"Jika kau berbicara lagi, tidak akan ada sarapan untukmu besok pagi! Dan malam ini, kau pulang ke rumahmu saja! Menumpang di apartemenku, buat apa?" Silvia kesal. Dia tidak ingin temannya berubah menjadi seseorang yang tidak logis.
"Kau sangat tega." Edrei memancungkan mulutnya.
Semua orang berbicara tadi, hanya Kaili seorang yang tidak bergabung di dalamnya. Bahkan tadi kedua orang itu tidak menyapanya. Kaili dapat merasakan hawa ketidaksukaan mereka terhadapnya. Mendadak Kaili merasa, dirinya-lah orang asing di sini, padahal dia kan seorang istri.
Apalagi setelah mendengar pengakuan temannya Silvia, Kaili merasa dirinya sangat menyedihkan. Dia yang seperti ini dan Silvia yang sehebat itu, benar-benar perbandingan yang sangat kontras. Silvia terlihat sempurna dengan segala kebolehan yang dimiliki, sementara Kaili?
Dia tidak bisa melakukan apa pun. Jangankan memasak, dia bahkan hanya seseorang yang pengangguran. Dia tidak pernah bekerja. Orang tuanya selalu memanjakan dia bak seorang putri dari sebuah kerajaan besar. Semua kebutuhan dia dipersiapkan dengan baik. Dia yang seperti ini, merasa bahwa dirinya dan hewan peliharaan, tidak ada bedanya.
Dia pernah ingin bekerja, ayahnya menentang dengan keras. Walau begitu, Kaili tentu saja tidak akan menghiraukan ayahnya. Dia memang berencana untuk pergi bekerja setelah wisuda. Siapa yang menduga, baru sebulan wisuda dia malah harus menikah. Kesempatannya untuk mencari pekerjaan pun hilang.
Kaili mengalami keterlambatan wisuda dari yang seharusnya. Dia wisuda di umur 25 tahun. Kecelakaan 5 tahun lalu, membuatnya berhenti sekolah sementara waktu.
Kaili melemparkan pandangan ke luar jendela mobil. Bulu matanya bergetar, pertanda dia akan menangis. Tetapi saat ini dia sudah sangat menyedihkan, jika dia masih harus menangis, bukankah itu menelanjangi diri sendiri?
Dia melihat dirinya yang tidak memiliki kualifikasi apa pun. Dia merasa sangat insecure. Orang tuanya ini...apakah ini yang dinamakan dengan kasih sayang? Membuatnya tidak mengerti apa pun. Jika sekarang ingin memikirkan tentang karier dalam dunia pekerjaan, dan mencoba menjadi wanita yang serba bisa, apakah terlambat?
"Lalu, bagaimana dengan orang itu?" Suara Dexter membuat jiwa Kaili kembali ke tubuhnya. "Apakah dia sudah baik-baik saja?"
"Baik-baik bagaimana? Dia terlalu banyak mengonsumsi alkohol, menyebabkan lambungnya mengeluarkan banyak darah! Dia harus dirawat dengan intens, paling tidak 3 hari di rumah sakit. Tadi aku hanya membantunya meringankan rasa sakit, kemudian menghubungi ambulans dan dokter Kenzo, agar membantu untuk memeriksanya."
Dexter tampak puas, sudut bibirnya terangkat, "Sangat bagus. Silvia sangat hebat."
Kaili mendengar pujian Dexter, pria yang menyetir itu memuji tunangannya dengan begitu hangat. Membuat rasa sakitnya terangkat sempurna. Suaminya, bahkan di depannya berani memuji wanita lain.
Dexter tidak merasa pujiannya pada Silvia berlebihan, karena dia sering melakukan hal itu. Dia selalu mendukung apa pun yang Silvia lakukan. Dia juga tidak mempertimbangkan perasaan Kaili, menurutnya, apa yang salah dengan pujian? Lagian bagaimana perasan Dexter pada Silvia, Kaili sangat jelas. Dia sudah menceritakan hubungannya dengan Silvia tadi, seharusnya dia cukup mengerti.
Dan yang paling penting.....Kaili tidak menyukai dirinya. Seharusnya tidak ada masalah.
Di apartemen kediam Silvia.
Silvia turun dari mobil dan berjalan ke depan pintu pengemudi, sedikit mencondongkan kepalanya dan berkata, "Apa kakak tidak singgah dulu?"
