Chereads / NIKAH KARENA TERPAKSA / Chapter 3 - BAB III DIA

Chapter 3 - BAB III DIA

Bu Haji Asnah dan mamak pun berangkat ke rumaha sakit naik mobil, sedangkan aku menegekori mereka naik motor butut. Awalnya aku sudah di tawari naik mobil, berhubung aku malas mesti bolak-balik menjemput motor maka akupun memberanikan diri melawan angin malam menggunakan motor yang ketika itu aku masih menggunakan seragam latihan karate ku.

Sesampainya di rumah sakit, bu Haji Asnah langsung menemui dokter yang menangani abak di rumah sakit. Bu Haji Asnah termasuk saudagar kaya yang disegani di kampung ku. Setelah berbicara dengan dokter, Abak langsung masuk ruang operasi untuk pemasangan ring jantung.

Aku, mamak, dan bu Haji Asnah yang menunggu di rumah sakit sedangkan bang Irham sudah kami suruh pulang sambil kami minta tolong untuk menjaga Redo dan Febri.

Keesokan harinya, aku masih menemani bapak yang masih belum sadar selepas operasi. Mamak dan bu Haji Asnah sudah pulang, aku meminta mamak pulang untuk istirahat biar bisa gantian nanti siang dengan ku. Hari ini aku terpaksa tidak masuk kerja, padahal hari ini baru hari kedua masa percobaan ku. Tapi, ya sudah lah.. Abak lebih penting, biarlah nantinya aku akan menerima resiko dari bos ku.

Tak terasa air mata jatuh dari pelupuk mata ku ketika mengingat kejadian di rumah bu Haji Asnah.

Flashback on

"Apa yang sudah kau ucapkan Alya, maka tak bisa kau tarik kembali" ucap buk haji Asnah.

"Baiklah, InsyaAllah saya siap. Apapun akan saya lakukan demi abak." Ucapku sambil menangis, menangisi keadaan ku. Habis sudah impian ku. Aku hancur, masa depan ku pupus. Bekerja di kantoran, mengubah nasib. Hilang...hilang sudah. Tuhan, apakah ini jalan terbaik untuk kami semua? Kenapa aku yang hatus berkorban? Masih adakah kebahagiaan untuk ku. Aku lelah..

"Anak ku seorang dokter di Kota Padang, ia berumur tiga puluh dua tahun. Tapi juga mempunyai bisnis properti di sana. Untuk hidup mu, tak usah kau risaukan. Aku dan anak ku akan menjaga mu"

"A...aappa... ti..ti..tiga puluh dua tahun." Ucapku terkejut, di karenakan umur ku saja baru empat bulan yang lalu memasuki umur tujuh belas tahun. Tiga puluh dua tahun adalah usia yang sangat jauh terpaut dengan ku. Berarti dia lebih tua lima belas tahun dengan ku. Jika jadi menikah, dengan panggilan apa yang pantas untuk nya?

" Ya, tiga puluh tahun. Dia anak sulung ku, sampai sekarang ia belum menikah. Tak perlu ku sebutkan kenapa ia belum menikah, nanti kau akan tau sendiri. Bagaimana alya?"

Ya Tuhan, apa yang harus ku jawab. Aku sudah terlanjur menyetujui, mau tak mau terpaksa ku jawab ia kembali.

"Hm....." Ku tarik napas panjang dan dalam.

"Bismillahhirahmanirrahim. InsyaAllah saya siap. Asal abak bisa segera di operasi.

Flasback off

Aku menangis sambil memegang tangan abak.

"Alya ikhlas bak, asal abak bisa sehat kembali. Alya tak sanggup jika kehilangan abak dan mamak, biarlah sekali ini Alya berkorban untuk kebahagiaan kita semua. Semoga akan ada kebahagiaan untuk Alya nantinya." Ku cium penuh haru tangan abak. Selamat tinggal impian ku, semoga kau berlabuh kepada orang yang mempunyai cita-cita yang sama dengan ku.

Dua minggu setelah abak operasi, kondisi abak sudah mulai agak membaik dan abak juga sudah d i rumah bersama kami. Aku pun merasa senang, walaupun aku tak tahu sampai kapan kebahagiaan ku ini.

"Hari ini dan besok mamak tak jualan Alya." Ucap mamak sambil mendirikan sapu yang terjatuh.

" Kenapa mak?"

Mamak hanya terdiam, seperti ragu untuk menjawab.

" Alya...mamak tak tau apakah ini kabar baik atau buruk, tapi besok siang bu Haji Asnah akan datang untuk melamar mu."

Prankkkk...gelas yang ku pegang terjatuh.

"Tapi, besok siang pengumuman kelulusan Alya mak."

"Bersihkan dulu, yang kamu jatuhkan itu nak." Ucap mamak sambil menunjuk gelas yang ku jatuhkan, sambil berjalan menuju ruang tamu.

Segera aku bergegas membersihkan gelas yang tak sengaja ku pecahkan tadi, ku lap kembali tumpahan air bekas gelas minum ku tadi. Setelah itu kususul mamak ke ruang tamu.

