Ke empat lelaki itu menoleh ke arah pintu yang di dobrak oleh seseorang. Salah satu dari mereka berjalan menghampiri lelaki yang kini tengah menahan amarahnya, apalagi melihat sang istri dalam keadaan yang terikat di ranjang tanpa pakaian. Dadanya bergemuruh, bak gunung berapi yang akan meletus.
"Siapa kau? Beraninya kau lancang mengganggu pagi indah kami!" bentak salah satu dari mereka.
"Aku adalah malaikat pencabut nyawa kalian!" ucap Diego penuh penegasan.
"Hahaha ... apa kau bilang? Malaikat pencabut nyawa? Kau sudah tak waras anak muda, pergilah apa kau juga ingin menikmati sarapan kami?"
Diego makin pemperkuat kepalan tangannya mendengar kata-kata mereka, tanpa pikir panjang ia memberi hadiah sebuah pukulan pada mereka satu persatu. Tak mau kalah dengan ulah Diego yang di anggap mengganggu pagi mereka, serangan balik pun di lancarakan pada Diego. Perkelahian pun tak terelakan, satu lawan empat. Odie tak kuasa menahan haru melihat sang suami yang ia kenal selalu kalah dalam urusan berkelahi, tetapi nyatanya Diego bisa dengan mudah memberi pelajaran pada ke empat lelaki kurang ajar itu.
Seperti saat melumpuhkan Odie, mereka pun mencoba berbuat licik. Salah satu mereka mengambil vas bunga di atas nakas dan berniat memukulkannya pda Diego.
"Diego ... awas!" teriak Odie saat lelaki itu sudah berada di belakang dan siap memukul Diego.
Diego menoleh dan langsung menangkis pukulan lelaki itu. Ia mengambil vas itu dan memukul balik.
"Argh ...," teriak lelaki itu kesakitan.
Darah pun mengalir dari pelipis lelaki yang berhasil Diego serang. Dengan amarah yang sudah sangat memuncak ke tiga lelaki yang masih bugar kembali menyerang Diego. Mereka yakin, bahkan sangat yakin jika bisa mengalahkan Diego yang hanya sendiri sedang mereka berempat.
Diego sengaja menuju lokasi penyekapan Odie sendiri menggunakan motor, sedang anak buah nyonya Stevany menyusul ke sana bersama Polisi.
Perkelahian semakin panas, mereka terus menyerang Diego. Dua dari mereka berhasil mengunci pergerakan Diego. Mereka memegangi lengan dan membiarkan satu temanya memukuli Diego hingga babak belur. Darah pun mengalir dari sudut bibirnya akibat sebuah pukulan yang begitu keras di pipinya. Tak berhenti sampai di situ, mereka mengambil sebatang kayu dan memukulkannya pada kaki dan kepala Diego. Seketika tubuh kekar itu jatuh menyentuh lantai,matanya pun tertutup.
"Diego ...!" teriak Odie yang tak kuat menyaksikan semua itu. Ia berharap sang suami sadar.
Odie terus berusaha melepaskan ikatannya, akan tetapi mereka bertiga datang. Mereka mulai beraksi menikmati tubuh indah yang ada di hadapan mereka. Odie terus meronta berusaha melepaskan diri ia tak mau harga dirinya sebagai seorang istri di rendahkan oleh ketiga lelaki brengsek itu. Air matanya pun tak kunjung berhenti melihat Diego pingsan dengan bersimbah darah.
"Lepas brengsek! Diego ...!" teriak Odie kembali. Sekuat tenaga ia mencoba melindungi kehormatannya.
Mata Diego terbuka lebar saat mendengar teriakan Odie. Dan tubuhnya seketika seperti mendapat pasokan tenaga baru. Diego bagkit dan kembali menyerang ketiga lelaki itu yang sedang berusaha mendapatkan apa yang mereka inginkan dari Odie.
Bugh!
Bugh!
Bugh!
Diego memukul mereka dengan membabi buta. Tak lama, anak buah nyonya Stevany pun tiba di lokasi bersama Polisi. Diego bergegas menghampiri Odie dan menarik selimut untuk menutupi tubuh sang istri.
Polisi dengan sigap menangkap ke empat lelaki yang menyekap Odie. Sementara anak buah nyonya Stevany segera menyiapkan mobil untuk mengantar bos mereka menuju villa.
Diego menggendong sang istri ala bridal style menuju mobil. Ia tak memperdulikan keadaannya sendiri. Luka yang ia rasakan tak sebanding dengan jika ia sampai terlambat datang menolong sang istri. Beruntung ia datang di waktu yang tepat, sehingga bisa menyelamatkan Odie dari lelaki brengsek itu. Diego tak melepaskan pelukannya sama sekali. Penyesalan mendalam Diego rasakan karena bodoh bahkan sangat bodoh karena meninggalakan istrinya di tempat asing.
