Claire dan Arjoona kini mulai berani pergi berangkat kerja bersama. Usai terpaan badai yang menghebohkan Winthrop, Arjoona meminta ijin pada Gerald untuk tidak lagi diam-diam membawa Claire. Untungnya Gerald menyetujuinya. Kini Arjoona resmi menjadi 'supir pribadi' Claire Winthrop. Meskipun begitu, Arjoona tetap pegawai biasa. Ia memarkir mobil di tempatnya seperti dulu, dengan penampilan dan posisi yang sama.
Claire sendiri tidak berencana menaikkan posisi Arjoona sekalipun mereka sudah resmi menjadi pasangan tunangan kini. Arjoona menurunkan Claire tepat di lobi parkir menara Winthrop sebelum memutar mobilnya memasuki kawasan pabrik di tempat berbeda.
"Sampai ketemu nanti di meeting sore princess," ujar Arjoona lalu mencium pipi Claire. Claire tersenyum dan membalas mencium Joona di pipinya sebelum ia membuka pintu dan turun. Satpam yang berdiri di depan pintu masuk menunduk memberi hormat pada Claire begitu ia lewat. Tak lupa ia mengangkat tangan memberi salam pada Arjoona. Arjoona membalas dan ikut tersenyum pula.
Bisik-bisik karyawan masih terus terjadi, tapi Claire menulikan dirinya dan tidak ingin menanggapi apapun. Ia begitu jatuh cinta pada Arjoona, sehingga tidak perduli pada pandangan miring sebagian orang yang mencemoohnya berpacaran dengan enginer biasa seperti Joona.
Begitu masuk ke dalam ruangannya, Anggi sekretaris nya sudah menunggu dan tersenyum.
"Pagi mba Anggi," Anggi mendekat tersenyum dan membawa sebuket bunga lalu meletakkannya di atas meja Claire.
"Pagi bu, ada kiriman bunga untuk ibu," Claire mengerutkan keningnya dan mulai duduk di kursinya sebelum mengecek kiriman bunga itu.
"Dari siapa?" tanya Claire tapi Anggi hanya diam saja dan membereskan dokumen yang harus diperiksa Claire hari ini. Kening Claire langsung berkerut begitu membaca nama pengirimnya. Ia menyerahkan kembali buket bunga itu.
"Buang aja!" perintah Claire pada Anggi. Anggi menaikkan alisnya sebelum menerima bunga itu.
"Lain kali jangan terima bunga dari Louis Olsen lagi," ujar Claire memandang sekilas pada Anggi dan mengambil dokumen yang sudah diletakkan Anggi di depannya.
"Baik bu," ujar Anggi mengiyakan sebelum keluar dari ruangan itu. Claire hanya menghela nafas dan tidak mau perduli dengan kiriman bunga dari Louis padanya. Untuk apa mantan kekasihnya malah mengirimkannya bunga?. Claire langsung tenggelam pada kesibukannya sendiri hingga tiba waktu makan siang yang terlewati dengan cepat.
Ketika tiba waktu meeting dan ia bertemu Arjoona, keduanya bersikap sama-sama profesional. Meskipun manager produksi terus menerus menggoda Arjoona dengan menyikut lengannya pelan, lalu menaikkan alis sambil tersenyum, tapi Arjoona hanya bersikap biasa saja. Jika ada yang tidak ia setujui, maka ia akan langsung berpendapat. Perbedaannya adalah mereka tidak lagi berdebat barbar seperti dulu, keduanya bisa saling menerima pendapat dan saran.
Hari berlalu hingga beberapa hari kemudian, kiriman bunga untuk Claire dari Louis masih terus datang setiap hari. Anggi yang mulai kelabakan akhirnya melapor pada bosnya. Dengan sikap dingin dan angkuh, Claire meminta agar Anggi langsung membuang semua bunga yang dikirimkan. Belum selesai perintah Claire, pintu ruangan Claire dibuka oleh Louis.
Claire yang melihat langsung mendengus kesal dan membuang muka. Anggi yang menoleh sejenak ke belakang lalu menghadap Claire lagi menunggu perintah. Claire menghela nafas sebelum akhirnya meminta Anggi untuk keluar.
