Chapter 3 - Teman baru

Setelah satu setengah jam mengurus berkas dan mengambil kunci loker, Emma melangkah terburu-buru ke kelasnya yang ada di lantai lima. Benar saja, mengurus administrasi di sini sangat lama. Entah memang di semua kampus seperti itu atau hanya di sini saja, Jonaslah yang selama ini mengurus untuknya. Yang jelas, Emma sudah terlambat masuk kelas sekarang.

Ia tiba di depan pintu yang sudah tertutup rapat. Jelas kelas tengah berlangsung di dalam. Ia mengetuk dua kali pintunya dan menggeser pintu itu hingga terbuka. Dosen pria tua berkacamata yang sedang berbicara, langsung berhenti dan menatap gadis itu diikuti oleh seluruh siswa kelas.

"Selamat pagi. Maaf aku terlambat." Ucap Emma tidak enak.

Dosen itu menatapnya dan melirik berkas-berkas yang berada dalam pelukan gadis itu. Ia pasti adalah murid pindahan.

"Baiklah. Untuk kali ini ku toleransi. Silahkan duduk. Ayo, cepat. cepat." Ujarnya sambil merapihkan kacamata. "Sampai dimana kita tadi.."

Emma mengangguk dan melangkah terburu-buru mencari kursi kosong terdekat. Akhirnya ia menemukan kursi kosong di baris ke dua dari depan dan langsung duduk di sana.

Banyak mata tertuju padanya selama jam pelajaran berlangsung. Emma menyadari hal itu. Dahulu, orang-orang melakukannya secara diam-diam karena takut padanya, namun kini para pria meliriknya secara terang-terangan. Ini adalah tantangan pertama untuk Emma, dia harus terbiasa pada situasi seperti ini.

"Ah.. Aku lupa membawa penghapus." Gumam Emma ketika ia salah memberi catatan pendek di buku cetaknya dan tidak ada penghapus di dalam kotak pensilnya.

Gadis itu melirik ke samping, pada anak laki-laki betubuh kurus dengan rambut coklat terang yang duduk di sisi kanannya. Sedangkan di sisi kirinya kosong karena ia duduk di paling ujung.

"Hai.. Aku Emma. Boleh pinjam penghapusmu sebentar? Aku lupa membawa milikku."

Pria itu langsung menengok dengan kikuk. Ia nampak terkejut dan kedua bola mata birunya sedikit bergetar. Aneh. Ia tidak menjawab, namun menyodorkan penghapusnya ke meja Emma. Gadis itu mengambil penghapus tersebut dengan menahan bingung, lalu ia menghapus bagian yang salah dan mengembalikan penghapus itu ke pemiliknya.

"Trimakasih." Ucapnya sambil tersenyum hangat. Namun laki-laki itu hanya mengangguk sedikit dengan gerakan tegang tanpa menoleh padanya sedikitpun.

'Kenapa anak ini?' Pikir Emma dalam hati.

Dua puluh menit berlalu dan Emma mengutuk dirinya sendiri di dalam hati. Ia kembali memberikan catatan di bagian yang salah. Meski bisa dicoret, namun ia tidak mau begitu, karena malah akan membuat dirinya sendiri kebingungan saat belajar ulang nanti.

"Maaf.. Boleh ku pimjam lagi penghapusnya?"

Pria itu kembali terkejut namun tetap dengan kepala menunduk. Ia mengangguk dan memberikan benda hitam berbentuk persegi panjang itu ke meja Emma. Gadis itu mengambilnya dengan tidak enak hati dan kembali menghapus bukunya.

"Trimakasih." Ia mengembalikan penghapus itu.

Lima menit kemudian..

'Akh! Sial! Kenapa aku salah tulis terus?!' Pekik Emma dalam hati. Apa ia grogi menghadapi semua ini?

"Eum.. Itu.. Maaf, boleh aku pinjam lagi penghapusnya?" Gadis itu meringis tidak enak.

Pria tadi hanya diam, perlahan ia mengambil lagi penghapusnya namun kali ini sambil merogoh sesuatu dari dalam kotak pensil. Ia mengeluarkan cutter kecil dari sana lalu memotong penghapus itu menjadi dua.

"Untukmu." Ia meletakan satu bagian penghapus tadi di atas meja Emma.

"Eh? Kau sunggung memberikannya padaku? Terimakasih yah.." Ucapnya sungkan. Ia tidak tau pria ini melakukan hal itu karena ia memang baik atau justru karna ia kesal digangu terus. Apapun itu, Emma bertekad akan mengganti penghapus pria ini dengan yang lebih bagus.

Jam pelajaran akhirnya selesai. Sementara membereskan barang-barang, Emma merasa tertarik pada pria di sampingnya yang berbagi penghapus padanya itu. Entah mengapa, ia merasa pria ini adalah orang yang baik dan akan menjadi teman yang baik juga.

"Hei.. Maaf tadi aku sudah menganggumu. Ngomong-ngomong, kita belum berkenalan dengan benar. Siapa namamu?" Emma menjulurkan tangannya.

Pria itu menatap sesaat tangan mulus dan lentik gadis itu. Apa ia bermimpi? Apa gadis ini sudah buta sehingga tidak dapat melihat wujud dirinya yang sudah jelas adalah pecundang? Anak kecil saja biasa langsung mengetahuinya dengan melihat dirinya sekilas.

