Telah cukup lama Raja Indra, Gandara dan Pengeran Antoni menunggu di ruang pribadi Raja Indra. Keresahan sudah mulai terasa saat bulan dalam hitungan menit lagi berada di atas kepala. Semua peralatan sudah di siapkan di samping kasur yang akan menjadi tempat berbaring Pangeran Dinata nanti.
Raja Indra tampak berjalan bolak-balik sambil memperhatikan bulan, pikirannya sungguh tak tenang memikirkan nasib putranya nanti.
Kabut es muncul ditengah-tengah mereka, tampak Pangeran Dinata dengan wajah panik keluar dari kabut itu.
"Maafkan saya datang sedikit terlambat, Ayah, Paman, An.." ucapan Pangeran Dinata terhenti dan bingung ketika melihat Pangeran Antoni yang juga berada di sana.
"Dinata, saya di sini mau minta maaf atas kesalahpahaman saya padamu," jawab Pangeran Antoni seakan tahu apa yang dipikirkan Pangeran Dinata saat ini.
"Tidak apa, Antoni. Saya yang salah, terlalu terlewat batas dalam berteman. Saya minta maaf," ucap Pangeran Dinata yang kemudian merangkul sahabatnya ini, "kita masih berteman kan?"
"Tentu saja, Dinata. Sekali lagi saya minta maaf hampir saja pertemanan kita hancur karena keegoisan saya."
"Sudah cukup sesi permintaan maafnya, bulan sudah tegak berdiri dalam hitungan detik saja lagi," ucap Gandara tegas mengakhiri pembicaraan antara dua sahabat ini.
Pangeran Dinata sudah mengambil posisi berbaring di ranjang yang terlihat kokoh itu, sedangkan Raja Indra sudah siap mengeluarkan fantalis sihir apinya yang paling kuat untuk menarik bara kristal merah keluar.
"Pangeran Antoni, bersiaplah dengan sihirmu. Jika Raja Indra mulai kelelahan kamu yang harus menggantinya dengan fantalismu."
Sinar bulan telah tepat di atas kepala, dengan sekuat tenaga Raja Indra menarik keluar bara kristal merah. Dinata tampak meringis kesakitan saat saat bara kristal merah sudah mulai bergerak dari posisinya.
Kering terus menetes bersama air mata yang sudah tak tertahan lagi melihat rintihan putranya menahan sakit yang teramat hebat. Tubuh Raja Indra sepertinya tak sanggup lagi mengeluarkan fantalis dalam jumlah banyak. Parman Gandara segera menyuruh Antoni untuk menggantikan Raja Indra yang tampak lemas.
Antoni yang kini terus berusaha keras agar fantalisnya cepat melakukan metabolisme supaya bisa terisi lagi dan tak muda kelelahan. Sedangkan Paman Gandara tengah sibuk menyembuhkan syaraf-syaraf Pangeran Dinata yang ikut terbakar.
ARGHHH...
Teriakan Pangeran Dinata begitu keras bersama dengan pusaka bara kristal merah yang sudah benar-benar keluar dari tangan kirinya.
Bara kristal merah itu tampak menyala terang dan mengambang di udara. Beberapa bagian dari bara kristal merah terbalut oleh darah Pangeran Dinata yang terus menetes di lantai.
Raja Indra segera membungkus pusaka bara kristal merah dan meletakkannya dalam kotak pusaka. Setelah semua selesai, Antoni dan Raja Indra kembali fokus dengan keadaan Pangeran Dinata yang kini telah hilang kesadaran sepenuhnya.
"Bagaimana keadaan Dinata sekarang, Gandara? Apa dia baik-baik saja?," Tanya Raja Indra cemas.
"Entahlah, ia kehilangan kesadarannya, saat ini tubunya membeku karena belum terbiasa dengan fantalis sihir yang begitu besar tanpa hambat dari kekuatan bara kristal merah lagi. Tapi setidaknya hati dan jantung tidak ikut membeku dan masih bisa mengalirkan darah ke tubunya," tutur Paman Gandara dengan wajah serius.
"Kapan Dinata bisa sadar kembali, Paman?"
"Belum bisa dipastikan, jika tubunya sudah bisa mengendalikan fantalis sihirnya maka dia akan segera bangun. Kita hanya bisa menunggu saat ini, semua kemungkinan ada ditangan Pangeran Dinata."
Tatapan Raja Indra masih sangat cemas, saat ini ia sangat takut kehilangan putarannya. Tapi semua takdir akan ia terima bila tak sesuai harapannya, semua keadaan telah ia pasrahkan sepenuhnya.
Pada akhirnya malam ini berakhir tanpa kepastian, tapi bara kristal merah sudah dapat digunakan untuk pengorbanan pada gunung berapi Negalitipus.