Suara Azan subuh membangunkanku, segera aku bangun untuk membersihkan diri, dan melaksanakan sholat subuh. Setelah selesai kubangunkan Om Arfan, kemudian aku turun untuk membantu Tek Upik.
"Eh, Ibuk sudah bangun. Mau Etek buatkan teh, susu atau kopi?" Ucap Tek Upik ketika melihatku menuruni tangga.
"Gak usah Tek, Alya bisa sendiri. Dan Alya harap jangan panggil Ibuk. Pliiiis!"
"Kalo Non Alya gimana? Gak mungkinlah Etek, memanggil nama saja, ndak enak perasaan Etek mengucapkannya. Lagi pula apa kata orang nanti," ucap Etek sambil menyapu.
" Ya udah terserah Etek sajalah, yang jelas jangan panggil Ibuk, soalnya umur Alya aja baru tujuh belah tahun lewat empat bulan. Ok Tek!" Ucapku sambil mengambil teh dan gula.
"Ia Bu ... eh, Non Alya," ucap Tek Upik.
"Tek, biasa Om Arfan bangun dan sarapan jam berapa?" Ucapku sambil mengaduk teh yang sudah ku buat.
"Om? Kok manggil Om sih? Seharusnya Uda atau Abang atau sayang, ha ... ha ... ha,"
"Ish," ucapku sambil mencebik.
"Kok ish, sih Non. Gak boleh gitu. Kita itu harus menghormati suami kita,"
"Kan Om jauuuuuuuuuuh banget umurnya sama Alya, lagi pula panggilan Om itu udah panggilan kesayangan yang udah Alya stempel dalam hati Alya, jadi gak bisa diganggu gugat, titik ... gak pake koma," ucapku sambil duduk di meja makan.
"Ha ... ha ... ha, Non Alya ada-ada aja," ucap Tek Upik sambil mengelap piring di dapur.
"Hm ... jadi Om Arfan jam berapa bangunnya Tek?
"Memang Bapak belum bangun Non?"
"Udah sih," ucapku tersenyum.
"Bapak bangun pas sholat subuh, kadang Bapak tidur lagi, kadang Bapak langsung joging kalo nggak langsung nonton Tv," ucap Tek Upik.
"Kalo sarapannya gimana?" Sambil meminum tehku.
"Bapak kalo udah turun, minum teh dulu, gulanya sedikit. Bapak gak suka kopi dan gak suka manis. Nah, untuk sarapan biasa Bapak jam 07:00 sebelum berangkat ke Rumah Sakit. Sarapan apa aja yang Etek sediakan pasti di makan. Baik itu nasi goreng atau roti tawar. Bapak gak pilih-pilih soal makanan. Dan satu lagi Bapak suka pedes," ucap Tek Upik menjelaskan.
"Widiiiih, lengkap banget Tek," ucapku mengacungkan jempol.
"Ya ialah, Etek tu lah kenal sama Bapak dari Bapak SD. Dulu Etek kerja di rumah Mak Uo (panggilan untuk Kakak dari orang tua kita) Pak Arfan, sudah Pak Arfan baru Etek kerja tempat Pak Arfan. Bapak orangnya mandiri, baik hati cuma setelah Uni (Kakak) Tiara ...," ucap Etek yang tiba-tiba terhenti.
"Uni Tiara?" Ucapku penasaran.
"Ondeh maaf Non, Etek kelepasan. Kalo masalah itu tanya sama Bapak aja ya Non, sekali lagi maaf," ucap Etek Upik gelagapan.
Aku sangat penasaran tapi tak bisa bertanya. Siapa Uni Tiara? Kenapa dengan Uni Tiara dan Om Arfan? Apa mereka pasangan? Ada rasa yang aneh di hatiku tapi aku tak tau apa.
"Gak pa-pa kok Tek, eh ... ia Tek Alya ngerjain apa ya pagi ini? Yang Alya lihat semuanya udah kinclong. Alya bingung jadinya, biasanya Alya kalo pagi, Alya minum teh dulu sedikit terus nyapu, ngepel, nyiram bunga, nyuci terus masak, kalo disini apa yang bisa Alya lakukan Tek?"
