#Dia_Pilihan_Ku
Part 9
Padang
Huft, perjalanan ini terasa sangat melelahkan. Jarang sekali kami berbicara. Om hanya berbicara ketika ia akan makan dan ke kamar mandi. Suasana agak mencair ketika kami melewati kota Pekanbaru, karena aku begitu terpana dengan ramainya suasana di Pekanbaru. Aku hanya bisa mengagumi ibukota Provinsi Riau tersebut.
"Ini baru Pekanbaru, bagaimana nanti kalo kamu saya ajak ke Jakarta," ujar Om Arfan.
"Ya maklum lah Om, saya kan gak pernah keluar dari Tembilahan, saya norak ya Om" ucapku.
"Gak, cuma agak kampungan," ucapnya.
"Kemaren waktu ke Tembilahan Om sama di mobil ini?" ucapku sekedar bertanya untuk berbasa-basi.
"Kenapa?"
"Gak kenapa-kenapa kok Om, cuma mau tanya aja. Kalo Om gak mo jawab ya gak pa-pa. Alya gak maksa," ucapku sambil memejamkan mata.
"Hei, siapa yang suruh kamu tidur?" ucapnya nya sambil mengguncang pundak sebelah kananku.
"Siapa yang mau tidur Om, cuma mau memejamkan mata sebentar, soalnya mata Alya sepertinya sudah lima watt," ucapku sambil mengucek mataku.
"Jangan tidur, nanti saya ngantuk. Nanti saja tidurnya kalo saya juga sudah ngantuk," ucapnya.
"Kalo cuma diem aja, Alya juga ngantuk Om," ujarku.
"Ya udah, silahkan mau tanya apa. Nanti kalo bisa dan tidak memberatkan saya maka akan saya jawab," ucapnya sambil memandangku dengan tatapan yang tidak bisa ku artikan.
"Euuuuhhh ... tadi Alya tanya gak dijawab, sekarang malah di suruh nanya, Om nya pikun nih," ucapku tersenyum.
"Terserah kamulah."
"Ya udah jawab pertanyaan Alya dulu, Om kemaren sama siapa ke Tembilahan?"
"Oo ... itu, kemaren sama keluarga dari Padang, kebetulan mereka ikut sama saya dan pulang duluan setelah pesta pernikahan," jawabnya.
Banyak pertanyaan yang terlontar dari mulutku, dan Om Arfan menjawab semua pertanyaanku. Suasana yang dingin itu telah mencair, entah hal ini di karenakan perjalanan ini saja atau mungkinkah hal ini akan berlanjut?
Sesekali aku ikut menyanyikan lagu yang ku dengar di dalam mobil. Eits, jangan lupa walaupun suasananya normal, tapi senyuman itu tak pernah ku lihat. Entah kapan aku bisa melihat Om Arfan tersenyum ke padaku, hanya Tuhanlah yang tau.
Begitu memasuki Provinsi Sumatera Barat, suasana terasa agak sejuk. Kami melewati Kelok Sembilan, jembatan kokoh yang berkelok-kelok dan terbuat dari beton.
"Waaaaah ... tinggi sekali Om, bagusnya. Coba kalo siang Alya pasti udah minta turun untuk ngelihat pemandandangan. Hm ... sayangnya hari udah malam," ucapku memasang muka cemberut.
"Ya udah ayo turun," ucapnya sambil menepikan mobil.
"Serius Om, yeay!" ucapku kegirangan.
Malam itu kami menikmati suasana Kelok Sembilan sambil mengistirahatkan badan dan berencana sekedar menikmati jagung bakar. Karena sedang menikmati suasana, aku tak terlalu mendengarkan si penjual memanggilku dan memberikan jagung bakarnya padaku. Tentu saja karena aku tak terlalu fokus, aku malah memegang bagian jagung bakar yang panas.
"Auuuu!" ucapku menjerit dan menjatuhkan jagung bakar tersebut.
"Kenapa Alya?" ucapnya memegang tanganku.
"Jari Alya terkena panas jagung bakar Om," ucapku sambil melihatkan telapak tanganku.
Segera Om Arfan mengambil air botol mineral dan menyiramkannya padaku, kemudian mengelap dan mengolesi salap yang ada di dalam mobil pada telapak tangan kananku. Setelah itu Om Arfan meniup-niup tanganku. Aku merasa seperti terbang ke angkasa karena perlakuan manisnya. Sekali lagi wajahku terasa memanas, dan aku yakin sekarang wajahku kembali berwarna merah.
"Makanya hati-hati. Mau pesan lagi atau enggak, " ucapnya sambil meniup telapak tanganku.
"Ondeh, yo sabana romantis suami Uni yo. Elok bana ko a," ucap si penjual.