" Kenapa mesti besok mak? Besok Alya mesti ke sekolah mak, Alya harus lihat apakah Alya lulus atau tidak. Tolong lah mak." Ucapku memohon.

"Kamu harus menerimanya nak, bukan kamu yang menyetujui?"

"Ya, tapi bukan berarti besokkan."

"Kita tidak bisa menolak nak, nanti tanya saja sama teman mu. Sudah jangan membantah lagi."

Sekali lagi aku hanya bisa menangis, meratapi nasib ku. Ingin marah, ingin berteriak, ingin ku keluarkan semua kekesalan di hati ku. Tapi apa daya aku telah berjanji, aku telah terikat. Aku menyerah.

Hari ini aku dan mamak membersihkan rumah dan mulai memasak rendang untuk acara besok dengan hati yang sulit untuk aku ungkapkan.

Keesokan harinya setelah sholat ashar hati ku mulai cemas, jantung ku berdebar kencang seolah aku sedang dalam acara lari marathon.

Seperti apakah kehidupan ku kedepannya? Seperti apa wajah calon suami ku? Seperti apa perilakunya? Tapi kemudian aku ingat, oh..ya dia dokter...dia dokter...jangan lupa dia dokter. Ucapku dalam batin sambil meremas jari- jari ku. Hari ini aku hanya tampil sederhana dengan gamis dongker motif bunga kecil marna merah muda dan jilbab warna merah muda.

Tak lama kemudian tiga buah mobil datang kerumah kami, yang aku yakin tidak akan mungkin seluruh tamu bisa masuk kerumah kami karena rumah kami seperti rumah type 36.

Aku langsung berlari dan masuk ke kamar, hanya do'a yang selalu ku panjatkan. Ingin ku do'akan saja pernikahan ini batal, tapi aku mengingat janji ku.

Tuuuuuuhhaaaannnn tolong aku, tolong tunjukkan kuasa dan kasih sayang mu ke pada ku, ucap batinku dengan mata yang mulai berkaca-kaca.

"Assalamu'alaikum." Terdengar suara dari pintu luar

"Wa'alaikumsalam." Jawab abak, suara yang ku dengar dengan posisiku masih di dalam kamar.

Aku takut, aku tak ingin mendengar apa yang mereka ucapkan di luar. Aku menutup mata ku dan menutup telinga ku dengan bantal.

Tak terasa sudah sekitar empat puluh lima menit pembicaraan di luar, tiba-tiba pintu kamar ku di ketuk dan di buka.

Cekleeekk...

"Alya, ayo keluar." Ucap mamak

"Iii...ia mak. " ucap ku sambil memperbaiki jilbab ku.

Aku hanya menundukkan wajah ku ketika keluar dari kamar, yang kulihat sudah banyak orang dan sebagian tamu duduk di luar.

"Alya duduk lah di samping abak". Ucap abak.

Aku pun menuruti permintaan ayah ku, aku duduk di samping abak masih dalam keadaan menunduk tanpa memperhatikan wajah orang-orang di sekitar ku. Aku takut..

"Ini kenal kan Arfan calon suami mu nak." Ucap abak.

Dengan ragu-ragu aku mengangkat wajah ku. Tanpa ku sadari mulut ku sedikit menganga, ya Tuhaaaann..

Wajahnya ganteng, berwibawa kulitnya sawo matang. Tak tampak ia tua, malah ku rasa....ah...aku terpesona...

"Alya." Ucap bapak memegang pundak ku

"Egheemmm..."ucap wajah tampan di depan ku.

"Iiiii...ia bak"

"Angkat tangan kanan mu, nak Arfan akan memasangkan cincin pada jari manis mu." Ucap abak.

Iiiiii...ia bak."

Demi apa pun, hari ini aku terlihat bagai orang bodoh yang kehilangan kata-kata. Tuhan memang adil, ucap batin ku. Terimakasih Tuhan, aku maauuuuu. Tanpa kusadari aku pun mengembangkan senyum ku sambil mengangkat tangan kanan ku.

Tapi wajah yang duduk di depan ku hanya memasang wajah yang kaku. Apa dia tak ingin menikah dengan ku? Apa dia tak bisa tersenyum? Kenapa wajahnya datar? Aku yakin dia juga dipaksa kedua orang tuanya untuk menikah dengan ku. Huft....

"Sekarang giliran mu Alya, pasangkan cicncin di jari manis nak Arfan. " ucap bu Haji Asnah.

Aku pun memasangkan cincin padanya. Ketika aku memasangkan cicncin yang kurasa tangan itu tegang, seolah tak menerima. Berbeda sekali dengan ku.

"Nah...acara lamaran sudah selesai. Maka dua minggu lagi kita akan melangsungkan acara pernikahan ini. Mulai besok kedua calon pengantin harus mengurus segala macam surat-surat yang akan di perlukan untuk pernikahan". Ucap bu Haji Asnah.

"Du...du...dua minggu lagi buk aji?" Ucap ku

"Ia nak Alya. Dan satu lagi jangan panggil saya buk aji lagi, mulai sekarang panggil saya mama"

" Ia..buk a...eh...mama"