Dexter pun berhasil melepaskan diri dari genggaman Kaili, tetapi setelah genggaman tangannya berhasil lepaskan, tidak ada reaksi apa pun yang diberikan, Kaili.
"Bukankah seharusnya dia menjerit kesakitan, karena aku melepaskan tangannya dengan sangat keras? Terus, kenapa dia malah diam?" Dexter berbicara pada dirinya sendiri.
Tidak tahu didorong oleh apa, Dexter mengurungkan niatnya untuk pergi dan berbalik melihat pada, Kaili. Ternyata wanita itu tidur seperti semula.
"Jadi dari tadi dia hanya mengigau?"
Melihat Kaili tidur dengan ekspresi yang menyakitkan, Dexter mengibak rambutnya. Menyentuh lembut kening wanita yang sudah berhasil memporak-porandakan hatinya.
"Sial.... kenapa aku masih saja memedulikanmu? Kau sungguh tidak pantas mendapatkan kebaikan apa pun dariku." Kembali Dexter berbalik.
"Semua orang sangat jahat! Orang tuaku, terlalu memaksa agar aku menjadi sempurna. Pria jahat itu pun, dia selalu memaksaku agar melahirkan anaknya! Katanya, dia akan menuntutku jika aku tidak memberikan anak padanya. Padahal... jelas saja, dalam hal ini, aku adalah korban. Aku yang paling dirugikan. Aku sangat membenci kepercayaan diri yang dia punya. Ingin sekali aku berkata, sekalipun aku melahirkan anaknya, itu tidak menjadi alasan dia pantas masuk ke dalam keluargaku. Dia akan ditolak. Kalaupun aku hamil karena kesalahan mabuk-mabukan kemarin, bayi itu lebih baik digugurkan. Anak itu lebih layak mati. Itu aib bagi keluarga Goh. Tetapi kepercayaan dirinya, membuatku semakin muak!" Kaili terus mengingau.
"Kau... Berani-beraninya kau! Hei wanita... rahimmu pun tidak pantas untuk menerima benihku. Seorang keturunan dari keluarga Chiro, Dexter Chiro, satu-satunya pewaris dari keluarga Chiro yang sangat disegani di seluruh Negara Rusia dan bahkan beberapa dunia lainnya, kau pikir keluarga Goh-mu sebanding dengan kami? Kau yang terlalu rendah untuk bisa masuk dan menjadj istriku!"
Emosi Dexter semakin membara. Berkali-kali ia menggeram sambil menggepalkan tangan, menahan emosi yang siap meledak. Emosi yang itu telah menggerogoti hatinya hingga ke ubun-ubun, disamping itu, hatinya pun sangat sakit mendengar kata demi kata penghinaan dari gadis yang dicintai.
"Apa kau tahu seberapa bencinya aku melihat lelaki itu ? Bahkan jika dibandingkan dengan tingginya gunung Himalaya, rasa benci dan tidak sukaku lebih tinggi. Aku ingin menamparnya. Ingin sekali aku membunuhnya. Dia bahkan tidak mengizinkan aku untuk menangisi takdir yang terlalu semena-mena." Kaili masih terus berucap di bawah alam sadarnya. Efek alkohol yang diminumnya, tidak langsung membuatnya tepar tertidur, melainkan terus bercakap-cakap mengeluarkan uneg-uneg. Tentang ini... Leo yang ambil ahli.
"Apa kau sebegitu membencinya?" tanya Dexter pelan.
"Iya.... aku sangat membencinya, bahkan sangat sangat membencinya!!"
"Baiklah karena kau sangat membenciku, kenapa tidak aku buat saja sesuatu yang dapat membuatmu semakin membenciku!"
Setelah mengatakan demikian, Dexter dengan kesar merobek dress, Kaili, hingga bagian dadanya terbelah dua.
Di bawah alam sadarnya, Kaili, tetap mengelak dan menutupi diri.
"Kau memang wanita yang suci, tetapi hatimu tidak lebih baik dari seorang wanita hina!!" gumam Dexter dengan kejam.
Dexter ingin memastikan lagi pendengaran. Ingin membuat Kaili berkata yang sejujur-jujurnya. Kali ini dia berharap agar jawaban Kaili jangan mematahkan hatinya hingga remuk. Dia ingin mendengar kata cinta, bukan penghinaan. "Apa kau benar-benar sangat membenci, Dexter?"
