak, salah satu dari pria yang datang membawa surat legal tagihan hutang.

Levi menduga mereka menunggu selama beberapa tahun agar bunganya semakin mencekik.

Masalahnya adalah si rentenir menggunakan ancaman akan menculik dan menjual Kim jika hutangnya tidak diselesaikan. Tentu saja Levi tahu itu perbuatan ilegal, tapi Ia merasa skeptis pihak yang berwajib akan turun tangan untuk menolongnya.

Semua orang tahu pihak-pihak yang berwenang di Lisidas adalah orang-orang yang korup.

Ia lega saat ini ekspresi muramnya tertutupi oleh luka di wajahnya, jadi adiknya tidak bisa melihat. "Kim, pulang saja dulu. Besok kau masih harus sekolah."

Adiknya membalasnya dengan tatapan tajam walaupun air mata masih terlihat melapis kedua bola mata hitamnya. "Bagaimana dengan kakak? Aku tidak ingin pulang sendirian."

"Aku masih harus menyelesaikan administrasi rumah sakit." jawab Levi dengan jujur, uangnya saat ini sangat menipis.

"Kau begitu akan kutunggu." sahut Kim dengan keras kepala.

Levi tersenyum kecil walaupun sudut mulutnya terasa perih karena robek saat dipukul. "Tunggu disini. Aku akan kembali. Apa kau mau kubelikan makanan?"

Kim menggeleng, Ia tahu betul kakaknya tidak punya uang. "Aku hanya ingin pulang secepatnya."

Levi mengangkat tangannya lalu mengacak-acak puncak kepala adiknya sebelum pergi. Ia berjalan lebih lambat dari biasanya sambil berusaha menghitung berapa sisa tabungannya.

Semua orang tahu biaya rumah sakit sangat mahal, dan Levi tidak memiliki jaminan atau asuransi.

Sambil mengantri pandangannya tidak sengaja tertuju pada poster besar yang dipasang di sebelah loket pembayaran.

'Datang & Bergabunglah! Ekspredisi Grandia 2024! Seluruh biaya akan ditanggung oleh Negara Serikat, setiap orang akan mendapat jatah bulanan sebesar dua ribu gold! Bonus sepuluh ribu gold jika menyelesaikan perjalanan Ekspedisi!'

Mata Levi terhenti di kalimat 'dua ribu gold'. Jumlah itu empat kali lebih besar dari gaji bulanannya di pabrik jam... Dan hutang kedua orang tuanya akan terbayarkan dalam waktu lima bulan saja.

Tapi Ia harus meninggalkan adiknya selama beberapa bulan...

"Heh..." Levi mendengus sinis. Saat ini Ia tidak punya banyak pilihan.