Chereads / Teman dari Tuhan / Chapter 3 - 2. Hijab

Chapter 3 - 2. Hijab

Gumpalan putih yang berserakan di langit sangat menakjubkan jika dilihat dari dekat. Mereka bergerak perlahan mengikuti arah angin. Sayangnya, keindahan ini tak bisa dinikmati sepenuhnya. Karena suara bising mesin pesawat sangat mengganggu pendengaran.

Telinga Dasha mulai berdengung, terganggu dengan suara mesin ini. Ia mengambil sebuah permen yang sebelumnya diberikan pramugari. Dengan harapan, permen yang ia makan ini akan mengurangi dengung di telinganya.

Pandangan Dasha tak beralih dari jendela. Namun bola matanya seperti tak menikmati keindahan di luar sana. Tatapannya kosong. "Neron," gumam Dasha dalam hati. Sebutir air keluar dari mata indahnya. Pikiran Dasha masih tertuju pada kejadian tempo lalu.

"Ladies and gentlemen, as we start our descent, please make sure your seat backs and tray tables are in their full upright position. Also, make sure your seat belt is securely fastened and all carry-on luggage is stowed underneath the seat in front of you or in the overhead bins. Thank you." Ujar pramugari, menandakan pesawat akan segera landas.

Lamunan Dasha seketika buyar mendengar pengumuman pramugari itu. Ia langsung menegakkan kursinya yang semula setengah turun. Setelah beberapa menit, pesawat pun landas di bandara Soekarno-hatta.

Dasha menyeret kopernya masuk ke dalam bandara. Ayahnya bilang ia sudah ditunggu oleh seseorang bernama Hanum Putri. Orang itu yang akan mengurus Dasha selama Dasha tinggal di Indonesia. Sesekali Dasha menoleh ke belakang. "Neron, sekarang aku malah tambah jauh denganmu," gumam Dasha.

Banyak sekali orang berkerumun di dalam sini. Bagaimana Dasha bisa menemukan Hanum? Sementara ia saja tidak tahu wajahnya seperti apa. Dasha hanya bisa terdiam di tengah kerumunan manusia. Mereka sibuk berlalu lalang, sementara Dasha hanya bisa diam. Negeri asing memang tak mudah untuknya.

Setelah 20 menit berdiri di tengah kerumunan, ada seorang wanita cantik dengan hijab abu-abu seperti sedang bingung. Sepertinya wanita itu sedang mencari seseorang. Wanita itu membawa papan di tangannya. Dasha menyipitkan matanya, ia mencoba membaca tulisan di papan wanita itu. "Aku ... Mencari?" Tulisan itu belum terlihat jelas.

"Dasha Eleanor?" sontak Dasha membulatkan matanya. Jadi wanita itu si pemilik nama Hanum Putri. Usianya tampak muda, berbanding jauh dengan perkiraan Dasha.

"Hanum?" Dasha menghampiri wanita itu.

"Kamu Dasha, ya?" Segurat senyum menyapa Dasha.

"Iya," jawab Dasha singkat.

"Syukurlah aku menemukanmu," Hanum memperlihatkan senyum manisnya lagi. Sungguh, wanita ini sangat ramah.

***

Gedung pencakar langit sudah terlihat jelas di depan mata. Dasha mendongakkan kepalanya untuk mengukur seberapa tinggi apartemen ini. Dasha sudah menduga, pasti ayahnya akan memberikan fasilitas yang mewah. Buktinya saja, apartemen ini sudah terlihat elite walaupun hanya dengan menatap luarnya.

Kini tubuh mungil Dasha sudah menginjak lantai 23. Mata Dasha menjelajah sekitar. Apart ini terlihat sepi. Selesai sudah Hanum membuka pintu, kemudian ia mempersilahkan Dasha masuk. Dasha terkesima melihat ruangan yang akan ia tinggali ini. Semua furniture-nya seperti harapan Dasha, simpel namun klasik.

Hanum tampak sibuk menyajikan makanan di meja. Berbagai hidangan khas Eropa berjejer disana. Semua itu hasil tangan Hanum sendiri. Harum masakan Hanum menggoda indra penciuman Dasha. Hingga membuatnya menoleh ke meja makan. "Nona Dasha, makanannya sudah siap," ujar Hanum.