Sesampainya di villa Diego kembali menggendong Odie memasuki villa. Ia merebahkan tubuh sang istri yang tertidur di ranjang, sedangkan ia memilih masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri.
Odie membuka mata, hatinya mulai tak tenang. Ia menyapu pandangannya ke setiap sisi ruangan itu, perasaan lega memenuhi hati Odie karena ia sudah berada di kamarnya. Namun, ia mencoba mencari keberadaan sang suami yang belum terlihat batang hidungnya. Odie memposisikan untuk duduk, meski sekujur tubuhnya terasa sangat nyeri. Apalagi di pergelangan tangan dan kakinya, bekas ikatan itu masih terasa perih.
Pintu kamar mandi terbuka, menampakan sosok yang di cari Odie sedari tadi. Senyum menawan di tebar oleh si bos angkuh Odie. Senyuman hangat itu menghilangkan rasa sakit yang Odie rasakan.
"Kau sudah bangun? Apa ada yang sakit?" suara Diego terdengar penuh kecemasan.
"Aku baik-baik saja, bagaimana dengan lukamu?" Odie balik bertanya dan mengamati tubuh Diego yang terlihat tanpa penghalang, karena lelaki itu hanya melilitkan handuk yang menutupi tubuh bagian bawahnya saja.
"Aku lelaki Odie, jadi apa arti luka ini? Tadi anak buah Ibu sudah membelikan obat jadi kau tenang saja," ucap Diego agar Odie tak cemas.
"Oh ... sukurlah, sekarang aku mau membersihkan diri dulu."
Odie beranjak dari ranjang menuju ke kamar mandi. Ia melepaskan seluruh pakaian, bukan! Tepatnya selimut yang Diego gunakan untuk menutup tubuh sang istri. Niat Odie membersihkan diri pun berubah. Ia menyaksikan tanda kepemilikan lelaki-lelaki brengsek itu. Air matanya kembali membasahi wajah cantiknya.
Odie mengepalkan tangannya mengingat saat bibir mereka menyusuri tubuhnya. Jijik, itu yang ia rasakan. Ia menyalakan shower agar Diego tak mendengar tangisnya. Odie kembali melakukan hal yang sama seperti saat ia melakukan sebuah kesalahan bersama Diego.
Ia terus mengosok tanda-tanda itu dengan kasar. Ia tak peduli jika kulitnya akan terluka, yang terpenting tanda itu bisa lenyap pikirnya. Ini sangatlah mustahil, akan tetapi Odie tetap saja melalukannya.
Diego sudah selesai mengobati lukanya, ia baru sadar jika sudah hampir satu jam Odie masih berada di kamar mandi. Ingatannya pun kembali ke hari itu. Hari di mana Odie mencoba melukai dirinya saat mereka melakukan kesahan malam itu.
Tanpa pikir panjang, kaki jenjang Diego berlari menuju kamar mandi. Ia langsung mendobrak pintu itu. Dan apa yang ia pikirkan pun benar terjadi. Odie sedang berdiri di bawah guyuran shower dan tentunya berusaha melukai tubuhnya. Diego mematikan shower dan mengambil jubah mandi, ia langsung membungkus tubuh Odie dan menggendongnya menuju ranjang.
Diego mengambil hairdryer untuk mengeringkan rambut sang istri, ia tak mau kejadian hari itu terulang lagi. Saat Odie demam karena kedinginan.
"Untuk apa kau melakukan ini lagi?" tanya Diego selembut mungkin.
"Maaf," hanya itu kata yang keluar dari bibir Odie.
"Apa yang merela lakukan sebelum aku datang?" Diego menanyakan hal yang ingin ia tahu.
"Tak ada," kawab Odie singkat.
Namun, Diego mengamati tingkah Odie. Tangannya terlihat meremas jubah mandinya. Penasaran akan apa yang di sembunyikan Odie ia menarik jubah mandi itu.
Matanya membulat melihat tanda yang berwarna merah sedikit biru itu. Seketika darahnya kembali mendidih, tangannya terkepal kuat membayangkan betapa hancurnya perasaan Odie saat para lelaki itu melakukannya.
Ia melihat air mata sang istri kembali pecah. Perlahan ia menarik tubuh Odiw kadalam pelukannya.
"Apa aku boleh menghapus noda itu?" ucap Diego sambil membelai lembut punggung Odie.
Bersambung...