Gheisha menutup pintu kamar dan menguncinya. Sudah lima tahun lamanya Gheisha menyembunyikan pekerjaannya dari Johan. Semakin Johan bertambah dewasa, Johan pun semakin perhatian kepada Gheisha. Johan pun akhirnya bertanya kenapa sang kakak selalu pulang dini hari.
"Jo, Kakak mau cerita. Tolong jaga rahasia ini setelah kamu tahu!"
"Kak Ghe-Ghe cerita saja! Johan janji akan jaga rahasia," ucap Johan.
Gheisha pun menceritakan semuanya pada Johan. Ia percaya kalau adik laki-lakinya itu bisa menjaga rahasianya. Di rumah itu hanya Johan yang Gheisha anggap sebagai keluarga karena hanya dia yang tulus menyayangi Gheisha. Selesai bercerita, Gheisha kembali meminta tolong pada Johan agar menjaga rahasia.
"Kakak masih kekurangan beberapa juta lagi untuk membeli rumah sederhana impian Kakak. Tolong, jangan sampai ibu dan Sisi tahu," ucap Gheisha sambil menggenggam tangan Johan erat. Dengan pandangan memohon kepada Johan, Gheisha berharap Johan tetap berpihak padanya.
"Jadi … Kak Ghe-Ghe mau meninggalkan rumah ini? Meninggalkan Johan di sini?" tanya Johan dengan sedih. Ia tidak rela kalau harus terpisah dengan Gheisha. Baginya hanya Gheisha saja yang bisa dijadikan tempat curhat karena Sisi tidak terlalu dekat dengan Johan. Apalagi Sisi yang notabene sekretaris kesayangan bossnya di kantor. Ia selalu pulang malam dengan keadaan mabuk dan berbau alkohol. Jangankan bisa diajak curhat, ditanya saja tidak bisa menjawab dengan benar.
"Kakak akan pergi dari rumah ini, tapi … pintu rumah Kakak selalu terbuka lebar untukmu," ucap Gheisha dengan lembut.
"Bolehkah kalau Johan menginap saat libur sekolah?"
"Tentu!" Gheisha memeluk adik laki-laki kesayangannya.
Terlihat senyuman kebahagiaan terpancar dari bibir Johan. Karena melihat Gheisha sudah sangat kelelahan, Johan pun pergi dan menyuruh Gheisha agar segera beristirahat.
Setelah Johan keluar dari kamar, dengan lesu Gheisha melangkah ke kamar mandi untuk membersihkan riasannya. Ia sudah sangat mengantuk sampai ia tersandung keset dan terjatuh.
Brukk!
"Aduh, sial sekali. Ah, kakiku terkilir," gumam Gheisha pelan. Ia bangun dan melangkah kembali dengan perlahan. Hari ini lengkap sudah penderitaan Gheisha. Sejak pagi Gheisha merasa selalu ditimpa kesialan bahkan sampai sekarang masih saja sial. Gheisha berdoa semoga ia tetap bisa pergi bekerja. Sedikit lagi impiannya memiliki rumah pribadi akan terwujud dan Gheisha tidak mau rencananya gagal karena dia tidak bekerja. Tidak bekerja berarti uang yang seharusnya ditabung akan berkurang dan itu menghambat impiannya.
Keesokan hari
"Ghe-Ghe! Malas sekali kamu. Kenapa belum masak sarapan?"
"Bu, aku tidak enak badan. Suruh Sisi saja yang masak," ucap Gheisha.
"Sisi tidak pulang semalam. Cepat bangun! Masak sesuatu untuk sarapan," ucap Sharmila sambil menarik tangan Gheisha supaya bangun.
Dengan terpincang-pincang Gheisha pun pergi ke dapur dan membuatkan sarapan untuk Sharmila. Johan sudah berangkat ke sekolah dan Sisi sudah berangkat ke kantor. Gheisha melirik jam dinding sudah jam sembilan pagi. "Pantas saja Sisi dan Johan sudah tidak ada karena mereka selalu berangkat jam tujuh pagi," pikir Gheisha.
"Sebentar lagi Pengacara akan tiba dan kau harus memohon pada Pengacara agar segera membacakan surat wasiat ayahmu!"
"Kenapa tidak Ibu saja yang mengatakannya," ucap Gheisha.
"Berani kamu melawan ucapan Ibu?"
Gheisha duduk di ruang tamu sambil menunggu Pengacara datang. Sebenarnya Gheisha sangat ingin kembali berbaring di kamarnya, tetapi Gheisha malas jika harus bolak-balik keluar masuk kamar. Kakinya semakin terasa sakit saat berjalan. Jadi lebih baik Gheisha menunggu Pengacara datang saja.