"Mau apa kamu kemari?" tanya Claire ketus sambil masih memeriksa dokumen. Ia tidak mau melihat Louis sama sekali.
"Claire, aku mau bicara sama kamu," jawab Louis dengan nada rendah dan lembut. Ia mendekati meja kerja Claire, berharap wanita itu mau melihatnya.
"Gak ada yang harus diomongin Louis. Aku sedang banyak kerjaan," Louis memejamkan matanya dan menunduk sebelum melihat Claire lagi.
"Tolong beri aku kesempatan untuk memjelaskan semuanya,"
"Soal apa?" potong Claire dengan nada kesal.
"Soal hubungan kita," Claire memandang Louis tidak percaya. Pria itu bahkan berani masih menemuinya hari ini.
"Kita gak ada hubungan apapun lagi. Kamu udah nikah, aku pun udah nikah," Lou menggeleng.
"Claire, pernikahanku gak bisa dipertahankan lagi. Aku ingin kita mencoba lagi dari awal. Kamu juga akan bercerai kan sebentar lagi," Claire menggeleng dan itu membuat Louis mengerutkan keningnya.
"Aku gak bisa kembali sama kamu Louis, semuanya udah berakhir," Louis masih menggeleng dan tidak ingin menyerah.
"Aku benar-benar minta maaf Claire, aku menyesal dengan apa yang sudah aku lakukan. Sekarang aku benar-benar sadar kalo cuma kamu satu-satunya yang aku cintai. Aku gak pernah sedetik pun bisa melupakan kamu," Claire hanya menghela nafas berat dan menutup dokumen di depannya.
"Aku udah memafkan kamu sejak lama Lou, tapi aku gak bisa kembali sama kamu. Aku udah mencintai Arjoona sekarang dan kami akan menikah lagi setelah bercerai nanti,".
"Hah...apa maksud kamu akan kembali sama dia?" tanya Louis dengan wajah terkejut. Claire mengangguk dan masih menegaskan posisinya.
"Kami sudah bertunangan sekarang dan kurang lebih dua bulan lagi kami akan bercerai lalu menikah lagi seperti pasangan normal," Louis menggelengkan kepalanya tidak percaya. Nafasnya memburu lebih cepat, ludahnya tercekat di tenggorokan dan ia hampir meneteskan airmatanya. Harapannya hilang sudah, Claire benar-benar telah pergi.
"Aku menunggu kamu, tapi kamu membuang aku," ujar Louis dengan nada suara terluka. Claire hanya diam lalu menggeleng.
"Gak Lou, aku yang menunggu kamu, tapi kamu terus mengkhianati aku. Dulu aku juga pernah melihat kamu beberapa kali bersama wanita lain, tapi aku terus mengelak hingga malam itu saat aku melihat kamu...udahlah, semua udah terjadi,"
"Gak, aku gak bisa terima ini!" Claire hanya bisa memejamkan mata sejenak lalu menatap Louis lagi.
"Lebih baik kamu jalani kehidupan kamu bersama Kenanga, dan aku menjalankan pernikahanku dengan Joona, itu keputusan yang terbaik," Claire bicara dengan nada lebih lembut sambil memandang Louis sebelum menunduk lagi melihat dokumen di depannya. Louis hanya bisa menarik nafas penyesalan dan berbalik keluar dari kantor Claire dengan perasaan terluka dan kecewa. Apa lagi yang bisa ia lakukan agar Claire mau kembali.
Sementara Louis terus mengirim bunga untuk Claire, istrinya Kenanga terus mendapatkan kiriman mawar indah dari Gentala Samudra. Louis sudah jarang pulang ke penthousenya dan Kenanga terus mengurung dirinya di apartemen mewah itu. Hanya seorang pelayan yang bertugas membersihkan dan memasak yang terlihat berlalu lalang.
"Maaf bu, ini ada kiriman bunga lagi," ujar pelayan itu membawa sebuah buket mawar besar pada Kenanga yang sedang melamun. Ini sudah hari keempat, Gentala terus mengirimkan bunga yang sama. Mawar merah yang dirangkai menjadi buket bunga yang indah. Setelah tiga kali menolak, akhirnya hari ini Kenanga mengambil bunga itu dari pelayannya.