"Tidak. Sudah malam. Kakak iparmu juga butuh istirahat. Semalam dia demam."
Saat Dexter meyebut Kaili sebagai 'kakak ipar' Silvia, tidak ada keraguan di mata pria itu. Ini...bukannya secara tidak langsung meminta Silvia harus berhenti mencintainya? Silvia memejamkan mata, menerima kepedihan itu.
Sementara Kaili yang mendengar hal itu sedikit terkejut. Mustahil jika dikatakan dia tidak senang. Dia sangat senang, tetapi ada perasaan sedih juga. Kenapa suaminya baru mengingat kalau dia ada di sampingnya sejak tadi? Apakah menyenangkan, setelah membuatnya merasa sangat kecil di depan wanita lain, kini dia menyanjungnya. Kaili menjadi sangat kesal!
"Hemp... Pergilah. Hati-hati di jalan." Silvia memberikan senyum terbaiknya, walaupun jantungnya meringis kesakitan.
Terhadap Dexter, Silvia memang selalu mengusahakan untuk memberi segala yang terbaik pada Dexter. Berharap dengan begitu, Dexter bisa membuka mata dan melihatnya. Namun ... itu tidak pernah terjadi.
"Begitu masuk, nanti bersih-bersih dan langsung tidur saja. Jangan lagi bercerita dengan Nona Edrei. Sudah sangat malam, besok kan harus kerja."
Silvia mengangguk dan Dexter membelai lembut kepala Silvia sebelum meninggalkan pintu utama apartemen tersebut.
Sesampainya di apartemen Dexter, Kaili masih tetap diam. Dexter meliriknya dengan heran. "Ada apa?" tanyanya lembut.
"Tidak! Aku hanya sedikit lelah." Kaili memaksakan senyum.
"Pergilah bersih-bersih, dan segera tidur."
Melihat Dexter yang berjalan keluar kamar, buru-buru Kaili bertanya, "Kau mau ke mana?"
"Mau ke ruang kerja. Ada beberapa pekerjaan yang harus diselesaikan."
"Oh. Kau ... kau nanti tidur di mana?" tanya Kaili dengan ragu-ragu.
Dexter memicingkan mata, "Kenapa? Apa kau ingin kita tidur di ranjang yang sama?"
Tanpa ragu, dengan mantap, Kaili menjawab, "Memangnya tidaj boleh, ya? Kita kan sudah menikah, bukannya itu sudah seharusnya?"
Melihat kedekatan Dexter dengan Silvia tadi, Kaili merasa tidak bisa terus hidup dalam gengsi. Dia harus mengejar cinta suaminya, jika tidak, suaminya akan berpaling ke pelukan wanita lain.
Apalagi Silvia sangat cantik, sikapnya sangat lembut, juga memiliki banyak kebolehan. Semua yang diinginkan pria, ada padanya. Kaili mana bisa mengambil resiko tersebut! Apalagi, tadi sore mereka hampir melakukan itu, seharusnya tidak akan pisah ranjang, kan?
Dexter tidak menduga bahwa Kaili langsung mengiyakan dengan cepat, bahkan tanpa berpikir terlebih dulu. Hatinya sedikit terangkat, dia sangat bahagia. Tetapi, Dexter tidak buru-buru menunjukkannya.
"Kau tahu, kalau kita tidur di ranjang yang sama, itu tidak hanya sekadar tidur. Apa kau siap?"
Jantung Kaili berdegup, pipinya bersemu membayangkan hal yang akan terjadi jika mereka berada dalam ranjang yang sama. "....Ten-tentu saja. Pun, tadi sore bukannya ... hampir?"
Blush!
Tidak tahu datang dari mana keberanian seorang Kaili mengatakan hal itu. Mungkin kecemburuan membuat sistem otaknya bermasalah. Jika tidak, mana mungkin dia mengatakan omong kosong itu.
Suara Kaili sangat kecil, tetapi semua yang dikatakannya sampai dengan baik di telinga Dexter. Dexter tidak tahan untuk tidak merasa bahagia. Tapi ... Kaili kan baru saja demam tinggi, apa Dexter tidak keterlaluan jika memaksa melakukan hal itu? Terakhirnya, dia hanya bisa mengontrol diri dulu.