Chapter 33 - Menemukan

"Sebenarnya aku kenapa?" Gumamnya lagi pada diri sendiri.

Tiba-tiba layar ponselnya menyala. Emma baru teringat tiga jam yang lalu Jonas sempat mengirimkan pesan singkat padanya, yang belum sempat ia balas. Seperti seorang ayah, Jonas rutin menanyakan kabar Emma setidaknya tiga hari sekali. Ia sangat tau bagaimana cara memperlakukan gadis itu dengan benar.

Emma adalah tipe gadis yang tidak suka diperhatikan secara berlebihan, namun selalu menghargai kasih sayang yang ia terima. Ia sangat menghargai Jonas yang perduli padanya dan sebagai rasa terimakasih, ia jadi cukup penurut pada pria paruh baya itu.

Tanpa sadar, Emma sudah memencet tombol sakral pada ponselnya. Ya, tombol nomor 5 yang merupakan panggilan cepat ke ponsel Jonas.

Hanya selang beberapa detik, Jonas dengan sigap langsung mengangkat telpon sang tuan putri.

"Hallo. Apa terjadi sesuatu, Emma?" Tanya Jonas langsung. Suaranya masih terdengar segar, seakan ia bukan manusia yang membutuhkan waktu untuk tidur. Tidak biasanya Emma yang menghubungi pria itu duluan.

"Em.. Itu.. Sebenarnya aku tidak berniat menelpon. Tombolnya tidak sengaja terpencet." Jelas Emma dengan agak terbata.

Hening beberapa detik di sebarang "Ya.. Itu bisa saja terjadi." Jawab Jonas enteng. "Karena sudah terlanjut terhubung, aku baru ingat belum menanyakan kabarmu selama dua hari ini. Bagaimana kabarmu?" tanyanya.

Emma mengangguk kecil "Aku baik-baik saja. Makanan di sini enak dan aku mendapat beberapa teman."

"Begitu, ya? Bagaimana dengan kelas balletmu?"

"Bagus." Jawab gadis itu singkat.

Jonas dapat mendengar nada suara Emma yang terdengar sedih, namun berusaha gadis itu tutupi.

"Sepertinya kelas balletmu tidak terdengar semenyenangkan itu. Apa kau berpikir untuk merubah haluan?" Tebak Jonas.

Alis Emma langsung menukik "Menyenangkan! Tentu saja menyenangkan! Tidak ada yang lebih menyenangkan dari pada ballet!"

Jonas tertawa di sebarang "Nah.. Sekarang baru terdengar semenyenangkan di awal." Ucap pria itu. "Apa aku boleh menebak-nebak? Aku mengira sepertinya kau memiliki sedikit masalah. Hem.. Apakah biaya parkir di sana lebih mahal.. Atau kau mungkin memiliki tetangga yang mengesalkan.. Apa yah?" ia berlagak bergumam sendiri.

"Ck!" Decak Emma. Ia tau Jonas sedang memancingnya. Emma tidak sebodoh itu untuk tidak mengetahui bahwa Jonas sangat mengerti dirinya. "Hey, Jonas. Ada yang ingin aku tanyakan padamu."

"Silahkan.."

Emma berpikir sejenak lalu menarik nafas dalam dan berdehem "Apa kau percaya takdir?"

"Takdir? Hem.. Terkadang banyak hal terjadi di luar kendali kita sebagai manusia. Aku suka menyebutnya sebagai takdir."

Emma menepuk pahanya sendiri "Benar, kan?! Itu terjadi diluar kendali kita. Seperti anak panah yang dilepaskan, pasti akan berbelok jika tiba-tiba ada angin kencang datang!"

Jonas mengangguk-angguk "Lalu apa hubungannya takdir dengan masalahmu?"

"Ini bukan masalah besar, Jonas. Tapi aku merasa ada banyak kejadian yang selalu saja menyeretku ke dalam masalah yang sama dengan yang selalu aku hindari." Jelas Emma.

"Itu dinamakan takdir jika kau tidak kuasa terseret dalam sebuah lingkaran. Tapi jangan salah mengira takdir, karena kau yang mengendalikan kakimu sendiri, kan? Apa yang terjadi hari ini, adalah akibat dari keputusanmu di hari kemarin." Ucap Jonas. Lalu ia berdehem, "Seorang pria tua pernah mengatakan itu padaku."

"Kau menjijikan, Jonas." Ucap Emma. Ia tau Jonas mengutip kalimat itu dari film-film bijak yang sering ia tonton.

"Emma.. Ada kalanya kita harus mengikuti apa keinginan hati kita. Jangan berpikir terlalu keras hingga itu menutup suara hatimu sendiri. Sepertinya kau sedang kebingungan. Sebagai seorang psikiater dadakan, aku menyarankan kau untuk memberikan kesempatan pada hatimu untuk berbicara." Ucap Jonas.

Kata-kata Jonas di telpon tadi membuat Emma terus berpikir. Hingga akhirnya ia tertidur pulas karena kelelahan.

