Pov Arfan
Ku kemudikan mobilku dengan kecepatan kencang. Entah berapa kali aku mendengar carut marut dari pengguna jalan yang lain, dan hal itt tak ku perdulikan. Yang penting sekarang adalah menemukan Alya. Walau Kota Padang bukan kota yang luas seperti Kota Jakarta dan Kota besar lainnya, akan bahaya juga baginya. Apalagi Alya belum pernah kemana-mana. Ah ... sial kemana bocah itu?
Satu jam ku kendarai mobilku, akhirnya aku sampai di kampus UN*ND. Pelan-pelan ku masuki gerbang UN*ND, sambil melihat kekiri dan kanan. Di mana bocah itu? Jika dia hilang apa yang harus ku ucapkan kepada keluargaku? Pada orang tuanya? Apalagi dia sekarang adalah tanggung jawabku. Aargh ... semoga saja dia cerdas, ucap batinku sambil ku acak rambutku.
Ku kelilingi Kampus, sambil mataku selalu awas mencari keberadaannya. Sudah sekali aku berkeliling mencarinya, bahkan sampai ke sudut kampus pun ku periksa. Perutku mulai keroncongan, untung ada air mineral yang selalu ku bawa dan tentunya hal ini sangat bermanfaat untuk mengganjal dahagaku, tapi tidak dengan rasa laparku. Ku putuskan untuk sekali lagi mengelilingi kampus, dan berharap aku menemukannya. Jika tidak juga kutemukan, mungkin aku harus lapor ke kantor polisi. Ketika aku hampir pasrah mengelilingi kampus, aku melihat seorang gadis yang tertunduk lesu di halte bis kampus, dan pakaiannya sama persis dengan yang di pakai Alya tadi pagi.
Ku tepikan kendaraanku,
"Alyaaaa!" Ucapku berteriak.
Wanita itu melihat ke arahku dan segera berlari memelukku sambil menangis.
Degg!!!
Perasaan apa ini? Ada rasa ingin selalu melindunginya, rasa untuk selalu menjaganya? Ada apa denganku.
"Om, maafin Alya, Alya kapok, Alya gak kan pergi sendiri-sendiri lagi," ucapnya sambil menangis tersedu-sedu.
Untung saja kondisi di tempat kami berada sepi, jika tidak tentu saja hal ini akan membuat orang curiga. Apalagi dengan adat yang kental di Minangkabau.
"Ya, sudah ... sekarang naik ke mobil dulu," ucapku sambil memeluk erat tubuhnya dan membelai rambutnya.
Kami berjalan ke arah mobil, dengan tangan kananku merangkul tubuhnya. Ku bukakan pintu mobil dan ku ajak ia untuk masuk. Ku berikan ia air mineral yang masih ada di dalam mobil dan tisu untuk mengelap sisa air matanya. Ia meminumnya sampai habis seperti orang kelaparan.
"Kamu udah makan"? Ucapku sambil membelai rambut halusnya. Astaga, apa yang tanganku lakukan? Kenapa aku dari tadi membelai rambut halusnya.
"Belum Om," ucapnya menggeleng.
Kreeuk!!
Perutku dan perutnya berbunyi, aku berusaha menahan maluku, sedangkan dia, dia tertawa terbahak-bahak. Seolah-olah melupakan ia baru saja menangis. Ah, dasar bosah.
"Wah, om juga lapar ya? Perut kita kompak bunyinya, jangan-jangan kita jodoh," celetuknya sambil masih tertatawa.
"Cantik ...!" Ucapku pelan.
"Apa Om?" Ucapnya.
"Gak da," ucapku menahan malu.
Kulirik jam di tanganku, waktu sudah menunjukkan pukul 16:30. Ah ... pantas saja, "bagaimana saya bisa makan, jika kamu menghilang?".
Tawa itu hilang dan kembali ia menekukkan wajahnya.
"Maafin Alya, Om," ucapnya dengan suara bergetar," kembali ia menangis.
Segera kutepikan mobilku dan kembali mememeluknya.
"Om, nafas Alya engap," ucapnya sambil menepuk dadaku.
"Oo ... ya kamu ngapain nangis lagi, saya kan jadi bingung, sebentar nangis, sebentar ketawa. Dasar, bocah labil," ucapku sambil melepas pelukanku dan mentowel kepalanya.
"Ya, Om ... ya, jangan marah ya," ucapnya dengan puppi eyesnya.
"Hm ... ya udah kita cari makan dan langsung cari mushola. Belum solat Ashar kan?" Ucapku.
"Ia Om," ucapnya.
Aku segera membawa kendaraanku menuju ke rumah makan. Sesekali kulirik wajahnya, terlihat ia sangat lahap dan tentu saja hal itu tak mengurangi kecantikannya.
Selesai makan, kami bergantian sholat Ashar di mushola yang disediakan oleh rumah makan.