"Ondeh, jangan lah Non. Non Alya duduk manis aja. Semua udah kerjaan Etek tu, jangan Non pula yang kerja nanti marah Bapak.
Eggheem!!" Terdengar suara dari arah tangga.
" Om mau Alya buatkan teh atau langsung sarapan?" Ucapku.
"Teh aja," ucap Om Arfan langsung duduk di depan Tv.
Akupun segera membuatkan teh untuk Om Arafan sambil bertanya pada Tek Upik apa yang harus aku kerjakan. Tapi selalu jawabannya tidak ada. Jujur ini canggung buatku. Ada yang aneh rasanya, biasanya segala tentang rumah aku yang membereskan. Dan sekarang tidak melakukan apa-apa membuatku kebingungan.
"Ini Om, teh nya," ucapku sambil meletakkan teh di meja di depan Om.
"Hm ..."
"Om, tau tiga kata ajaib gak?" Ucapku sambil memeluk nampan.
"Kenapa memangnya?" Ujarnya dengan dahi yang berkerut.
"Tau gak Om?" Ucapku lembut.
"Ya udah, apa?" Ucapnya tanpa memperhatikan ku.
" Maaf, tolong dan terimakasih. Maaf,di perlukan jika kita melakukan kesalahan. Tolong, dikatakan ketika kamu ingin meminta bantuan. Dan terimakasih, jika kamu sudah dibantu, dilayani, ditolong, dan sebagainya. Dan Om termasuk orang yang harus belajar menggunakan tiga kata ajaib tersebut," ucapku.
"Ok, terimakasih," ucapnya dingin.
"Sama-sama ... Om ganteng," ucapku dengan suara yang pelan di akhir kalimat
"Aaa? Apa? Kamu bilang apa?"
"Hm ... gak da kok Om. Om, kerja hari ini?"
"Hari ini saya masih cuti di Rumah sakit, tapi kalo perusahaan saya kerja dari rumah saja," ucapnya.
"Oooo ... gitu! Hm ... boleh pinjam handphone nya gak? Mau ngasih kabar sama Mamak dan Abak sekaligus mo nelfon Airin," ucapku memelas.
"Memangnya handphone kamu mana?"
"Saya kan gak punya handphone Om, Alya kan SCTV, satu untuk semua," ucapku sambil menirukan slogan salah satu siaran Tv.
"Ooo ... pantes saya gak pernah lihat kamu megang handphone, handphone saya di atas nakas, di kamar. Pakai aja, bilang sama Mamak dan Abak kita udah sampai jam 12:00 dan salam dari saya," ucapnya.
"Wokeh Om, makasih," ucapku.
Akupun segera bergegas menuju kamar, kemudian mencari gawai Om Arfan. Tiga nomor penting yang selalu ku ingat yaitu nomor Mamak, Kak Sari dan Airin. Jadi mudah saja bagiku untuk melakukan panggilan ini, dan untung saja gawai Om Arfan tidak memilik sandi. Langsung saja ku pencet nomor Mamak.
Tuuut ... tuuut ... tuuut.
"Halo, Assalamu'alaikum," suara di seberang sana.
"Wa'alaikumsalam Mamak, ini Alya," ucapku dengan mata yang berkaca-kaca.
"Ondeh, anak Mamak kiranya. Apa kabar Nak, Arfan bagaimana?" Ucap mamak dengan suara bergetar.
" Alya baik, Om Arfan juga. Mamak,Abak,Redo dan Febri gimana?"
"Alahamdulillah semua sehat. Sehat-sehat di sana ya Nak. Jangan membantah Nak Arfan jka itu demi kebaikanmu ya Nak, Mamak sayang sama Alya," ucap Mamak.
"Ia Mak, Alya juga sayang sama Mamak. Abak mana Mak? Alya mau bicara," ucapku menahan tangis.
" Ya sayang, tunggu sebentar Mamak kasih HP ke Abak dulu ya."
Tak berapa lama.
"Halo, Assalamu'alaikum Al!" Ucap suara yang sangat aku rindukan.
"Wa'alaikumsalam Bak, Abak ... Alya kangen Abak sama Mamak," akhirnya tumpah juga air mataku.