"Ehem.." Emma berdehem. Ia bisa melihat pria ini memiliki sifat pemalu.

"A.. Aku.. Namaku Roger Timothy." Ia menjabat tangan hangat dan selembut sutra gadis cantik dan baik di sampingnya itu.

"Aku Emma Hiland. Senang bertemu denganmu. Ku harap kedepannya kita bisa berteman baik." Ucap Emma ramah.

Jantung Roger serasa dilempar ke sebuah sumur kering dan ditimbun oleh berton-ton kuntum bunga. Ia benar tidak salah dengar, kan? Gadis cantik, modis, dan ramah ini mau berteman dengan orang seperti dirinya? Sebaiknya ia tidak berharap.

"Em.. Trimakasih." Jawab Roger, dengan secepat kilat melepas tangannya. "A.. Aku duluan."

Pria itu langsung berdiri dan melangkah terburu-buru untuk keluar kelas. Namun tiba-tiba ia tersungkur jatuh ketika melewati jajaran kursi sekelompok pria bertubuh besar. Salah satu dari mereka menyandung kaki Roger yang malang.

Emma langsung berdiri akibat terkejut melihat teman barunya terjatuh. Roger menatap gadis itu sekilas, berpikir kini Emma bisa lihat dengan jelas siapa dirinya di kelas ini. Ia adalah pecundang. Tatapan mata biru itu sangat sendu dan sedih, membuat hati Emma teriris sementara kakinya masih terpaku di balik mejanya. Pria itu segera bangkit dan berlari kabur keluar dengan kepala menunduk. Sementara kelompok pria yang melakukan itu? Mereka cekikian dengan senangnya.

"Dasar anak-anak setan!" Geram Emma dalam hati. Jika bukan kerena ingin menjadi gadis normal, ia sudah patahkan kaki mereka dalam sekali tendangan.

Sadar-sadar, ternyata hampir semua mata di kelas sudah terarah pada gadis itu. Ia tersenyum miring dan kembali duduk dengan kikuk. Namun anak-anak di kelas nampak tersenyum ramah padanya, beberapa anak mulai menghamprinya, tentu kebanyakan adalah pria.

"Hai! Siapa namamu? Boleh kenalan?" Sapa seorang pria dengan rambut coklat gelap model undercut.

"Emma." Jawab gadis itu singkat. Pria itu adalah salah satu anak dari kelompok pria yang tadi menyandung kaki Roger.

"Aku Lary Hillbert. Senang berkenalan denganmu."

"Aku Brian Dallas. Kelas managemen anaknya kompak, jadi jangan sungkan kalau butuh bantuan." Sela pria berambut hitam jabrik dengan gaya rocker.

"Trimakasih. Aku duluan, ya." Ucap Emma ramah, meski dalam hati ia tidak sudih berteman dengan anak-anak tukang bully ini.

"Kalau mau makan di kantin, kau bisa bergabung ke meja kelompok kami." Tawar Lary.

"Trimakasih tawarannya. Aku masih ada urusan lain." Ucap gadis itu dengan menutup reseleting ranselnya dan bangkit berdiri. Ia berbalik badan ketika hendak mengenakan ransel hitamnya dan matanya bertemu dua manik hitam yang menatapnya dengan bibir tersenyum.

Seorang pria pemilik manik hitam tersebut tengah duduk di baris ke tiga dari belakang, menatap Emma dari sana.

"Kau.. Di kelas ini juga?" Tanya Emma sambil menunjuk pria itu. Ia mengangguk.

"Kau kenal Calvin Lee? Kalian saling kenal?" Brian menginterupsi, tidak percaya. Namun tidak ditanggapi oleh Emma.

Calvin bangkit dari tempat duduknya dan melangkah mendekat "Ternyata kita satu jurusan. Maaf aku tidak menyapamu tadi. Kau terlihat terburu-buru. Aku juga terkejut saat melihat kau masuk ke kelas ini." tawanya.

"Tidak apa-apa. Aku juga tidak sadar kau duduk di sana. Kau benar, mengurus berkasnya lama sekali." Keluh Emma.

Calvin tertawa "Sudah ku duga kau akan terlambat. Jadi, bagaimana kesan pertama disini?"

"Hey Calvin.. Ternyata kalian sudah kenal, yah?" Lary merangkul pria itu dengan sok akrab. Memotong pembicaraan mereka.

"Ya? Tidak juga. Tadi pagi kami tidak sengaja bertemu di lift." Jelas Calvin menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal.

"Benar. Tadi pagi ia membantuku mencari ruangan administrasi. Kalau tanpa bantuannya, mungkin tadi aku akan terlambat lebih lama." Angguk Emma.

Brian dan Lary saling melirik diam-diam. Mengutuki Calvin di dalam hati mereka.

'Sialan! Tau saja ada gadis cantik. Langsung kau sikat!' Pikir Lary dalam hati.

"Oh.. Begitu.. Hahaha.. Ya, Calvin memang baik. Dia suka menolong orang, karena itu kami berteman baik." Ucap Brian menepuk-nepuk pundak lebar pria itu.

"Ya, benar. Kami adalah teman baik." Sambung Lary sambil tertawa.