Dasha pun beranjak dari duduknya. Ia berjalan menghampiri meja makan yang tak jauh dari tempatnya. Mungkin sekitar 8 langkah. Dasha kemudian menarik salah satu bangku dan menjatuhkan bokongnya di sana. "Maaf ya, Nona. Saya baru belajar masak masakan Eropa. Saya khawatir kalau saya masak makanan Indonesia, tidak sesuai dengan selera Nona," jelas Hanum dengan penuh sopan santun, walaupun tampaknya Hanum sedikit lebih tua dari Dasha.

"Oh ya, gak apa-apa. Jangan terlalu formal, kita ini kawan serumah 'kan?" Ucap Dasha.

"Maaf Nona, saya agak sungkan." Hanum menarik bangku di sebrang Dasha, kemudian mendudukinya.

"Jangan panggil Nona, suasananya jadi kaku kalau kamu begitu. Panggil saja aku Dasha." Dasha mencicipi foie gras buatan Hanum.

"Baiklah, Dasha."

"Ini foie gras 'kan?" Dasha kebingungan. Karena hidangan ini sangat langka di negara lain. Restoran di Yunani saja tak banyak yang menjual foie gras.

"Iya, Dasha. Bagaimana? Enak tidak?" Mata Hanum sedikit berbinar, berharap rasa masakannya tak terlalu buruk.

"Ini enak, itu makanan apa?" Dasha menatap pada piring di hadapan Hanum.

"Oh ini namanya nasi goreng khas Indonesi, aku memasaknya karena aku kurang suka masakan Eropa," jelas Hanum.

"Boleh aku mencicipinya? Jujur saja aku penasaran dengan masakan Indonesia," pinta Dasha.

"Silahkan saja, Dasha."

Dasha mengambil seujung sendok nasi goreng milik Hanum. Mulut mungil Dasha terbuka untuk menyambut kelezatan masakan khas Indonesia. Mata Dasha berbinar, masakan ini terasa sangat lezat. Dengan paduan rempah-rempah yang pas. Bagaikan menari-nari di lidah Dasha. "Ini enak banget! Boleh tidak aku minta kau memasak makanan ini untukku?"

Hanum pun tersenyum puas. Ia beranjak dari duduknya, lalu kembali ke dapur untuk memasak permintaan Dasha.

Di tengah kegiatan mengisi perut, Dasha terus melirik ke arah hijab Hanum. "Eh, Hanum. Kenapa kau menutup rambutmu dengan kain? Apa style ini cukup populer di Indonesia?" Rasa penasaran Dasha sudah tak terbendung lagi.

"Ini bukan style, Dasha. Ini adalah kewajibanku sebagai seorang muslim," jelas Hanum.

"Muslim? Apa itu?" Dasha mengernyitkan dahi.

"Muslim itu sebuah agama, memangnya di negaramu tidak ada agama muslim?" Tanya Hanum.

"Entah, aku hanya tahu agama kristen, islam, hindu, budha, dan konghucu," jawab Dasha dengan wajah polosnya.

"Pfttt, " Hanum menahan tawa.

"Loh kenapa?" Dasha menaikkan alisnya.

"Muslim itu islam, Dasha."

"Oh, aku tidak tahu," Dasha menggaruk kepalanya yang tak terasa gatal.

Rasa penasaran Dasha sedikit reda. Namun kini, rasa penasaran Hanum yang bangkit. Kira-kira apa agama yang Dasha anut? Hanum berulang kali memikirkan rangkaian kata yang sopan untuk menanyakannya, agar Dasha tidak tersinggung. Setelah diam cukup lama, akhirnya Hanum memutuskan untuk memberanikan diri, "ehm Dasha, kalau boleh tahu ... "

Dasha merubah arah pandangannya, kini pandangannya tertuju pada wajah Hanum. "Agama yang kamu anut, agama apa?" lanjut Hanum.

"Oh, aku tak percaya agama manapun," jawab Dasha singkat.

***

Callena tak hentinya memandang punggung Neron. Matanya yang sendu menandakan ia tengah dilanda kesedihan. Neron sama sekali tak memulai pembicaraan. Mereka hanya saling diam dengan posisi masing-masing. "Ehmm, Neron." Callena membuka pembicaraan.

Neron pun hanya menolehkan kepalanya ke belakang. "Aku sudah mencari Dasha kemana-mana," lanjutnya dengan nada bergetar.

"Aku tahu dia sahabatmu. lagi pula keputusanmu itu baik," jawab Neron berusaha menenangkan.

"Maafkan aku, aku tak menyangka ia akan pergi sejauh itu." Callena menutup mulutnya dengan tangis yang sudah tak terbendung.

°

°

°