Chereads / The Black Swan Behind (Bahasa Indonesia) / Chapter 11 - Di Bawah Pohon Oak

Chapter 11 - Di Bawah Pohon Oak

Angin berdersir menerbangkan sisa dedaunan kering yang sudah lama jatuh ke atas tanah. Emma termenung sendiri, duduk di atas tembok beton setinggi satu setengah meter yang memagari sebuah pohon Oak besar yang menjadi salah satu ikon bersejarah di Universitas Jardin.

Emma sedang menunggu kelas ballet yang akan mulai sekitar satu jam lagi. Hang out pertamanya di kota Handway tidak memberikan kesan yang bagus. Hasilnya, Emma jadi kepikiran sampai sekarang.

Sayangnya, hari ini Emma tidak mendapati 'Lary and the gang' datang ke kampus. Dari pertama bertemu, Emma sudah dapat mencium betapa pecundangnya para laki-laki itu. "Mereka senang merundung yang lebih lemah. Karena itu mereka adalah pecundang." Gumam Emma sendiri.

Sebenarnya Emma merasa penasaran ingin bertemu dengan mereka. Namun jika dipikirkan, mungkin tidak berkesempatan bertemu para pecundang itu ada bagusnya juga. Emma harus mengingat bahwa ia tidak boleh mencari masalah di kehidupan barunya ini. Emma adalah gadis biasa yang sangat normal. Berperilaku baik dan cinta kedamaian, dan ballet adalah hidupnya.

Ia mendongakkan wajahnya ke atas, menatap cabang-cabang ranting botak dan menghela nafasnya meluas ke udara. Uap putih muncul akibat panas yang bertubrukan dengan udara dingin. Rasanya sunyi sekali.. Seharusnya Emma merasa damai, tapi hatinya tidak berkata demikian.

"Pohon ini ditanam oleh Helena Tonring. Seorang profesor wanita cerdas yang menjadi salah satu pendiri Universitas ini." Tiba-tiba sebuah suara berat mengejutkan Emma. Ia lantas menoleh.

"Oh.. Kau.." Gumam Emma dengan memberi senyuman. Di wajahnya masih tersisa ekspresi terkejut.

"Sedang menunggu kelas tambahan? Semua kelas reguler sudah selesai hari ini." Calvin ikut duduk di atas tembok, satu meter di samping Emma. Tidak ingin terlalu dekat, agar gadis cantik itu tidak merasa risih.

Gadis itu mengangguk kecil "Aku menunggu kelas ballet." Jawabnya dengan mengangkat sebuah tas karton pink bergambar angsa. Kemudian tatapannya tertarik pada tangan kanan Calvin. "Apa yang terjadi dengan tanganmu?"

Calvin melirik sekujur punggung hingga telapak tangan kanannya yang terbungkus oleh perban "Oh.. Aku terluka saat jatuh dari motor kemarin. Jalanan licin sekali."

Emma menyipitkan kedua matanya dengan terus menatap pria itu dengan curiga. Ia langsung teringat kejadian semalam yang nyaris saja ia lupakan. "Kemarin aku melihat ada aksi kejar-kejaran pemotor gila di jalan. Mungkinkah kau salah satu dari mereka?"

"Haha.. Yang benar saja. Aku bukan bagian dari mereka. Tapi mereka memang mengejarku semalam."

"Apa yang terjadi?" Tanya Emma penasaran.

"Mereka terciprat air dari ban motorku saat aku melewati mereka." Jawabnya enteng.

"Ah.. Begitu, ya?" Gumamnya mengambang.

"Dimana kau melihatku?" Kini Calvin yang jadi penasaran. Kejadian ia dikejar oleh para preman, terjadi saat malam sudah sangat larut. Dan rute yang ia lewati bukanlah jalan yang tepat untuk para pendatang yang tidak mengenal Kota Handway dengan baik.

"Kemarin aku pergi ke jalan Jen Marrie. Saat pulang, aku melihat motormu di depan halte dekat sana." Jawabnya.

Jalan Jen Marrie?! Rasanya nama jalan itu bagaikan petasan yang disulut dan meledak tepat di telinga Calvin. Untuk apa Emma datang ke pintu neraka itu?! Siapa yang mengajaknya?!

Calvin berusaha tenang, ia berdehem dan menatap Emma dengan sesantainya, "Maaf, bukannya ingin mencampuri urusanmu. Tapi, apa yang kau lakukan di sana? Bagaimana kau tau ada jalan Jen Marrie di kota ini?"