Kenanga membawa bunga itu dan duduk di sofa tempat ia duduk semula. Ia mengambil kartu di dalamnya dan membaca pesannya.
'Angkat telfon ku baby, aku kangen banget sama kamu. TALA' tertulis di kartu itu. Ada rasa hangat menjalar di hati Kenanga yang dingin ditinggalkan suaminya. Bunga itu begitu indah dan orang pasti akan gampang menebak, jika itu adalah pemberian seorang kekasih. Ponsel Kenanga bergetar tak lama kemudian. Entah sudah berapa kali ia menelpon Kenanga. Kenanga akhirnya menswipe dan mengambil panggilan itu.
"Akhirnya kamu angkat telfon aku baby, aku kangen banget sama kamu," ujar Gentala dari ujung panggilan. Dan Kenanga hanya diam saja tidak memberi respon apapun.
"Baby, Kenanga sayang...jangan diam aja,"
"Kamu mau apa?" tanya Kenanga dengan suara rendah.
"Aku mau ketemu kamu," jawab Gentala dengan nada lembut yang sama. Kenanga mengerutkan keningnya. Ia tau ini adalah sebuah kesalahan, jika ia setuju bertemu dengan Gentala lagi.
"Tala ini salah, tolong jangan ganggu aku lagi," Kenanga mulai menangis. Ia begitu sensitif belakangan ini, depresi mulai menyerangnya.
"Kamu dimana sekarang?" tanya Gentala dengan nada cemas. Kenanga tidak menjawab dan makin menangis kencang.
"Sayang, jangan menangis. Bilang kamu dimana baby, biar aku kesitu," Kenanga menggeleng meski ia tau Gentala tidak bisa melihatnya.
"Tolong jangan ganggu aku lagi," Kenanga menangis dengan keras sebelum menutup panggilan itu. Ia masih terus menangisi dirinya sendiri, sambil memeluk bunga yang diberikan Gentala padanya.
"Aku udah gak mau hidup lagi," bisiknya sambil menangis dan masih meringkuk. Gentala tidak bisa menutupi kecemasannya. Awalnya ia tidak berencana akan masuk ke penthouse milik Louis Olsen itu. Tapi perasaannya tidak enak dan hal itu membawa kakinya yang sudah berada di lobi apartemen itu untuk kemudian naik ke penthouse tersebut.
Begitu sampai di depan pintu, Gentala langsung membunyikan bel lalu menunggu dengan wajah cemas. Begitu pintu dibuka, seorang gadis muda yang menjadi pelayan di penthouse itu setengah takut-takut melihat Gentala.
"Nyonya kamu ada?" pelayan itu mengangguk. Gentala mulai cemas dan hendak masuk.
"Maaf, bapak siapa?"
"Tolong kasih saya ijin masuk, saya harus periksa nyonya kamu," pelayan itu bingung dan mengerutkan keningnya. Tiba-tiba terdengar bunyi pecahan barang dari dalam, mata Gentala langsung membesar dan ia mendorong pintu masuk berlari ke dalam.
"Sebelah mana kamarnya?" teriak Gentala menoleh pada pelayan itu. pelayan yang ketakutan itu menunjuk pada sebuah kamar di sebelah kiri. Gentala langsung berlari dan mendobrak pintu kamar.
"Kenanga..." Gentala berteriak dan berlari ke dalam. Kenanga tengah menggoreskan pecahan vas bunga kristal ke pergelangan tangannya. Tangan Gentala dengan cepat menghalangi tangan Kenanga agar tidak memotong lebih dalam.
"Oh Tuhan sayang, apa yang kamu lakukan!" Kenanga masih memberontak dan menangis. Ia seperti tidak sadar dengan yang tengah ia lakukan.
"Ambil perban," perintah Gentala pada pelayan yang sudah berdiri ketakutan itu. Sementara sebelah tangan Gentala menahan pergelangan tangan Kenanga agar darahnya tidak terlalu banyak keluar. Sebelah lagi digunakan untuk memeluk Kenanga dengan erat.
