Chapter 43 - Persiapan

"Apa?" Calvin menoleh karena mendengar suara gumaman Emma yang tidak jelas.

"A.. apa?" Ulang Emma bingung.

"Apa kau bicara padaku barusan?"

Emma menggeleng "Tidak. Aku tidak bicara apa-apa." Bohongnya.

"Oh.. Sepertinya telingaku bermasalah." Jawab Calvin.

Ternyata mereka sudah tiba di parkiran. Calvin memarkirkan motornya dan membantu Emma turun dari motornya yang tinggi. Kebetulan Emma sedang mengenakan rok yang agak ketat, jadi Calvin berpikir gadis itu mungkin akan kesulitan untuk turun dari motor.

"Trimakasih." Ucap Emma.

"Kelas pertama adalah komunikasi. Apa kau ikut kelasnya?" Tanya Calvin.

Emma mengangguk "Aku tidak pernah absen kelas sepertimu. Jadi jadwalku normal." Kekehnya.

Calvin tersenyum "Waktu tidak cukup untukku. Jika aku menjadi dewa, aku akan membuat waktu berputar 48 jam dalam sehari."

Emma tertawa "Kalau itu terjadi, maka aku akan pindah planet. Ngomong-ngomong, bagaimana luka-lukamu yang kemarin?" Tanya Emma. Karena menggunakan baju musim dingin, seluruh tubuh Calvin tertutup rapat.

"Sudah lumayan banyak yang sembuh. Setelah hari itu, aku ke rumah sakit untuk merawat lukaku. Untungnya badanku cepat pulih."

"Calvin, apa kau tetap akan melakukan hal berbahaya seperti itu? Kejadian kemarin bukan sesuatu yang bisa diremehkan. Maksudku.. Kau bisa saja mati di tangan mereka." Ucap Emma.

Calvin tersenyum tipis "Kau akan tau jika seseorang yang berarti bagimu terluka karena kejahatan mereka. Tentu saja aku harap itu tidak pernah terjadi."

"Sebenarnya menurutku, ini terlalu berbahaya. Tapi jika kau merasa hal itu patas dilakukan dan kau sanggup, aku tidak akan bilang apa-apa lagi." Emma berdehem.

"Sepertinya baru kali ini aku melihatmu perduli padaku secara terang-terangan." Tawa Calvin.

Pipi Emma mendadak memerah, hingga gadis itu memalingkan wajahnya "Kalau begini saja kau bilang perduli, lalu bagaimana dengan yang aku lakukan kemarin? Aku benar-benar masuk ke markas orang-orang gila itu untuk menolongmu. Apakah itu tidak cukup perduli?"

"Ya, itu termasuk. Maaf aku lupa untuk menganggapnya, karena ada Troy di sana." Ia tersenyum manis.

"Dasar aneh." Sahut Emma. Beruntungnya ia menggunakan makeup sehingga rona merah pada pipinya tertutup oleh alas bedak. "Ngomong-ngomong, sepertinya aku jarang sekali melihat Troy di kampus ini. Terakhir aku melihatnya sekilas di kantin. Itu juga adalah yang pertama kalinya bagiku."

"Benarkah? Aku beberapa kali berpapasan dengannya. Memang Troy dan teman-temannya jarang berkeliaran. Mereka selalu sibuk di kelas Judo. Tapi sepertinya kau memang jarang berkeliling, kan?"

"Hem.. Itu benar juga."

"Hai Calvin!" Beberapa gadis menyapa pria itu saat mereka memasuki gedung kampus. "Oh, ada Emma juga. Hai!" sambung mereka dengan menatap Emma ramah.

Sama seperti Calvin, Emma juga membalas sapaan mereka dengan ramah. Namun Emma tau, setelah melewati gerombolan gadis tersebut, mereka langsung membicarakannya dari belakang. Terlebih karena Emma terlihat berjalan bersama Calvin yang menjadi idola para gadis.

Sebenarnya Emma merasa kurang nyaman ketika berjalan bersama Calvin di kampus. Semua orang akan menatap mereka seakan mereka berdua adalah sepasang selebriti yang sedang terlibat skandal besar. Sudah cukup Emma mendapatkan pandangan dari para pria. Dengan berjalan bersama Calvin, ia seakan mendapatkan porsi dua kali lipat. Untungnya Emma tidak pernah perduli terhadap gosip. Jadi ia tidak akan merasa terganggu atas gosip yang kemungkinan akan beredar, akibat dirinya yang berjalan menuju ke kelas berduaan bersama pria itu.

Begitu sampai ke kelas, Emma beranjak ke kursi yang biasa ia duduki. Namun anehnya, Roger tidak ada di sana. Emma lanjut duduk di tempatnya sementara Calvin masih berdiri di samping.

"Apa aku boleh duduk di sampingmu?" Tanya pria itu.

Emma menatapnya dan mengerjap beberapa kali. Ia merasa bingung kenapa Calvin perlu meminta ijin hanya untuk duduk di sampingnya? Tentu saja ia bisa duduk di manapun ia mau, asalkan bukan di meja dosen.

"Tentu saja. Tapi.. mungkin kau bisa duduk di sini." Emma menunjuk kursi di sebelah kirinya. "Biasanya Roger yang duduk di sini." Katanya dengan menunjuk kursi di sebelah kanannya.

"Oke." Calvin lantas duduk di kursi yang Emma tunjuk.

Selagi menunggu kelas dimulai, Emma dan Calvin asik mengobrol. Sebenarnya Emma tidak menyangka kalau ternyata sangat menyenangkan mengobrol bersama Calvin. Pria itu memiliki wawasan yang luas dan terlihat pintar. Caranya bicara juga enak di dengar. Pantas saja banyak gadis-gadis yang menyukainya.

