Tepat pukul 20.00 kami tiba di apartement, Istanbul malam itu begitu dingin, salju mulai turun.
Kami bergegas masuk untuk menghangatkan badan, karena aku sudah sangat mengigil, Deniz mengaktifkan pemanas di setiap sudut ruangan, membuatkan makan malam untukku dan menyeduhkanku teh apel.
Aku membiarkannya melayaniku seperti seorang ratu...
egois?
tidak juga...
kondisi fisikku dalam keadaan drop.
Deniz pulang sebentar ke apartement nya yang berada satu lantai dibawah apartement ku dan kembali dalam dua puluh menit. Raut wajah cemas Deniz terlihat sepanjang hari.
Sebagai wanita tropis, tentu saja aku tidak terbiasa dengan cuaca musim dingin, ketika cuaca turun hingga nol derajat celcius atau minus, aku pasti akan sangat menderita jika berada diluar rumah.
Dua hari kuhabiskan waktu dengan mengurung diri di dalam apartemen, memulihkan tenagaku dari perjalanan darat yang panjang, lagipula cuaca Istanbul menjadi kurang baik, salju tebal dimana mana, menyelimuti atap atap rumah, atap atap mobil- pemandangan yang bisa dilihat setiap kali membuka jendela atau berada di balkon.
Deniz melarangku keluar rumah di kala cuaca buruk, katanya akan sangat berbahaya, dan mudah tergelincir, mengingat salju tebal yang membeku membuat jalan menjadi sangat licin.
Deniz terkadang terlalu over protektif, jika kita flashback kebelakang , aku baru menyadari , tidak pernah sekalipun aku keluar seorang diri, selalu saja ada Deniz disitu sejak pertama kali tiba di kota ini.
Selain itu Deniz tipikal cowok pencemburu, ada saat dimana beberapa kali pegawai butik pria berkomunikasi denganku, atau seseorang menanyakan sesuatu kepadaku, Deniz selalu mengambil alih pembicaraan.
Dia bahkan menunjukan sikap kurang senang jika ada seseorang terlalu lama menatapku.
Tiga hari sebelum jadwal keberangkatanku menuju Indonesia, Deniz sudah menyiapkan tiket dan segala kebutuhan kembali termasuk tiket kembali ke Istanbul, serta beberapa dokumen dan formulir yang harus kubawa demi keperluan pernikahan nanti.
Tak lupa aku mengirim pesan kepada Natalie tentang rencana pernikahan nanti, Natalie begitu histeris dan girang mendengar kabar terakhirku. Segala sesuatu tentang rencana pernikahan sudah tertata rapi.
Aku tidak sabar untuk pulang tapi begitu takut untuk rindu, aku takut merindukan Deniz.
-
Aku menghirup Cay - teh panas khas Turki dengan aroma kuat yang berasal dari laut hitam, Deniz menjelaskan asal muasal teh kepadaku di deck atas Bosphorus Cruise yang membawa kami menjelajah selat Bosphorus di malam hari.
Deniz dengan setia disampingku sambil menikmati Hookah atau biasa kita sebut Sisha.
Di kursi sebelah, terlihat dua pelancong eropa sedang bercakap cakap serius menyebut Saint Petersburg berulang ulang.
Ada apa dengan Saint Petersburg?
Dari dalam kapal terdengar sayup sayup musik tarian Sema atau dalam bahasa Inggris dikenal Whirling Dervishes yang dipopulerkan oleh tokoh sufi tersohor 'Jalaluddin Rumi' di abad ke 13.
Tarian Sema dipopulerkan di kota Konya, Turki.
Kota dimana Mawlana Jalaluddin Rumi memulai ajarannya. Di kota Konya pulalah Thariqat Mawlana berkembang. Jalaluddin Rumi mendapatkan nama 'Rumi' dari kota ini, yang dulunya bernama 'Rum' atau 'Rome'.
Jalaluddin Rumi adalah penyair - Sufi agung asal Persia. Bagian ini aku mengetahuinya dengan baik, sejak SMP aku adalah pengagum literature puisi, novel dan karya sastra, sedikit banyak aku tahu tentang Rumi.
Aku mengintip ke kaca jendela terdekat menyaksikan para penari terus berputar mengikuti alunan musik, dimana semakin lama, putaran itu kian cepat dan panjang. Tarian memiliki makna berdasar atas pandangan bahwa kondisi dasar semua yang ada di dunia ini adalah berputar.
Prosesi Sema menggambarkan perjalanan spiritual manusia dengan menggunakan akal dan cinta dalam menggapai 'kesempurnaan' iman, menemukan tujuan hidup yang hakiki, yaitu mencari Tuhan.
Tarian ini membutuhkan fisik yang kuat, karena bisa berputar putar hingga berjam jam.
Aku membayangkan betapa sedihnya 'Rumi' kala itu, ketika ia kehilangan guru spiritualnya, Rumi mampu berputar selama tiga hari tiga malam.