"Ngapain kamu kemari?" gumam Kenanga dengan suara lemas. Gentala langsung memegang pipi Kenanga dengan sebelah tangannya.
"Sebentar ya sayang, aku tahan dulu darahnya," pelayan tadi datang dan memberikan perban pada Gentala. Dengan cekatan, Gentala membalut pergelangan tangan Kenanga agar darahnya berhenti. Kenanga hanya melihat saja dengan pandangan kosong pada pria tampan yang agak gondrong itu.
"Kita ke dokter ya," ujar Gentala memandang Kenanga yang terlihat sangat lemah. Gentala lalu berbalik melihat pelayan yang berdiri di belakangnya.
"Dia udah makan?"
"Belum pak, nyonya belum makan dari pagi," Gentala mendengus kesal. Ia langsung menggendong Kenanga yang tidak berontak sama sekali.
"Aku mau bawa Kenanga ke rumah sakit," ujar Gentala melihat sekilas pada pelayan itu sambil berjalan keluar penthouse. Pelayan itu tidak bisa berbuat apapun selain membiarkan seorang lelaki asing membawa pemilik rumah keluar.
Kenanga di bawa ke klinik milik dokter pribadi keluarga Samudra. Dokter paruh baya itu memeriksa Kenanga yang sudah tertidur sejak dibawa masuk.
"Dia kekurangan gizi, om rasa dia udah gak makan selama beberapa hari dan hanya minum air putih saja," ujar dokter itu memberi penjelasan pada Gentala. Gentala menarik nafas berat dan memandang Kenanga yang sudah diberi cairan infus karena kekurangan cairan.
"Kita harus memanggil psikiater untuk masalah ini, dia mengalami depresi jika tidak ditangani bisa berbahaya," ujar dokter itu lagi. Gentala mengangguk mengerti.
"Tentu om, lakuin yang terbaik," dokter itu mengangguk lagi dan tersenyum.
"Siapa gadis ini? Pacar kamu?" tanya dokter itu sambil membuka sarung tangannya. Gentala hanya tersenyum saja.
"Jangan bilang papa mama dulu ya om, biar aku yang jelasin sendiri," dokter itu tertawa.
"Kalo kamu perhatian sama dia, berarti sekarang serius ya," Gentala masih tersenyum dan tidak menjawab. Ia menepuk pundak Gentala sekali setelah memakai alkohol di tangan dan keluar ruangan perawatan. Setelah dokter itu keluar, Gentala mengambil sebelah tangan Kenanga dan menggenggamnya erat. Kenanga perlahan terbangun dan melihat Gentala tersenyum manis padanya.
"Kamu udah sadar baby?" Kenanga belum menjawab dan masih memandang Gentala dengan pandangan aneh.
"Aku akan nemenin kamu, kamu jangan khawatir," ujar Gentala lagi menenangkan Kenanga yang terlihat sangat lemah. Airmatanya masih jatuh dan Gentala terus menyekanya perlahan.
"Ada aku, kamu gak sendiri, hhmm," Kenanga tidak tau harus bersikap seperti apa. Ada pria asing yang menyiramkan cinta dan kasih sayang padanya, sementara suaminya sendiri membuang dan meninggalkannya.
SEBUAH KLUB
Louis masih sibuk minum di bar dan mulai mabuk sendirian. Ia sudah tidak pulang berhari-hari dan kerap tidur di hotel. Sekarang seperti biasa, ia menghabiskan harinya untuk minum dan mabuk. Pikirannya dipenuhi oleh bayangan Claire dan kenangan indah mereka dulunya. Bosan hanya berada di bar, kini Louis bangun dan berjalan hendak menghabiskan minumannya di sofa. Beberapa wanita sudah menunggunya dan ia tersenyum menghampiri mereka. Sebelah tangannya merangkul seorang gadis yang ikut menemaninya minum. Tapi senyumannya tidak lama, begitu ia melihat pasangan Arjoona dan Claire yang ternyata berada di klub yang sama tengah berdansa berdua.
Kedunya terlihat begitu mesra dan terus tersenyum lebar satu sama lain. Arjoona benar-benar menikmati hubungannya dengan Claire. Ia meraba lekuk tubuh kekasihnya dan tanpa malu-malu menciumnya di depan umum. Claire bahkan tidak pernah berdansa sesensual itu dengan Louis dulu tapi begitu dengan Arjoona, ia membiarkan pria itu membelai dan menciumnya dengan gairah.