*****
Di dalam mobil kami hanya terdiam, ketika ku lirik wajahnya, terlihat beberapa kali sepertinya ia ingin mengatakan sesuatu. Tapi aku rasa aku tak ingin membuatnya bercerita dulu, biarlah ketika sampai di rumah saja, maka akan aku ajak ia bercerita.
Sesampainya di rumah, aku segera menyuruhnya turun dan masuk ke dalam kamar.
Di dalam kamar, ia hanya tertunduk tak berani melihatku.
"Om mau kemana?" Ucapnya ketika aku mengambil handuk dan menuju kamar mandi.
"Mau makan?" Celetukku.
"Lho, bukannya kita baru makan, trus ngapain ambil handuk?" Ucapnya.
Sambil menunjuk ke jam dinding, "coba lihat, sekarang jam berapa?"
"06: 00 sore Om," ucapnya.
"Kalo udah sore menjelang magrib begini biasa orang ngapain?" Ucapku sambil masih memegang handuk di depan pintu kamar mandi.
"Kalau Alya, jam 04:30 sore masak dulu buat makan malam Mamak, Abak, Redo dan Febri trus mandi, selesai magrib anterin makan Mamak ke Pasar, terus bantuin Mamak di pasar. Udah, gitu aja," ucapnya.
"Satu yang ditanya seribu yang dijawab. Lah, yang sekarang kamu lihat saya mau ngapain ...a?" Ucapku.
"Sepertinya mau mandi, ya Om?" Ucapnya.
"Bukan sepertinya, tapi memang mau mandi."
"Ooo ... terus ngapain suruh Alya ke kamar?"
"Udahlah saya mau mandi dulu, udah gerah di tambah pusing pula gara-gara memikirkan tingkah lakumu," ucapku berlalu menuju kamar mandi dan menutup pintu agak keras.
Lima belas menit waktu yang ku perlukan untuk mendinginkan kepalaku, untuk meredam amarahku. Tentu saja aku masih sedikit kesal, tapi aku tak ingin mempelihatkannya. Nanti yang ada dia malah geer lagi.
Oh, sial aku lupa membawa bajuku. Tak mungkin aku hanya keluar menggunkan handuk yang hanya sebatas pahaku saja dan menampilkan tubuh atletisku padanya. Bisa - bisa menetes air liurnya, seperti yang ia lakukan kemarin. Ia terlihat seakan-akan ingin menelanjangiku dan memakanku.
"Ah, tidak," ucapku berbicara sendiri kemudian menggelengkan kepalaku.
Tok ...tok ...tok ...
"Om, masih lama Alya kebelet pipis dan sebentar lagi mau magrib," ucapnya di luar.
"Oo ... ya sebentar sekalian saja langsung mandi dan bawa pakaianmu kekamar mandi," ujarku sambil membuka pinti, tapi hanya wajahku yang ku perlihatkan padanya, sedangkan tubuhku, tentu saja ku sembunyikan di belakang pintu.
"Om, kenapa? Kenapa bersembunyi seperti itu?"
" saya lupa bawa pakaian, cepat ambil bajumu," ucapku menunjuk ke lemari.
Ha ... ha ... ha, Om ... Om, kalo cuma itu kan, aku udah sering lihat Redo, Febri dan Abak kalo habis mandi. Inget gak Om kamar mandi kami kan cuma satu. Jadi gak ada yang spesial lah," ucapnya santai menuju lemari.
"Oh, ya. Lalu apa yang kamu lakukan kemaren malam, ternganga seperti ingin memakanku," ucapku langsung keluar dari kamar mandi dan berdiri dibelakangnya sambil berkacak pinggang.
"O ... Om ...Om apa yang Om lakukan," ucapnya ketika membalikkan tubuhnya dan berhadapan denganku, terlihat sekali wajahnya malu, gelagapan dan ketakutan.
Aku semakin suka melihatnya malu sekaligus ketakutan seperti itu, sepertinya ini bisa menjadi salah satu kebiasaan baru ku.
Ia berjalan mundur dan menabrak lemari. Sedangkan aku tentu saja berjalan pelan menuju tubuhnya yang kaku di depan lemari.
"Bukannya tidak ada yang spesial, lalu kenapa wajahmu seperti itu?" Ucapku sambil kedua tanganku bersender di lemari, aku mengurungnya.
Wajahnya memerah, ia terdiam, sepertinya ia tergoda dengan tubuhku. Tanpa kusadari tangannya sudah meraba tubuh atletisku.
"Wah, seperti roti sobek ya Om. Hm ... Alya jadi lapar, apalagi di tambah selai kacang. Hm ... atau teh anget aja kali ya Om, pasti enak. Hm ... mantap jiwa," ucapnya setengah berjongkok dan keluar dari kungkunganku.
Kemudian ia tertawa terbahak-bahak menuju kamar mandi, sedangkan aku berdiri mematung. Jatuh harga diriku, apakah ia tak tergoda denganku. Ada apa dengan bocah labil itu.
"Ah, sial," ucapku sambil mengacak rambutku sendiri.