Apakah pertanyaan Calvin harus membuat Emma curiga? Sebagai seorang putri gangster kelas kakap, Emma sudah diajarkan sejak kecil untuk tidak menceritakan terlalu banyak hal tentang kehidupan pribadinya. Terutama kepada orang asing. Namun bukankah saat ini Emma adalah anak normal? Ia bukanlah gengseer lagi. Apa yang akan terjadi, jika seseorang tau semalam ia makan apa dan tidur dimana? Tidak akan ada hal apapun yang akan terjadi.

"Lary mengajak aku dan Roger main di jalan Jen Marrie." Jawabnya dengan mata menelisik. Kelihatannya Calvin mengetahui sesuatu tentang jalan itu.

Berengsek si Lary! Seharusnya ia tidak boleh membiarkan kadal-kadal itu mendekati Emma. Mereka suka memangsa gadis-gadis. Selama ini mereka tidak berani beraksi kalau ada Calvin di kelas. Karena itu, hampir semua anak perempuan di jurusan mereka, tidak ada yang jadi korban. Meski Calvin tidak tau, bagaimana nasib anak-anak perempuan di jurusan dan tingkat lainnya.

"Emma," Calvin menggusap lehernya dengan wajah tidak enak. "Aku harap kau tidak menganggapku terlalu sok dekat padamu.. Tapi kalau boleh, aku menyarankanmu agar tidak pergi ke jalan Jen Marrie lagi. Dan menurutku, gadis sepertimu juga sepertinya kurang cocok bergaul dengan Lary dan teman-temannya." Ia menutup dengan tawa kecil agar ia tidak terlalu terkesan menjengkelkan.

"Gadis sepertiku?" Emma menunjuk wajahnya sendiri dengan sebelah alis terangkat.

Calvin mengangguk kaku, wajahnya nampak terkejut sekaligus bingung "Y, ya.. Maksudku gadis baik-baik dan lembut sepertimu. A.. apakah aku salah?" Entah mengapa Calvin merasakan sebuah aura suram memancar dari kedua mata cantik di depannya.

Mendengar penjelasan Calvin, Emma lantas memalingkan padangannya ke depan. Ia mengerjap beberapa kali, hingga akal sehatnya bisa bersatu kembali. Lalu ia tersenyum tipis dan menoleh kepada Calvin lagi.

"Ah.. Iya benar. Maaf, tadi aku sempat mengira bahwa kau menyebutku sebagai perempuan malam atau sebagainya.. Hehe.." Ia menutupi mulutnya dengan keempat jemari lentiknya kala tertawa.

Calvin ikut tertawa lega "Tidak mungkin aku berpikir begitu, Emma. Sejak pertama bertemu denganmu, aku sudah bisa merasakan kau gadis seperti apa. Jujur, aku mengagumi dirimu yang sangat bersemangat mencapai cita-cita sebagai penari ballet." Ungkapnya dengan ceria dan setulus hati.

Jika bukan Calvin, mungkin Emma sudah menilai pria satu ini sedang mencoba menggodanya. Namun Emma sendiri juga bisa merasakan bahwa Calvin bukan seperti pria-pria lainnya yang begitu genit karena rupa Emma yang menarik. Sejak awal, Calvin memang suka membantu dan ramah tamah dengan tulus. Dan yang lebih menyentuh hati Emma lagi.. Calvin tidak bersikap seperti itu kepada Emma saja. Ia sering menyaksikan pria itu kerap membantu siapa saja dengan senyumnya yang manis.

Tunggu! Tapi kenapa Emma malah membayangkan segala kebaikan Calvin? Ia buru-buru menggeleng kecil untuk mengembalikan kesadarannya. Sementara Calvin hanya terus menatapnya dengan heran, meski tetap dengan senyuman tipisnya yang menawan.

"Ngomong-ngomong.." Emma mengalihkan pembicaraan. "Apa kau tau apa yang terjadi di jalan Jen Marrie? Sebenarnya, kemarin aku mengalami hal yang kurang menyenangkan di sana."

Calvin mengangguk-angguk. Sepertinya Emma sudah merasakan bertapa gilanya jalan sial itu. Tidak ada gunanya juga menutupinya dari Emma. Baiknya gadis itu mengetahui seberapa berbahaya jalan tersebut, agar nantinya ia tidak berani pergi ke sana lagi.

"Jalan Jen Marrie adalah jalan yang buruk. Di sana adalah sarang penjudi illegal. Bahakan jalan itu juga dikuasai oleh gangster yang suka meresahkan masyarakat.."