Author's POV
Piraeus, 23 Februari 2011
Sepasang kaki cantik turun dari mobil. Kaki putih itu memiliki ukuran yang mungil, lain sekali dengan masyarakat Yunani pada umumnya. Tentu saja pemiliknya adalah Dasha. Beberapa pasang mata tertuju padanya. Mungkin jika orang asing melihatnya, mereka akan mengira kedatangan turis dari Jepang. Karena wajah Dasha, sama sekali tidak serupa dengan wanita Yunani kebanyakan.
Dasha berjalan memasuki gedung tinggi ini. Langkahnya terhenti di depan lift yang tertutup. Dasha menekan tombol di depannya. "Excuse me, where do you want to go?" tanya seorang lelaki berseragam Security.
"Anda pegawai baru ya disini?" Dasha meneliti wajah Security itu. Memang wajahnya nampak asing.
"Oh maaf Nona, jadi kamu orang Yunani?" gelagatnya berubah menjadi salah tingkah.
"Saya putrinya Dareus Eleanor, entah apa maksudnya si Tua itu memanggil saya kesini."
"Eh, jadi Nona ini putrinya Direktur utama?!" Tanpa menghiraukan Security yang tampak mematung itu, Dasha berjalan masuk ke dalam lift.
Pintu ruang kerja ini terbuat dari kaca, namun tak tembus pandang karena dilapisi oleh beberapa corak yang menutupinya. Tanpa mengikuti aturan "ketuk dulu sebelum masuk", Dasha langsung membuka pintu kaca itu. Terlihat sosok ayahnya yang tak muda lagi tengah duduk menatap laptop. "Langsung to the point aja, kenapa Ayah suruh Dasha kesini?"
"Kamu itu masih gak sopan ya, selalu gak ketuk pintu dulu. Duduk dulu lah, nak. Jangan terburu-buru begitu," ujar Ayah Dasha masih dengan pandangan tertuju ke laptop.
"Okay, ceritain sekarang maksud Ayah." Dasha menyeret bangku di depan meja, kemudian menjatuhkan bokongnya.
Sejenak ayah Dasha terdiam, pandangannya masih fokus pada layar laptop. Jemarinya terus mengetik dengan cepat. Setelah beberapa menit, ia menunjukkan layar laptopnya pada Dasha. "Kamu bisa lihat di sini, perusahaan cabang yang berada di Indonesia mengalami penurunan yang pesat. Dan penurunan itu tanpa alasan yang jelas," tutur Dareus.
"Mungkin promosinya kurang," jawab Dasha sekenanya.
"Perusahaan Eleanor bukan perusahaan sembarangan, produk yang kita buat pun terkenal di Indonesia."
"Terus buat apa Ayah minta aku kesini? Untuk curhat masalah pendapatan yang turun?" ujar Dasha.
"Ayah minta tolong sama kamu, tolong urus perusahaan Eleanor yang di Indonesia ya, Dasha?" Dareus berterus terang.
"Apa?! Ayah mau ngusir aku ke negara yang aku sendiri gak tau itu negara macam apa, aku gak mau!" Dasha menolak dengan tegas.
"Dasha? Kamu gak mau bantu Ayah?" Wajah Dareus seketika memelas.
"Cukup Ayah, aku gak bisa begini terus. Pokoknya, aku gak mau!" Dasha beranjak dari duduknya. Ia langsung meninggalkan ruang kerja ayahnya itu dengan menekuk wajahnya.
Dasha memilih sebuah Kafe dekat perusahaan Eleanor. Kafe ini menyajikan beberapa kopi dan dessert terkenal se-Eropa. Dasha melangkahkan kaki menuju meja pemesanan. Ia memilih sebuah frappe dan sebuah creme brulee sebagai teman setianya hari ini. Setelah pelayan menyajikan pesanan Dasha, Dasha membawa nampan berisi pesanannya itu menuju meja di luar Kafe.
Suasana damai Piraeus menyejukan mata. Mata Dasha menjelajah sekeliling, yang ia lihat hanyalah hamparan laut dengan kapal-kapal yang terparkir di dermaga. Dasha bersyukur telah lahir di kota yang setenang ini.
Berulang kali Dasha menekan tombol panggil pada kontak Callena Anandari. Namun si Pemilik kontak tak kunjung menjawab. Dasha mengerucutkan bibirnya, "Callena kemana sih? Gak tau apa, sahabatnya lagi bete gini."
Setelah hampir setengah jam duduk di Kafe, Dasha akhirnya memutuskan untuk pulang. Mungkin saja ibu Dasha mau mendengarkan ceritanya. Walaupun Dasha ragu, karena ibu Dasha—Irin Eleanor—selalu mendukung keputusan ayahnya.
