Jakarta, 05 Maret 2011
Dasha menarik kedua tangannya keatas. Pinggangnya terasa sangat kaku karena terlalu lama duduk di kursi kerja ini. Ia melirik arah jarum jam di tangannya. Jarum jam itu masih menunjukkan pukul 11. Tandanya waktu istirahat masih satu jam lagi. "Hanum," panggil Dasha. Hanum yang sedang mencari berkas-berkas pun langsung menghampirinya.
"Ada apa, Dasha?" tanya Hanum.
"Aku berulang kali melihat laporan keuangan ini, aku rasa ada yang janggal." Dasha memperlihatkan laporan yang berada di laptopnya.
"Benarkah?" Hanum mengernyitkan dahi.
"Aku sudah hitung berulang kali, jumlah pemasukan keuangan dalam perincian dan jumlahnya berbeda," Dasha tampak yakin dengan argumennya.
"Benar juga ya. Kelihatannya di perincian itu pemasukan kita banyak," Hanum menyipitkan matanya untuk meneliti kebenaran data yang ia lihat.
"Kalau begitu, tolong panggilkan semua staff keuangan dan staff penjualan. Kita adakan meeting mendadak hari ini," ujar Dasha.
Melihat suasana kantor ini sangat sibuk sekali. Semua orang tak hentinya berlalu lalang dengan berkas di tangan. Semenjak Dasha menjabat di perusahaan ini, peraturannya menjadi semakin ketat. Sehingga para karyawannya tak ada waktu untuk berleha-leha.
Dasha menyeruput es teh manis miliknya. Meeting yang Dasha adakan selesai pukul 1 siang. Urusan keuangan yang super rumit itu membuat Dasha terlambat makan. Dasha duduk bersama Hanum di meja warteg. Setelah mencoba masakan Indonesia pertama kali, Dasha langsung jatuh cinta. Rasa penasaran akan cita rasa Indonesia membuat Dasha memakan berbagai macam makanan Indonesia setiap harinya.
Suasana warteg ini ramai dengan pegawai kantor Eleanor. Karena letak warteg ini tepat di belakang perusahaan. Beberapa karyawan berkelamin lelaki itu tampak melirik Dasha sesekali. Mereka keheranan dengan menu yang Dasha pesan. Seorang gadis cantik berdarah Yunani-Jepang tengah memakan jengkol dan sayur asem. Sungguh pemandangan yang langka.
Kegiatan makan mereka pun selesai. Dasha pergi untuk membayar makanan yang ia pesan. Karyawan yang masih duduk disana melongo melihat meja tempat Dasha makan. Dasha menghabiskan tiga porsi makanan sekaligus. Selain doyan jengkol, Dasha juga rakus. Hanum teringat sesuatu, ia segera menghampiri Dasha. "Sha, kamu pulang duluan aja ke kantor," ucap Hanum.
"Loh kenapa?" tanya Dasha heran.
"Aku lupa belum shalat, disini dekat sini ada mesjid. Jadi aku mau kesana dulu," jelas Hanum.
"Oh ya sudah, aku ikut." Dengan polosnya Dasha menyatakan untuk ikut.
"Haah?!" Hanum membuka mulutnya lebar-lebar. Terkejut dengan keputusan Dasha.
"Kenapa sih?" Dasha mengernyitkan dahi.
"Kamu beneran mau ikut aku? Kamu kan non-muslim." Hanum masih tak menyangka.
"Loh memangnya gak boleh kalo non-muslim pergi ke mesjid? Lagipula aku cuma mau nungguin kamu doang, males balik ke kantor sendiri," jawab Dasha acuh dan mengambil langkah duluan.
"Yah ... terserah bu Direktur saja deh," Hanum menggaruk kepalanya yang tak terasa gatal.
Dasha melepas sepatunya, kemudian ia langsung memasuki masjid tanpa menunggu Hanum yang tertinggal di belakang. Berulang kali Hanum memperingatkan Dasha untuk tidak masuk, tapi Dasha menolak. Ia memilih duduk di shaf paling belakang. Hanum dengan tenang melaksanakan ibadahnya. Sementara Dasha, sayup-sayup mengantuk karena merasa terlalu nyaman berada di tempat ini. Dasha pun menyerah pada kantuknya, lalu ia terlelap.
"Allahu akbar ..."
Dasha membuka matanya seketika. Ia terkejut karena mendengar suara itu lagi. Dasha masih bisa mendengar suara itu di dunia nyata. Ia melihat kearah laki-laki yang tengah melaksanakan shalat. Sepertinya laki-laki itu yang mengucapkan kalimat tadi. Dasha beranjak dari duduknya kemudian ia menghampiri laki-laki yang sedang shalat itu. "Maaf Tuan, kalau boleh tahu arti dari kalimat yang kamu ucapkan itu apa ya?"
