Aryk duduk di depan meja bar. Seperti biasanya, dia menunggu penampilan DJ Dandelion. Namun, sampai jam satu dini hari, dia tidak melihat kehadirannya.
"Mas, DJ Dandelion tidak datang, ya?" tanya Aryk pada Hendry.
"Oh, dia sedang sakit, Mas. Jadi, dia minta izin sama bos tadi," jawab Hendry. Ia memperhatikan wajah cemas Aryk. "Orang ini benar-benar mengkhawatirkan Mba Dande. Sayang sekali karena dia tahu kalau Mbak Dande tidak tertarik pada lawan jenis," gumam Hendry dalam hati.
"Mas sama sekali tidak tahu alamat Dandelion? Atau mungkin dia dirawat di rumah sakit mana?" tanya Aryk dengan raut wajah penuh kecemasan.
"Seperti yang saya bilang kemarin, tidak ada yang tahu alamatnya. Dia tidak dirawat di rumah sakit, hanya butuh istirahat di rumah," ucap Hendry.
"Mas punya nomor teleponnya, kan? Boleh saya minta?"
"Sebentar. Saya harus izin dulu sama Mbak Dande."
"Iya. Saya minta tolong, Mas," pinta Aryk.
Hendry menjauh dari Aryk untuk menghubungi Gheisha. Dua kali deringan dan telepon tersambung. Hendry bicara dengan suara pelan.
"Halo, Mba Dande," ucap Hendry saat panggilan tersambung.
"Halo, Hen. Aku, sudah bilang, jangan menelepon kalau aku sedang dirumah," jawab Gheisha dari ujung telepon yang lain.
"Ini, Mbak … orang yang mengirim hadiah buat Mbak Dande. Dia terlihat cemas saat saya beritahu kalau Mba sedang sakit."
"Terus?"
"Dia minta nomor telepon Mbak, boleh tidak kalau saya memberitahunya?"
"Kasih saja, tidak apa-apa. Tapi, tolong bilang padanya, jangan menelepon sekarang. Ini sudah jam setengah dua pagi dan aku sangat ngantuk."
Suara Gheisha memang terdengar serak di telinga Hendry, mirip orang yang terjaga dari tidur. Hendry lupa kalau ini adalah dini hari. Ia hanya ingin membantu Aryk. Pria itu terlihat begitu resah, Hendry tidak tega melihatnya.
"Baik, Mba. Selamat beristirahat," pungkas Hendry. Ia menutup sambungan telepon. Mencatat nomor ponsel Gheisha di secarik kertas lalu memberikannya pada Aryk.
"Ini, Mas! Tapi, ada pesan dari Mba Dande. Mas jangan telepon dia sekarang, dia sedang beristirahat," ucap Hendry menyampaikan pesan Gheisha.
"Terima kasih banyak, Mas. Saya akan menelponnya besok pagi. Saya permisi," pamit Aryk sambil membayar dan menambah sedikit uang tip untuk Hendry.
***
Tok! Tok! Tok!
"Masuk!"
"Kak Ghe-Ghe. Jo bawain Kakak bubur," ucap Johan. Ia menaruh satu mangkuk bubur dan susu hangat di atas nakas. Johan duduk di tepi ranjang. "Kakak sudah mandi?"
"Sudah," jawab Gheisha sambil mengeringkan rambut coklatnya. Sebenarnya warna rambut alami Gheisha adalah hitam, tapi karena warna rambut Sisi juga hitam, akhirnya Gheisha mewarnai rambutnya. "Kakak baru saja mau turun dan memasak. Eh, ternyata sudah ada bawain sarapan buat Kakak," ucap Gheisha sambil tersenyum menatap sang adik kesayangan.
"Jo sudah masak, kok, Kak. Jadi, Kakak istirahat saja."
"Hum, kamu masak? Memangnya tidak sekolah?" tanya Gheisha sambil melirik jam dinding. Jam delapan pagi, seharusnya Johan sudah pergi ke sekolah dari jam tujuh pagi.
"Sekolah, Jo, libur. Jadi, tugas rumah hari ini, biar Jo yang kerjakan semua," ucap Johan. Ia mengambil mangkuk bubur dan mengaduk sambil meniup bubur itu. "Sudah tidak terlalu panas, Kakak makan dulu."
Gheisha menyimpan hairdryer dan menghampiri Johan. Hanya adik laki-lakinya itu yang masih memperhatikan dan mengkhawatirkan Gheisha. Membuat gadis itu terharu dengan perhatian Johan.
"Terima kasih, Jo. Cuma kamu satu-satunya yang Kakak miliki di sini. Terima kasih karena sudah menyayangi Kakak," ucap GHeisha sambil memeluk Johan.