Aku hanya tersipu malu mndengar ucapan yang mengatakan bahwa suami sangat romantis dan baik banget. Walaupun kami tinggal di Tembilahan tapi kadang Mamak dan Abak masih menggunakan bahasa minang, jadi walaupun kami anak-anaknya tidak bisa berbahasa minang dengan lancar tapi paham dengan apa yang diucapkan orang.
"Ya, makasih buk. Saya pesan satu lagi jagung bakarnya ya buk," ucapku sambil tersenyum.
Setelah selesai menikmati jagung bakar, kami melajutkan perjalanan.
"Om, kita udah sampai mana ni? Ini udah jam 10:00. Berarti sebentar lagi kita sampai Padang dong. Yeay!" ucapku kegirangan.
"Ini masih di Bukittinggi dan kita agak molor waktunya, karena tadi di perjalanan ramai, kita berhenti makan dan sebagainya," ucap Om Arfan.
"Ooo ... begitu ya? Berarti masih lama dong kita sampainya Om? Eh, ia kalo gak salah ... di Bukittinggi ada Jam Gadang ya Om?"
"Agak dua jam lagi lah kita sampai. Nanti saya ajak lewat Bukittinggi. Eh, ia Om lupa kalau di Sumatera Barat apa lagi sama orang yang baru dikenal jangan bilang aku, kau, ang dan den ya. Dan jangan menunjuk barang atau orang dengan tangan kiri. Di sini hal tersebut tidak sopan," ucap Om Arfan menjelaskan padaku.
"Ooo ... gitu ya Om, Insya Allah akan Alya ingat," jawabku.
**********
"Wahh, Om bagus banget Jam Gadangnya. Lampu nya warna-warni, cerah dan terang banget. Besok-besok bawa Alya jalan-jalan ke sini ya Om, " ucapku.
"Hm ..." jawab Om Arfan
" Maaf Om, Alya lancang ya? Alya bukan bermaksud seperti itu kok Om. Maklum Alya belum pernah jalan-jalan. Keseharian Alya di rumah, sekolah, pasar dan tempat latihan karate," ucapku sambil menunduk dan Om Arfan tidak menjawab sama sekali.
Kemudian kami hanya kembali terdiam, lagi pula mataku pun sudah mulai sangat mengantuk, tanpa sadar aku tertidur.
"Al, bangun kita sudah sampai," ucap Om Arfan sambil mengguncang bahuku.
"Hm ...eungh ... dah sampe ya Om, maaf Alya tadi ketiduran, " ucapku sambil mengucek mata.
"Ya udah, ayo turun!" ucapnya sambil membuka pintu mobil di sampingnya.
Sesaat yang ku rasakan ketika turun di mobil adalah udara panas laut, kemudian aku melihat ke arah rumah Om Arfan, rumahnya bercat abu-abu tipe minimalis tapi berlantai dua. Kemudian kami di sambut oleh wanita yang seumuran Mamak, dan seorang pria seumuran dengan Bang Irham yang ku dengar dari Om Arfan ketika ia memanggil namanya, wanita itu bernama Tek Upik dan pria itu bernama Yunus. Tek Upik adalah asisten rumah dan Yunus adalah supir pribadi om Arfan sekaligus anak dari Tek Upik.
Ketika masuk aku di sambut hangat oleh mereka. Walapun agak canggung aku langsung bisa sekedar bercengkrama dengan Tek Upik.
"Kami di sini tinggal bertiga, kamar Pak Arfan dan Ibuk di atas, kamar saya dan Yunus ada di belakang, kalo Ibuk ada perlu bisa panggil Etek," kata Tek upik.
"Aduh, jangan panggil Ibuklah, kesannya Alya tua banget Tek," ucapku.
"Tapi kan, ibuk nyonya di rumah ini," ucap Tek Upik.
"Panggil Alya ajalah ya Tek, biar cepat akrab," ucapku sambil menguap.
"Masuklah ke kamar lagi Buk, sepertinya Pak Arfan sudah duluan masuk tadi," ucap Tek Upik.
"Ia Tek, Alya juga udah ngantuk banget. Alya ke kamar dulu ya," ucapku.
"Ia buk, di lantai atas pintu warna kuning," ucap Tek Upik.
"Alya, jangan Ibuk ... Huft," ucapku sambil berlalu.
Aku naik ke lantai dua dan mulai mencari pintu warna kuning.
Ceklekkk...
"Bisa ketuk dulu gak sih," ucap Om Arfan yang sedang memakai baju.
"Haaah!" ucapku dengan mulut menganga, terpesona ketika melihat tibuh atletis Om Arfan.
"Udah puas melihatnya? Sekarang pergi lah ke kamar mandi dan bersihkan dirimu lalu tidur" ucap Om Arfan kembali dingin.
"Iii ... ia Om," ucapku menuju kamar mandi.
******