Berbeda dengan Emma, Calvin merasa percakapannya dengan gadis itu terasa sedikit mengganjal. Ya, itu karena Emma terlihat agak gelisah, seperti sedang menunggu seseorang. Tentu saja, Emma pasti menunggu Roger Timothy. Pria yang membuat seorang Emma sampai menyiapkan kursi untuknya.

"Kau masih menunggu Roger?" Tanya Calvin di tengah obrolan mereka.

Emma mengangguk, lalu kembali melihat pintu kelas "Biasanya dia sudah datang sejak pagi. Sekarang kelas hampir penuh namun ia belum muncul juga."

"Mungkin dia tidak masuk."

"Entahlah.. Aku harap dia masuk hari ini." Gumam Emma.

Namun nyatanya, Roger tidak kunjung datang hingga tempat di samping kiri Emma akhirnya diisi oleh siswa lain.

Kelas sudah berjalan selama lima belas menit. Selama itu pula Emma kerap melirik pintu kelas. Namun tidak ada tanda-tanda kedatangan Roger. Mungkin benar kata Calvin, bahwa dia sedang absen.

"Tenanglah Emma. Mungkin dia sedang tidur-tiduran di kamarnya." Bisik Calvin.

Emma menoleh pada Calvin yang tersenyum hangat padanya, namun tersirat rasa heran pada wajah itu. "Maaf, aku membuatmu merasa tidak nyaman yah?"

Calvin tertawa kecil "Sedikit. Tapi tidak apa-apa. Aku tau kau perduli padanya."

Emma ikut tersenyum hangat. Beruntung ia bisa memiliki teman sebaik dan pengertian seperti Calvin.

"Aku tau kau sangat perduli pada Roger. Tapi tolong jangan lupakan pesanku. Jangan terlibat dengan masalahnya. Apa lagi yang berhubungan dengan para berandal. Kau bisa memanggilku jika membutuhkan pertolongan." Ujar pria itu tiba-tiba.

Mendengar itu, Emma berdehem salah tingkah karena merasa tertuduh. Namun ia tetap mengembangkan senyumnya yang kini menjadi tipis "Tidak ada masalah saat ini. Tentu aku akan menjauh dari masalah."

"Bagus kalau begitu." Sahut Calvin.

***

Kedua iris biru cerah itu bergetar. Pada lensa kacamatanya terpantul cahaya biru dari komputer di dalam ruang kamar yang gelap. Air matanya yang sudah lama tergenang, tidak mampu ia bendung lagi dan akhirnya mengalir keluar.

Katanya, seorang pria tidak boleh menangis. Namun bagi Roger, terlalu menyakitkan ketika melihat gadis yang ia cintai menderita sebegitu parah. Dan dadanya terasa ditikam saat menyadari sebuah kenyataan bahwa ia tidak mampu menolongnya.

Bagi Roger, tidak masalah hidupnya berantakan. Tidak masalah jika ia harus dipukuli dan dipermalukan setiap hari. Asalkan jangan gadis yang ia cintai.

Layar komputer tetap memutar film tersebut. Seakan layar itu menyedot keluar jiwa Roger dan menyiksanya.

Roger menjambak rambutnya sendiri dengan kedua tangan. Tangisnya pecah meraung dengan kepalanya yang terus menggeleng.

"TIDAKKKK!!!"

***

Klak! Klak! Klak!

Langkah sepatu bergema di sebuah toko sepi. Musik rock mengalun dengan volume kecil. Itu adalah sebuah toko yang menjual berbagai aksesoris para pemotor.

Emma sengaja memilih sebuah toko yang tidak terlalu terkenal di dalam mall yang terletak di pusat kota Handway. Ia tidak suka keramaian.

Sebuah rak besar memamerkan berbagai koleksi helm dengan berbagai macam warna. Emma berdiri di depannya cukup lama. Ia kebingungan memilih helm yang paling bagus dan sesuai dengan seleranya.

Sama seperti gadis pada umumnya, Emma akan merasa kebingungan jika dihadapkan pada beberapa pilihan. Terlebih semua helm di tempat itu bagus-bagus dan sesuai dengan selera Emma.

"Apa kau memerlukan bantuan, Nona?" Tanya penjaga toko. Seorang pria berumur empat puluhan dengan kumis dan jenggot tebal mengembang, tangan penuh tato, dan sebuah buff di kepalanya. Ia benar-benar terlihat seperti anggota geng motor tahun 90'an.

"Oh? Tidak. Aku hanya sedang memilih helm paling bagus." Jawab Emma ramah.

"Hem.. Tapi helm untuk perempuan ada di rak sana." Ia menujuk pada rak satunya lagi yang menampilkan warna-warna helm lebih cerah dan manis. "Atau mungkin kau sedang mencarikan untuk pacarmu?"

"Umm.." Emma berpikir sejenak lalu mengangguk "Kau benar. Aku akan membeli helm untuk pacarku. Apa helm full face terbaik yang kau miliki?"

"Oh begitu. Kau mencari yang warna apa? Helm yang paling laku di pasaran rata-rata berwarna hitam." Pria itu melangkah pada salah satu rak dengan jajaran helm full face dengan harga yang cukup tinggi.

"Aku butuh yang tidak terlalu mencolok. Warna hitam juga boleh, yang penting kualitasnya bagus. Ah.. dan aku butuh yang tidak mudah terlepas dari kepalaku." Jelas Emma.

Pria itu menatap Emma heran 'Tidak terlepas dari kepalanya? Bukannya tadi dia bilang mau beli helm untuk pacarnya? Lagipula hal berbahaya apa yang akan dilakukan sampai-sampai takut helmnya lepas dari kepala?'