Lama kami berbicara, mulai dari perjalanan ku, menanyakan kabar Redo dan Febri, menceritakan jam berapa aku sampai di Padang hingga salam dari Om Arfan. Tak teras hampir satu jam kami berbicara. Rasanya tak cukup untuk melepas kerinduan ini. Tapi tak mungkin aku terus larut dalam kerinduan dan kesedihan ini.
Kemudian aku menelfon Airin, Ia bercerita bahwa dia di terima kuliah di salah satu perguruan tinggi negeri di Bandung. Ah, irinya hatiku. Tak lama aku berbicara dengan Alya, karena sudah merasa amat segan dengan Om Arfan.
Di akhir telefon Airin berkata, " Al, coba aja daftar kuliah di Padang lagi pula sekarang kan sudah buka pendaftaran jalur mandiri. Lihat aja di situs Universitas yang kamu mau."
Hal ini terus terngiang-ngiang di telingaku. Haruskah aku mencoba? Ya, aku harus mencoba. Ku bulatkan tekadku, setelah Sarapan aku akan bergegas menuju Warnet. Pagi ini aku memang berniat mencuci piring. Karena perasaan ku yang tak enak hanya kongkang-kongkang kaki saja.
Setelah mencuci piring aku menghampiri Tek Upik, " Tek, Om Arfan mana?"
"O ... Bapak di ruang kerja, tadi berpesan, jangan di ganggu dulu Non," ucap Tek Upik sambil menjemur pakaian.
"Ooo ... Tek, Warnet di sini paling dekat di mana ya?" Ucapku.
"Kalo ndak salah ada di simpang jalan di depan Non," ucap Tek Upik menunjuk ke arah jalan.
"Ok, makasih ya Tek. Nanti bilang Om Arfan kalo Alya ke warnet ya."
"Ia Non."
Bergegas aku menuju kamar dan mengambil uang yang memang diberikan mamak kepadaku sebelum berangkat ke Padang. Segera bergegas aku menuju warnet. Jarak dari rumah hanya lima menit jalan kaki. Sesampainya di Warnet aku membuka situs Universitas yang aku incar. Kemudian aku mendaftar dan pembayaran pendaftaran dilakukan di Bank.
"Uda (Abang), numpang tanya, di sini di mana Bank Nag*ri terdekat?" Ucapku.
"Memangnya kenapa Uni (Kakak)?" Tanya penjaga warnet.
"Ini, uda saya daftar kuliah di UNAND, mau bayar uang formulir pendaftaran.
"O ... Uni lah pernah lihat UNAND?"
"Belum Uda."
" Bagusnya Uni langsung ke UNAND di sana ada Bank Nag*ri nya. Kalo ndak Uni ke Pasar aja, di sana ada juga."
Dalam hatiku, wah ... ada bagusnya langsung ke UNAND ya.
******
POV Arfan
Waktu sudah menunjukkan jam 12:40, aku pun meninggalkan pekerjaanku dan ingin melaksanakan solat zuhur. Ketika memasuki kamar tak ada Alya, ku pikir Ia mungkin sedang berbicara dengan Tek Upik.
Setelah menunaikan sholat zuhur, aku menuju lantai satu karena perutku sudah keroncongan. Sampai di ruang makan Alya pun tak ada.
"Tek, mana Alya?" Ucapku ketika hendak menyendokkan nasi ke piring.
"Dari pagi tadi Non Alya ke warnet, Pak," ucap Tek Upik.
"Ngapain dia ke warnet, kan rumah ini ada Wifi?" Ucapku.
"Etek juga ndak paham Pak," ucap Tek Upik menunduk.
Tak jadi ku sendokkan nasi ke mulutku, segera bergegas aku ke warnet mencari keberadaan Alya. Ternyata di warnet, Ia pun tak ada. Ku tanyakan kepada penjaga warnet keberadaan Alya. Berdasarkan informasi yang ku dapat ternyata Alya pergi ke kampus UNAND. Segera bergegas ku ambil kunci mobil dan menyusulnya.
"Huft ... Alyaaaaa, dasar bocah labil. Di mana kamu?" Ucapku sambil memukul kemudi mobilku.