Emma terbangun karena sinar mentari menyinari wajahnya melalui sela gorden kaca jendela. Suara burung-burung yang bermain di taman kecil rumahnya membuat suasana hati Emma jadi teramat baik. Seakan ia melupakan segala kejadian yang membuatnya merasa risau semalam.

Dengan langkah sempoyongan, Emma berjalan ke dapur untuk mengambil air. Ia meneguk segelas penuh air putih. Lalu kedua matanya entah mengapa menatap pintu menuju basement yang berada di samping kulkas.

Emma meletakkan gelasnya di atas meja konter sebelum membuka pintu tersebut. Ia menyalakan lampu dan menuruni anak tangga.

Hari ini adalah hari libur. Emma menatap pantulan dirinya sendiri yang berambut kusut dengan balutan setelan piyama bergambar kartun panda. Ia melihat rak yang berada di sudut ruangan. Di atas rak tersebut terdapat beberapa pasang sepatu ballet yang tersusun rapih. Mereka selalu terlihat sangat cantik di mata Emma.

Ia melangkah menghampiri rak tersebut. Namun ada yang mengganjal di hatinya. Ia tidak meraih satu pun pasang sepatu. Namun tangannya malah mengarah pada sebuah pintu lemari yang berada di samping rak tersebut.

Kedua mata Emma menatap isi lemari itu tanpa berkedip. Ia merasakan sebuah perasaan yang tidak nyaman di dadanya. Sebuah perasaan yang jika dihilangkan akan terasa menyenangkan. Itu adalah perasaan rindu.

Emma menarik mok yan jong yang sudah cukup lama ia angguri, keluar dari dalam lemari. Tangan halusnya meraba tiap tangkai-tangkai kayu tersebut. Dada gadis itu terasa bertalu-talu. Ia melihat kumpulan wajah pria-pria semalam yang membuat tangannya gatal, namun tidak berdaya.

"HIYAAAA!!" Krak! Sebuah pukulan lengan Emma layangkan pada balok kayu tersebut.

Hal itu entah mengapa membuatnya tersenyum.

"HIYAA!! HIYAA!!" Ia melayangkan pukulannya lagi.

Emma mengerti sekarang. Inilah yang Jonas maksud semalam. Ia harus diam sejenak untuk mendengarkan suara hatinya sekali lagi. Emma memang mencintai ballet. Ia tergila-gila pada ballet. Namun rasa cintanya itu sepertinya membuat Emma lupa bahwa ia juga menyukai bela diri. Ia suka bertarung. Sesuatu yang terlalu sering mengelilinginya, sehingga ia tidak menyadari bahwa ia sesungguhnya menyukai hal itu.

***

Malam itu, sebuah berita menggemparkan datang dengan cepat ke telinga seorang pria nyentrik dengan lusinan perhiasan emasnya. Berita tentang gagalnya The North Viking dalam menangkap satu ekor parasit yang dahulu tidak dianggap sama sekali oleh mereka.

Sebenarnya bukan masalah Calvin Lee yang berhasil lolos dari penangkapan tersebut. Tapi orang-orang yang membantu membebaskan pria itu. Nama Jita Kyoei lah yang seakan menusuk gendang telinga mereka hingga berdarah.

Berita gila itu sudah sampai pada telinga ketua kelompok Dragger. Kelompok yang hubungannya masih panas dengan The North Viking setelah daerahnya diacak-acak oleh kelompok bermotor tersebut.

"Aku tidak heran para pengecut itu bisa kalah. Ya.. itu karena mereka memang pengecut dan sangat lemah." Pablo Diablo mengetuk puntung rokoknya untuk merontokkan abu bara yang sudah memanjang.

Ia tidak bisa melupakan bagaimana kelompok sial itu menyerang jalan Jen Marrienya yang berharga. Mereka berpikir bisa mengambil alih tambang uang itu dengan mudah. Untungnya, mereka cukup bodoh untuk mempercayai tiga pria pecundang yang ternyata malah menusuk mereka dari belakang.

Pablo tidak pernah main-main dalam menanam modal. Tidak masalah mengeluarkan uang sedikit lebih banyak untuk memenangkan pertarungan. Tiga orang yang bernama Lary, Brian, dan Donny itu menjadi Trojan untuk kelompok The North Viking. TJ memang mahir dalam membakar semangat anggotanya, namun ia tidak pintar dalam stategi berbisnis.

Nyatanya, manusia normal akan lebih memilih tawaran yang lebih besar. Dan manusia semacam itu, juga akan rela menusuk orang dari belakang. Meski pada akhirnya, pikiran cetek itulah yang membuat mereka mendapat masalah baru di kemudian hari.

"Tapi dia dibantu oleh Jita Kyoei." Ucap pria berkaos putih oblong yang berdiri bersandar di ambang pintu tanpa berniat masuk ke dalam ruangan penuh asap rokok tersebut.