Risa menekan kontak dengan nama Sayangku, nomor yang cukup panjang. Dia tak bisa menghabiskan menu makan siangnya, ingatan akan bos Glen selalu mengganggunya. Risa menekan tombol panggilan, tapi tak tersambung juga. Risa membuang nafas putus asa. Begini rasanya rindu? Risa tersiksa akan semua perasaannya sendiri. Dia mengambil box makan siang dan menaruh di bak pencucian. Risa kembali ke meja makan dimana rekannya masih asik berbagi cerita dan tertawa. Hanya Risa yang sendu, dia tak bisa lepas dari pikirannya sendiri.
Dengan mata yang memanas, berusaha menahan air mata, Risa memainkan cincin di jari manisnya. Dia tersenyum mengingat bagaimana bos Glen mengajaknya menikah tempo hari. Lamaran penuh kejutan dan malam yang panjang, sungguh kenangan yang indah.
"Ris, ini aslikan!" ketus Reza mengejutkan Risa. Semua kompak menatap berlian di jari Risa.
"Gila sih, pengeeenn!" rengek Joy manja. "Kak ajarin dong biar dapet yang kaya bos Glen!" pinta Joy dengan wajah manjanya. Reza mengeryit kesal ke arah Joy. Dia berbisik sinis "Lu bilang ogah sama cowok macam gito!" Joy menggeleng, melupakan ucapannya tempo hari, pesona berlian itu lebih menggoda, jadi mau sinis, sombong, belagu nampaknya Joy tidak akan mempermasalahkan. "Dasar matre!" sewot Reza tanpa suara.
Mendapati obrolan rekan kerjanya membuat bibir Risa tersenyum, sejenak dia melupakan kerinduannya terhadap kekasih, bos Glen.
Sementara itu..
Bos Glen menatap figure foto di atas meja dengan wajah datar. Matanya masih sembab dengan rona merah yang jelas. Kepalanya sedikit terangkat dan mendapati bingkai foto lain yang di gantung di dinding, seorang pria paruh baya dengan setelan jas berikut kedua anaknya di sisi kiri dan kanan. Dia adalah tuan Jung bersama seorang putri dengan wajah masam bernama Jung Eun ra, dia biasa dipanggil nona Jung. Seorang lagi putra yang memiliki senyuman ramah, Jung Hoon, atau dipanggil tuan muda Hoon. Glen tersenyum sinis.
Baru saja dia menandatangani berkas penting du ruang kerja keluarga. Surat wasiat dari tuan Jung, semua tertera jelas disana.
"Kau membesarkan ku dengan baik, aku menyerahkan semua kehidupan dan kemampuan ku padamu." bibir Glen tertarik sinis "Dan kau tak pernah menganggap keberadaanku!" dengusnya kesal. Bos Glen menghapus air mata yang tiba-tiba mengalir begitu saja.
"Aku menyesal menyayangimu!" kesal Glen dengan wajah merah penuh emosi.
"Kau disini rupanya!" suara Hoon mengejutkan Glen. "Kau masih saja menangis saat melihat foto papa" dengan tepukan hangat di pundak, Hoon mencoba menghibur kakak angkatnya.
"--" Glen terdiam. Dia menangis bukan karena sedih kehilangan tuan Jung, sudah berubah! Glen tidak lagi menangisi kepergian pria tua itu. Dia bahkan menyesal sudah banyak mengeluarkan airmata kemarin.
"Glen hyung, aku tak bisa mengatasi nuna, dia sangat menyebalkan!" dengan wajah memelas Hoon meminta perhatian Glen. "Bisakah kau membujuk nuna supaya turun dan makan. Dia sudah dua hari mengurung diri di kamar" pinta Hoon penuh harap pada Glen.
Hoon memanggil Glen dengan kata hyung yang berarti kakak laki-laki, sementara nuna adalah panggilannya pada kakak perempuannya.
"Aku akan membujuk Eun" balas bos Glen diterima Hoon dengan wajah ceria.
"Terima kasih hyung terbaikku" puji Hoon berlebihan." kau harus lebih dekat dengan nuna, bukankah kalian akan segera menikah!" Senyuman ceria Hoon perlahan memudar mendapati sorot tajam mata Glen.
"Kenapa hyung?" selidik Hoon, tatapan apa tadi!
"Tidak, aku akan segera ke atas" ujar Glen dengan wajah datar, dia meninggalkan Hoon.
"Ada apa dengan hyung? bukankah kalimatku benar?" Hoon bingung sendiri. Dia mengikuti langkah Glen yang sudah lebih dulu meninggalkannya.
Glen melangkah cepat menuju lantai atas, dia hendak mengunjungi kamar Eun. Kepala pelayan dengan nampan makanan di tangannya berikut seorang lagi memasang wajah takut di depan pintu nona Jung.
"Kembalilah saat dia sudah lebih tenang!" pinta bos Glen, dengan cepat kedua orang pelayan itu segera turun. Glen hendak mengetuk pintu tapi suara pecah belah di dalam kamar mengejutkannya. Ini bukan hal luar biasa. Nona Jung dengan semua keegoisannya memang sulit dikendalikan. Glen menarik nafas berat.