Ting! Tong!
Sharmila segera berlari dari dapur saat mendengar suara bel rumahnya berbunyi. Ia tidak mau kalau sampai Pengacara itu melihat keadaan Gheisha yang pincang. Jangan sampai Pengacara berpikir kalau Gheisha terluka akibat disiksa olehnya. Sharmila mempersilakan Pengacara itu masuk.
"Saya tidak akan berlama-lama di sini. Maksud saya datang hari ini adalah untuk membacakan surat wasiat dari Almarhum Bapak Ikmal. Sesuai dengan surat wasiat Pak Ikmal bahwa saya harus membacakan surat wasiat saat usia Gheisha 22 tahun. Tidak lama lagi Gheisha akan berulang tahun, jadi saya akan membacakannya agar Gheisha tahu apa syarat dari pengalihan harta warisan Pak Ikmal."
Gheisha tidak begitu tertarik dengan warisan yang ditinggalkan ayahnya. Ia lebih bangga dengan uang yang dihasilkan dengan keringat dan kerja kerasnya sendiri.
Berbeda dengan Sharmila yang begitu antusias mendengar ucapan Pengacara. Pucuk dicinta ulam pun tiba, baru saja tadi Sharmila menyuruh. Gheisha untuk meminta dibacakan surat wasiat. Ternyata Tuhan mendengar keinginan Sharmila dan surat wasiat itu akan dibacakan tanpa Gheisha pinta.
"Baiklah, saya akan mulai membacakannya. Saya Ikmal hakim, hari ini tanggal 22 Desember 2016. Saya akan melimpahkan seluruh uang tabungan di rekening dan juga deposito kepada putri saya Gheisha Kemala Dewi dan istri kedua saya Sharmila dengan satu syarat. Gheisha harus menikah di usianya yang ke 22, dan harta warisan ini akan dibagi setelah Gheisha resmi menikah. Kira-kira seperti itulah isi surat wasiat itu. Bagaimana Gheisha? Sanggup?" tanya Pengacara yang berusia kepala lima.
"Tidak! Gheisha tidak tertarik dengan pernikahan saat ini. Jika memang syarat dari surat wasiat itu adalah pernikahan Gheisha, maka tunggu sampai Gheisha benar-benar menemukan jodoh dan menikah. Tapi, Gheisha tidak bisa menjanjikan secepatnya," jawab Gheisha.
Sharmila mengepalkan tangannya dengan kesal. Namun, Sharmila harus menahan amarahnya. Jangan sampai ia memarahi Gheisha di depan Pengacara.
"Yang benar saja? Hanya sebuah pernikahan saja. Walaupun Gheisha menolak, aku akan mencari berbagai macam cara agar Gheisha segera menikah. Mau tidak mau aku harus segera menikahkan Gheisha," pikir Sharmila.
"Saya hanya menyampaikan apa yang tertulis di sini. Soal kapan Gheisha menikah, itu terserah Gheisha. Saat Gheisha sudah menikah, kalian datang saja ke kantor untuk pengalihan harta warisan. Saya permisi," ucap Pengacara.
Sharmila mengantarkan Pengacara sampai di depan pintu rumah. Setelah Pengacara itu pergi, senyuman Sharmila menghilang. Ia segera menutup pintu dan menghampiri Gheisha yang sedang berjalan pelan menuju kamarnya. Sharmila sudah tidak bisa lagi berbuat banyak, selain marah-marah tidak jelas pada Gheisha dari luar kamar.
Gheisha melemparkan tubuhnya di ranjang. Ia menatap langit-langit kamarnya dengan pandangan sedih.
"Jangan menekanku agar segera menikah hanya karena harta warisan, Pah. Papa tahu sejak awal Gheisha sama sekali tidak menginginkan harta warisan. Gheisha lebih menginginkan kehadiran Papa dibandingkan harta. Gheisha kangen, Pa," gumam Gheisha. Tanpa terasa air matanya menetes. Gheisha merindukan saat-saat indah dan bahagia bersama ayahnya dulu. Saat itu, semua terasa bahagia. Sisi dan Sharmila juga selalu bersikap baik pada Gheisha. Namun, setelah ayahnya meninggal, semua berubah. Sisi selalu mencari alasan untuk menindas Gheisha. Sharmila juga selalu menyiksa Gheisha. Hanya Johan saja yang tidak pernah berubah dari dulu sampai sekarang.