"Kakak bicara apa, sih. Tentu saja, Jo, sayang pada Kak Ghe-Ghe, Kak Sisi, dan juga Mama." Johan membalas pelukan kakaknya.
Drrtt! Drrtt!
Ponsel Gheisha bergetar di atas nakas. Ia lupa mengganti SIM. Gheisha memakai dua nomor berbeda dan semalam dia lupa menutup nomor telepon yang biasa dipakai saat bekerja di klub malam.
"Jo, keluar dulu kalau gitu. Mungkin itu telepon dari bos Kakak," ucap Johan. Ia keluar dari kamar Gheisha.
Belum sempat Gheisha menerima panggilan, ponselnya sudah berhenti bergetar. Karena tidak mengenal nomor ponsel yang meneleponnya, Gheisha pun menutup SIM 1. Ia memakan bubur buatan Johan.
"Em, enak sekali. Kalau aku sakit, pasti dia langsung membuat bubur. Padahal aku cuma terkilir dan lambungku baik-baik saja, bahkan jika aku makan makanan pedas juga tidak masalah. Dasar adik imutku itu terlalu khawatir berlebihan," gumam Gheisha. Ia sangat menikmati buburnya. Sampai lupa kalau dia ada tugas belanja keperluan dapur hari ini.
"Gheisha!" teriak Sharmila dari ruang tengah.
"Nah, udah teriak aja, tuh, emak tiri Cinderella." Gheisha tetap asyik memakan buburnya, sampai teriakan Sharmila kembali terdengar. "Iya, Ma." Mau tidak mau Gheisha menyahut kali ini. Kakinya masih sedikit merasa sakit, tapi tidak separah kemarin. Dengan langkah pelan, Gheisha turun menghampiri ibunya.
"Lama banget, sih," maki Sharmila.
"Kenapa, sih, marah-marah, aja," sindir Gheisha.
"Nih, belanja sana!" suruh Sharmila.
"Iya, tau," jawab Gheisha. Ia mengambil uang dari tangan Sharmila dan melangkah pergi. Gheisha merasa senang setiap kali pergi berbelanja. Karena ia bisa sejenak menghirup udara pagi di taman sebelum pergi ke pasar. Terkadang sebaliknya, ia pergi ke pasar lalu mampir di taman sejenak untuk beristirahat.
Gheisha selalu ke pasar dengan berjalan kaki. Selain berolahraga, juga karena Sharmila tidak pernah memberinya ongkos untuk naik kendaraan umum. Lagi pula jaraknya memang tidak terlalu jauh. Hari ini karena masih jam delapan pagi, Gheisha memilih pergi ke taman dulu untuk berjemur sebentar.
"Hah, udaranya sejuk sekali. Sudah lama aku tidak tidur malam. Rasanya segar sekali saat bangun. Seandainya aku sudah punya rumah, aku akan berhenti dari salah satu pekerjaanku. Tapi, aku sudah nyaman di tempat kerja. Dilema kalau harus memilih salah satu," batin Gheisha.
Tap! Tap! Tap!
Brukk!
Aww!
"Aduh, sakit. Sialan, kau, kalau jalan li …."
"Kamu!" pekik Aryk. Ia tidak menyangka bisa bertemu Gheisha kembali. Situasi yang sama seperti pertemuan mereka beberapa hari yang lalu. "Maaf, maaf. Kamu baik-baik saja, kan?" tanya Aryk cemas.
"Kenapa, ya, setiap kali ketemu kamu, aku selalu sial. Pertama bertemu sudah dipeluk tanpa izin, membuat aku malu karena dikira pacaran di tempat umum. Sekarang, kamu nabrak kayak banteng dan membuat aku jatuh. Dasar pembawa sial!" maki Gheisha.
"Ya, maaf. Aku udah minta maaf, lho," jawab Aryk enteng. Gadis ini sama sekali tidak tahu siapa aku, ya? Dia kelihatan biasa saja, padahal aku model papan atas. Semua gadis akan bersorak heboh kalau bertemu denganku, tapi gadis ini biasa saja, malah berani memaki, pikir Aryk.
Gheisha mencoba bangun, tapi kakinya yang kemarin terkilir itu pun kembali sakit. Aryk ingin membantunya dengan mengulurkan tangan agar Gheisha berpegangan padanya. Tapi, niat tulus Aryk itu ditolak oleh Gheisha.
"Tidak perlu!" hardik Gheisha.
"Galak banget, sih," sungut Aryk.
Gheisha melirik tajam. Aryk mengangkat kedua tangannya tanda tidak akan menyentuhnya. Namun, rasa sakit di kaki Gheisha terlalu kuat. Gheisha limbung saat berdiri dan dengan sigap Aryk menahan pinggang Gheisha supaya tidak terjatuh.