"Kupikir aku akan lepas dari semua ini!" batin bos Glen menahan kesal. Dia mengingat jelas isi aurat wasiat yang dibahas oleh kuasa hukum keluarga kemarin sore.
"Semua aset, kekayaan, baik harta bergerak ataupun tetap diwariskan atas nama Jung, Eun Jung dan Hoon Jung!" Glen menelan ludah pahit. Pria tua itu tak memberi barang sedikit saja padanya. Padahal siapa yang selama ini bersama dengannya, menghabiskan waktu di perpustakaan rumah, menemani ke kantor, membahas perusahaan, Glen! Sementara Eun lebih banyak menghamburkan uang dan berpesta, dan Hoon, pemuda itu sibuk dengan dunianya sendiri. Bos Glen menggigit bibir kesal jika harus mengingat surat wasiat itu!
"Satu hal penting, tuan Jung ingin Glen dan Eun segera menikah!" Glen bersandar lemas pada pintu kamar Eun. Dia tak pernah berpikir jika pernikahan Jung family menjadi kenyataan. Siapa dirinya hingga bisa menolak? dia tak bisa menolak. Glen harus menikahi Eun. Siapa yang akan mengelola perusahaan, dan.. Glen tak ingin meninggalkan perusahaan.
"Euun.." panggil Glen dengan nada lembut. Di dalam kamar nona Jung segera menoleh ke arah pintu. Dia melemparkan sisirnya ke daun pintu dan membuat Glen di luar sana terkejut.
"Kau tak menyapaku! kau tak menelponku, kau BOODOOHH!!" Upat Eun marah, tentu saja dia marah pada Glen.
"Aku minta maaf. Pekerjaan sangat sibuk saat itu, dan aku harus mengurus upacara pemakaman papa, lagipula siapa yang akan menyelesaikan semua urusan jika bukan aku, kau tau itukan Eun.." Dengan nada selembut mungkin Glen mencoba meluluhkan amarah Eun. Gadis itu masih saja cemberut, dia kesal. Daripada bersedih karena kepergian papa nya, Eun lebih sedih ketika Glen pulang dan tak menyapanya.
Eun bangkit dari ranjang, dia membersihkan diri. Memilih dress terbuka dengan aksen renda. Dia menyisir rambutnya dan memakai make up.
"Masuklah!" setelah menyentuh sensor pintu kamar Eun melipat tangan di dada, dia meminta Glen masuk. Glen mendorong pintu dan memamerkan senyuman. Suasana kamar yang sangat kacau menyambutnya, pria itu memasang wajah pura-pura terkejut, ini semua sudah biasa.
"Apa yang terjadi disini? sebuah keributan?" lelucon Glen membuat Eun tersenyum, wajah cemberutnya berubah seketika.
"Kenapa kau tak menghubungiku!" rengek Eun manja. "Kau harusnya sering menelponku kan!" pinta Eun seraya merangkul tubuh Glen, dia memeluk erat. Dengan ragu Glen mencoba membalas pelukan Eun. Wangi parfum menyengat hidung Glen, membuat wajahnya meraut aneh.
"Kau tahu aku sangat merindukanmu!" bisik Eun malu-malu. "Apa kau tak merindukan tunanganmu yang cantik ini!" ucapan Eun yang narsis membuat Glen mengerutkan dahi.
"Tentu saja aku merindukanmu" balas Glen dengan wajah datar. Dia lebih merindukan Risa. Hanya saja wanita dalam pelukannya ini lebih prioritas saat ini.
"Sayang, aku lapar" rengek Eun manja. "Buatkan aku sesuatu yang lezat!"pinta Eun penuh harap. Glen mengangguk perlahan.
"Aku akan membuatkan sesuatu untuk nona Jung yang cantik ini" ucap Glen membuat wajah Eun seketika ceria, dia segera meraih dagu Glen dan mendaratkan kecupan disana. Meski Glen tak menginginkan tapi dia tak bisa mengabaikan, hingga keduanya bertautan lama, Glen menikmati wangi cherry di bibir Eun. "Kenapa bibir wanita penuh dengan aroma buah!" batin Glen berdebat sendiri "Kalau seperti ini bagaimana pria enggan menikmati lebih lama" Mereka terhanyut dalam kecupan yang kian membangkitkan hasrat.
"Baiklah sayang, aku akan membuat makanan untukmu!" dengan terpaksa Glen melepaskan ciuman mereka sebelum ranjang kotor di depan sana bertambah kotor dengan aroma keringat. Eun terlihat kecewa.
"Aku segera kembali" ujar Glen sambil menggaris senyum terpaksa.
"Glen, panggil bibi pelayan" pinta Eun memerintah. Glen mengangguk.
"Aku ingin kamarku di bersih kan!" ujar Eun manja. "Seseorang mungkin akan menghabiskan malam disini" Glen tertawa kecil, dia sangat mengerti akan kalimat nakal tunangannya. Ya, mereka mungkin akan berbagi ranjang, seperti sebelum-sebelumnya. Pertama apa, jika mulut pria mengucapkan pertama bukan berarti itu pengalaman pertama bagi nya. Itu mungkin pertama dengan orang berbeda.