Pemuda itu tak kunjung menjawab, karena ia sedang fokus dalam shalatnya. Merasa tak di hiraukan Dasha terus menerus mengulang pertanyaannya, "Tuan, tolong jawab pertanyaan saya."
Melihat majikannya membuat onar, Hanum segera menarik lengannya. Kemudian Hanum membawa Dasha keluar. "Kamu tuh kenapa sih,Num?" Dasha memberontak.
"Ya ampun, Dasha. Kamu gak boleh ngajak ngomong orang yang lagi shalat, ayo ah balik ke kantor!" Hanum geregetan dengan ulah Dasha.
Dasha pasrah ketika tangannya ditarik Hanum. Mereka pun kembali ke tempat kerja. Walaupun begitu, Dasha masih menyimpan rasa penasarannya. Kenapa kalimat yang berasal dari agama islam terus menghantui dirinya? Padahal sudah jelas-jelas kalau Dasha tak percaya agama mana pun.
Pekerjaan hari ini sangat melelahkan. Dasha kembali ke apartemen pukul 4 sore. Ia sengaja menyerahkan semua pekerjaannya pada Hanum. Dasha merasa bosan terus berada dalam suasana kantor. Dasha mengistirahatkan pundaknya pada sandaran sofa yang empuk. Kemudian lengannya mencari sebuah benda yang bisa menyalakan televisi.
Acara televisi Indonesia sangat membosankan. Karena tak ada satu pun kata yang ia mengerti. Selama Dasha tinggal di Indonesia, ia selalu menggunakan bahasa Inggris sebagai cara untuk ia berkomunikasi. Tanpa Hanum, Dasha tak bisa apa-apa. Hanum selalu menjadi translator untuk Dasha.
Dasha kemudian mengecek ponselnya. Ia membuka laman sosial media. Dasha melihat akun-akun teman lamanya, kemudian bertegur sapa disana. Salah satunya dengan Coly.
Dasha
Aku sangat rindu suasana sekolah dulu.
Coly
Btw, kamu tahu rumor yang sedang beredar gak Dasha?
Dasha
Rumor apa?
Coly
Itu loh, si Neron yang anak terkenal itu.
Dasha terdiam sejenak, sebelum membalas pesan dari Coly. Ia harap tak terjadi sesuatu yang buruk pada Neron.
Dasha
Rumor apa? Aku tidak tahu.
Coly
Masa sih? Kamu kan suka banget sama dia dulu.
Dasha
Kenapa emang? Aku tidak tahu apa-apa.
Coly
Katanya si Neron bakalan nikah sama temen kita, itu loh si Callena. Wow banget gak beritanya?
Mata indah Dasha langsung berbinar. Ia menahan bendungan air mata yang memaksa keluar. Dasha tak sanggup lagi memandang ponselnya. Kabar yang ia dengar sangat memilukan. Lelaki yang ia cintai akan menikah dengan sahabatnya sendiri.
Mendengar hal itu membuat Dasha tak bersemangat melakukan apa pun. Ia hanya termenung di balkon apartemennya. Ia memandang langit sore ini. Warnanya sudah tak biru lagi, melainkan berubah menjadi jingga.
Setelah termenung di Balkon, Dasha berpindah ke kamar. Ia mengurung dirinya sudah sekitar dua jam. Perut Dasha keroncongan, tapi ia malas bergerak. Semakin didiamkan, cacing di perut Dasha semakin memberontak. Dengan sangat terpaksa ia bergegas keluar untuk mencari makan.
Entah kenapa tubuh Dasha seperti bergerak sendiri. Ia menaiki taksi tapi ia tak tahu harus kemana. Ia hanya mengarahkan taksi itu sesuka hatinya. Hingga ia berhenti di sebuah pemukiman. Tempat ini sangat sederhana. Rumah-rumahnya pun hanya rumah biasa, bukan rumah mewah dengan desain yang klasik. Dasha melangkahkan kakinya menyusuri jalan. Langit sudah mulai memadamkan cahaya. Jalanan ini dipenuhi dengan gelap, walaupun beberapa lampu jalan menjadi satu-satunya penerangan.
"Allahu akbar ... Allahu akbar."
Dasha terkejut setengah mati mendengar suara itu. Kaki Dasha sontak berlari mengejar asal suara itu berada. Tak jauh dari tempat Dasha tadi, akhirnya ia sampai pada sebuah mesjid. Dasha memandangi menara yang menyorakkan kalimat "Allahu akbar" itu.
"Woy! Apa artinya Allahu akbar?! Kenapa menara ini meneriakan kalimat yang ada di mimpiku?!" Dasha berteriak.
Dasha terus berteriak menanyakan arti Allahu akbar tanpa henti. Hingga adzan pun selesai berkumandang. Seorang pria keluar dari dalam mesjid. Ia melihat Dasha yang sedang berteriak sembari melompat-lompat kecil.
"Pftt," pria itu menahan tawanya.
"Allahu akbar itu artinya Allah maha besar," ucap pria itu dengan bahasa Inggris.
•
•
•