Saat berputar Rumi menanggalkan semua rasa duniawi dan emosinya, dan berfokus pada kerinduan dan kecintaannya yang sangat besar pada sang Pencipta.
Suasana begitu dingin dan syahdu, berpadu dengan pemandangan istana kuno dan rumah rumah mewah.
Bosphorus Cruise membawa kami menjelajah selat Bosphorus yang membelah Turki bagian Eropa dan Asia. Selat sepanjang tiga puluh dua kilo meter ini menghubungkan laut Marmara dan laut hitam.
Selalu saja ada dendang musik yang terdengar sayup sayup menjadi background kota ini, membuat seluruh panca indera ku dalam keadaan aktif.
Udaranya, aroma khas kota dan asap rokok air beraroma buah dari pembakaran sisha yang selalu ada di setiap sudut kota, musik khas turkey.
Perjalanan cruise melewati istana Dolmabahce yang mewah, masjid Ortokay yang anggun dengan arsitektur Neo Baroque, benteng Rumeli Hisari yang berdiri kokoh seolah menjaga selat Bosphorus dan jembatan Bosphorus yang menghubungkan dua benua asia dan eropa, dengan siraman cahaya lampu berwarna jingga yang membuat penumpang terpana.
"Turki memang awesome" sahutku dengan wajah penuh kekaguman, tak bosan bosannya aku memandang lampi lampu kota yang berkelip berwarna warni.
"Bagaimana denganku ? Apakah aku juga awesome atau handsome?" canda Deniz tertawa kecil.
"Not Really," ledek ku balik.
Manusia ini terkadang suka over percaya diri denganku. Apa karena aku dengan mudah dia dapatkan?
hmmm...
Deniz tertawa terbahak bahak, "Aku harap Turki mampu mencuri hatimu, dan membawakanya padaku. "
"ah Deniz, kenapa kamu selalu terdengar murahan." ledekku sambil tertawa.
Deniz menatapku lurus dan tajam, mimiknya berubah serius, alisnya mengerut dan nampak memelas.
"Ada apa?" sambil mengalihkan pandanganku ke arah belakang Deniz. Hingga hari ini aku masih kalah, dan tidak mampu membalas tatapan tajam.
Aku takut jantungku bolong nantinya. Aku memang pengecut, tidak pede,dan grogian.
"Aku tidak ingin ditinggal olehmu." sahut Deniz dengan suara parau.
Aku meraih tangan Deniz, mengengamnya dan mendekatkan badan ke depan meja Deniz dan berbisik,
"Aku hanya pergi sebentar, aku akan kembali. Kamu harus jadi anak manis selama aku pergi, jangan nakal ya."
Deniz tersipu malu dan terlihat senang.
Obrolan kita terhenti sebelum Deniz mulai berbicara , seorang pelayan datang memotong percakapan untuk menggantikan flavour sisha dan menawarkan menganti teh yang sudah dingin.
-
Pagi hari yang cerah di Istanbul , setelah beberapa hari terakhir- Istanbul nampak suram dan dingin, hari ini aku akan balik ke Jakarta, dan meneruskan perjalanan ke kota selanjutnya Manado.
Deniz sudah duduk manis di meja makan ketika aku bangun, lengkap dengan sarapan, dan sebuah kotak terbungkus rapi.
"morning baby." sapa Deniz sambil bangkit berdiri, mendekat dan mencium pipiku.
"pagi ... wow... apa ini?" terbelalak dan memegang kotak putih di atas meja.
"Sedikit buah tangan untuk kamu bawa pulang, dengan catatan, kamu hanya bisa membukanya ketika kamu sampai di Jakarta." sambil tersenyum dan membukakan kursi untukku duduk.
"oh okay, kotak rahasia. Akan ku laksanakan sesuai petunjuk, Tuan." sakutku sedikit meledek.
Ada rasa sedih dipojok hati, melihat Deniz berusaha menyembunyikan sedih karena aku pulang tanpanya.
Nyaris sebulan bersama tanpa pernah terpisahkan pasti berat untuk kami.
Aku bisa merasakan ketulusan Deniz, aku memeluk Deniz erat, sambil berbisik,
"Aku akan merindukan aroma parfummu." bisikku pelan.
Deniz diam tak membalas, nampak kegelisahan dimatanya dan tidak rela melepaskan aku pergi.
-
Aku merapikan posisi dudukku dalam pesawat yang membawaku pergi meninggalkan Istambul , menghirup nafas dalam dalam, menatap awan kelabu yang berarak beriringan, tak lupa meninggalkan pesan whatsapp untuk Deniz sebelum aku beristirahat,
Jade
[ Dear my future husband deniz, thanks for 'Laughter' we had along the way, for 'Optimism' you gave me every day, for 'Value' of being by besty & for 'Eternity' a love that has no end.]
🤫🤫🤫