Di alam bawah sadarnya, dengan mantap Kaili memberikan jawaban, "Ya... aku sangat membencinya..!"
"Baiklah... jika begitu, kau lihat aku baik-baik. Siapa aku?"
"Kau... kau bukannya pria brengsek itu, Dexter?"
"Bagus... Sangat bagus kalau kau mengenalku. Maka bencilah aku mulai sekarang, sepuas hatimu! Ingatlah... kau yang menginginkan ini!" Dexter mulai mencium bibir Kaili.
Ciuman itu sangat panas dan kasar, karena dibarengi dengan emosi yang membara serta rasa sakit yang ingin dituntaskan. Ingin sekali rasanya, Dexter membunuh wanita yang saat ini sedang dicumbunya. Memberinys hukuman paling berat.
"Aku bukan pria berdarah dingin... Aku tidak akan membunuhmu. Juga, aku sangat menghormati profesiku sebagai seorang dokter. Kami sangat mulia, karena akan berusaha semaksimal mungkin menyelamatkan nyawa, bukan melayangkan nyawa."
Ciuman Dexter berpindah ke buah dada Kaili. Mempermainkannya dengan kasar tanpa kelembutan.
"Benda yang selalu aku rindukan!" desis Dexter sambil mengulum dan mempermainkan benda itu.
Dexter merasakan sensasi yang sangat panas, sensasi yang hanya pernah didapatkan dari seorang Kaili saja. Karena memang selama ini, Dexter tidak pernah tidur dengan perempuan mana pun. Bahkan ciuman pertamanya juga, Kaili yang merenggutnya saat berada di bar tempo hari. Dexter sangat menghargai seorang wanita, karena ibunya sendiri meninggal hanya untuk memberikan sebuah kehidupan dan nyawa kepadanya.
Hingga selama ini, Dexter, tidak pernah mendekati wanita, jika memang tidak ada niat untuk bersungguh sungguh pada mereka. Tapi setelah mendengar penghinaan, Kaili, Dexter merasa kalau wanita itu tidak pantas dihargai sebagaimana mestinya.
Setiap gerakan yang dilakukan, cumbuannya, kecupannya, hisapannya, semua hanya berasal dari naluri kelelakian saja. Insting yang mendorongnya untuk melakukan hal itu. Walau tanpa pengalaman, Dexter termasuk menguasai permainan ini.
Perasaan Dexter sangat menegang, Ada sensasi yang tidak bisa terucap. Panas... Seluruh tubuhnya sangat panas. Dia ingin lebih, perasaan ini sama dengan perasaan saat pertama sekali dia mencumbu Kaili, saat mabuk di bar itu.
Dari buah dada. kini permainan Dexter naik ke leher. Dia mengecup leher jenjang Kaili yang berwarna putih. dengan sangat rakus! Kulit Kaili terasa sangat lembut di bibir tipis Dexter, bagaikan baru saja memakan gula-gula yang lembut. Hal itu semakin menimbulkan hasrat yang tidak tertolong. Dexter tidak sabaran, sehingga meninggalkan tanda-tanda merah di setiap kecupannya.
"Kaili... seandainya kita melakukan ini saat kau sadar, betapa indah dan nikmatnya." erang Dexter, suaranya parau karena nafsu yang telah tinggi memaksanya untuk merasakan yang lebih. juniornya menegang, minta dilepaskan.
"Tidak sadar juga tidak apa-apa, tetap terasa nikmat!!" tambah Dexter lagi.
Dan lagi-lagi setiap aksinya, selalu mendapatkan erangan dari mulut manis Kaili, seakan-akan bahwa wanita itu juga bersedia.
Tidak cukup sampai di situ, Dexter terus melanjutkan aksinya, kembali menuju 'buah persik' merah yang ranum. Yang beberapa saat sempat dicicipinya. Juga, yang selama ini selalu dibanyang-bayangkannya, setelah kali pertama menyentuh Kaili, tetapi tidak sampai memilikinya.
Dia mengecup lama, dan mencium 'pucuk buah persik' itu, dengan rakus. Sementara tangannya yang satu lagi menelusuri gundukan mirip di sampingnya, yang dinamainya sebagai 'buah persik yang ranum'. Gundukan itu sangat indah, dan Dexter yakin dialah satu-satunya sejak awal hingga akhirnya nanti menjadi pemilik abadinya.