Langkah Dasha seketika terhenti. Tak sengaja ia melihat sosok Callena dengan seorang pria. "Callena gak pernah cerita soal cowok yang dia suka. Tapi bakalan bagus kalau aku buntutin dia," gumam Dasha dalam hati. Dasha perlahan mengikuti langkah Callena dengan pria itu. Beberapa kali Dasha mencoba untuk melihat siapa pria yang Callena sukai, tapi tak berhasil. Karena pria itu mengenakan topi yang hampir menutupi sebagian wajahnya.
Callena dan pria itu berhenti di sebuah dermaga. Mereka tampak menikmati pemandangan laut bersama. Dasha mengendap-endap, ia bersembunyi di balik mobil yang terparkir. "Aku seneng banget deh bisa kencan sama kamu," ujar Callena sayup-sayup terdengar.
Dasha menutup mulutnya untuk menahan tawa. Ia berencana menjadikan ini bahan ejekan. "Makasih ya Neron," lanjut Callena. Sontak Dasha membulatkan matanya. Neron adalah lelaki yang Dasha cintai sejak SMA. Perlahan cairan hangat keluar dari bola mata Dasha.
***
Dasha tak hentinya memandangi salah satu pemain baseball terkenal di sekolah. Sesekali pemain baseball itu melihat kearahnya. Tapi, Dasha menyembunyikan wajahnya dengan sebuah buku. "NERON!!" Panggil gadis-gadis yang lain.
Neron cukup terkenal di sekolah. Hampir seluruh gadis mengidolakannya. Selain tampan, postur tubuh Neron juga atletis. Walaupun ia tak begitu pintar di akademik.
Setelah pertandingan selesai, Dasha diam-diam mengikuti Neron ke koridor sekolah. Merasa ada seseorang yang mengikutinya, Neron menoleh ke belakang. Namun kali ini Dasha tak lari, ia justru menghampiri Neron. "Neron, ini air untukmu." Dasha memberikan sebotol minuman untuknya.
"Makasih. Kamu manis banget," ujar Neron sembari pergi meninggalkan Dasha.
Pipi Dasha yang berkulit putih sontak memerah. Mendengar pujian yang keluar langsung dari mulut Neron membuat Dasha semakin jatuh hati. Dasha menceritakan kejadian ini pada Callena, sahabatnya. Callena mendengarkan cerita Dasha dengan seksama. "Kamu kenapa gak langsung bilang aja sih? Kalau kamu suka dia?" Callena gemas dengan tingkah Dasha yang malu-malu.
Kala itu, Callena adalah satu-satunya orang yang menjadi penyemangat Dasha. Ia selalu mendukung Dasha untuk mengejar Neron. Ia memberikan beberapa saran agar Neron bisa meliriknya.
Sayangnya, Dasha dan Neron terpisah setelah lulus sekolah. Dasha tak cukup memiliki keberanian untuk mendekati Neron. Dan Neron pun tak menoleh Dasha lagi setelah kejadian itu.
Memori pahit itu terputar begitu saja di kepala Dasha. Akhirnya Dasha memutuskan untuk keluar dari persembunyiannya. Dengan isak tangis yang tak terhentikan, Dasha berdiri tepat di belakang mereka berdua. "Callena!" panggil Dasha.
Keduanya pun menoleh, ternyata Dasha tak salah. Pria itu memang Neron, lelaki yang ia cintai. Callena terkejut setengah mati, wajahnya menjadi pucat pasi. "Dasha," Callena mencoba mendekatinya.
Sesekali Dasha menatap Neron untuk memastikan. "Kamu Dasha kan?" tanya Neron.
Dasha tak bisa mengucapkan sepatah kata pun. Callena menyentuh pundak Dasha, "aku bakalan jelasin ini ke kamu."
Dasha menyingkirkan tangan Callena dari pundaknya, kemudian ia pergi meninggalkan kedua orang itu. Langkahnya terhenti sejenak, ada kalimat yang ingin ia sampaikan.
"Kamu tau kan,Call? Aku suka sama dia dari dulu, bahkan aku mati-matian nyari alamat dia sampai sekarang. Kamu sering dengerin cerita aku tentang dia, tapi kenapa—" Dasha tak sanggup melanjutkannya. Dasha pun memilih untuk pergi tanpa melanjutkan perkataannya.
"Dasar elang yang ulung! Pengibaratan itu cocok untukmu Callena," gumam Dasha sepanjang perjalanan. Dasha tak menghiraukan setiap pasang mata yang keheranan melihatnya. Yang ia fokuskan saat ini hanyalah kembali ke kantor itu. Dasha membuka pintunya dengan cepat, "Ayah! Aku mau pergi ke Indonesia!"