Louis begitu kesal dan langsung marah melihat adegan mesra itu. Tak lama kemudian, ia melihat keduanya memesan dua botol Henneiken dan mencari tempat untuk duduk. Yang lebih menyakitkan Louis, begitu Arjoona duduk, Claire langsung duduk di pangkuan Joona sambil memberikannya botol bir itu. Setelah menegak minumannya, Arjoona terlihat tertawa lepas sambil menarik Claire dan mencium bibirnya. Dari tempatnya, Louis bisa melihat ciuman panas Claire pada Arjoona.
'Dia bahkan gak pernah cium gue kayak gitu,' umpat Lou dalam hatinya. Ia menyentak marah tangan lengan wanita yang memeluk sebelah tubuhnya. Lalu berdiri dan pergi dari klub itu.
"Aku punya kejutan untuk kamu besok malam," bisik Arjoona di depan bibir Claire. Claire menaikkan alisnya lalu meminum birnya lagi.
"Kamu terus-terusan ngasih aku kejutan," balas Claire membelai garis rambut Joona dengan lembut. Arjoona hanya tersenyum dan makin memeluk pinggang Claire .
"Aku ingin buat kamu bahagia princess. I love you so much," Claire langsung tersenyum manis dan mencium Arjoona lagi.
"I love you too, Joona," bisik Claire terus membalas ciuman itu. Seolah di klub itu hanya ada mereka berdua, Claire dan Arjoona asik berciuman dan hanya memberi jeda sejenak untuk minum bir dan tertawa.
RESTORAN ITALIA, EL CIBO
Arjoona masuk ke dalam sebuah restoran Italia setelah membuat janji dengan Gentala. Gentala menelponnya untuk membicarakan finalisasi album rap yang sedang mereka produseri. Begitu berjalan ke dalam restoran mewah itu, Arjoona langsung memberikan namanya pada pelayan reservasi dan hendak diantar ke meja yang sudah dipesan Gentala.
Seorang pria berambut coklat terang menghampiri Arjoona sebelum ia ke mejanya. Pria itu tersenyum dan menghalanginya berjalan. Ia berbalik pada pelayan itu dan membisikkan sesuatu lalu pelayan itu pun pegi meninggalkan Arjoona dengan pria asing itu.
"Please follow me sir, someone wants to meet you," (tolong ikuti saya tuan, seseorang ingin bertemu) ujar pria itu dengan nada sopan. Arjoona belum bergeming pada pria berjas rapi dengan mata biru yang indah itu.
"What do you mean, who are you?" (apa maksudmu, siapa kamu) balas Arjoona. Pria itu masih tersenyum.
"Tolong ikut dulu, silahkan," ia memberi tanda lagi dengan tangannya dan berjalan lebih dulu. Arjoona pun mengikuti pria itu dan masuk ke dalam ruang meeting VIP dalam restoran. Seorang pria berjas rapi sudah duduk di sebuah sofa di dalam ruangan yang tidak begitu besar namun sangat privat itu. Pria yang membawa Joona hanya menunduk sebentar dan tersenyum sebelum menutup pintu.
Arjoona masih kebingungan, sampai ia melihat pria berjas yang duduk di depannya mengangkat wajahnya dan tersenyum. Pria itu begitu tampan dengan rambut hitam yang agak sedikit panjang tapi cukup rapi. Ia memakai setelan jas mahal dan duduk sambil melipat kakinya seperti seorang bos besar.
"Apa kabar adik kecil?" Joona mengerutkan keningnya. Pria itu masih terus tersenyum manis dan berdiri mendekati Arjoona.
"Kamu tumbuh dengan baik Joona," Arjoona kenal wajah itu. Sudah berubah, tapi ia kenal betul pria dengan garis rahang seperti itu, hanya kakak angkatnya yang memilikinya.
"James..." James mengembangkan senyumnya.
"Hai Joona, aku kembali," mata Arjoona membesar dan nafasnya hampir berhenti.