Chereads / The Black Swan Behind (Bahasa Indonesia) / Chapter 6 - Jalan Jen Marrie

Chapter 6 - Jalan Jen Marrie

Jen Marrie, sebuah jalan yang sepi di siang hari, namun menjadi seramai pasar di malam hari. Ketika bulan dan bintang menghiasi langit, lampu-lampu neon dan kegaduhan meramaikan jalan tersebut. Meninggalkan sisa-sisa puntung rokok, botol- botol alkohol, dan kertas selembaran yang berserakan di jalan.

Jen Marrie adalah nama seorang wanita cantik yang anggun dan berpendidikan. Ia sangat terkenal berpuluh-puluh tahun yang lalu, ketika kota Handway pertama kali berdiri. Namun nampaknya sisa perjuangan Jen Marrie sudah tercoreng oleh para muda mudi kota Handway di jaman sekarang. Jalan yang harusnya dibanggakan tersebut, kini menjadi sarang para penjudi.

Sebuah kelompok mengaku sebagai pemilik jalan tersebut. Ya, mereka hanya mengaku saja, secara ilegal tentunya. Hanya karena sudah mendirikan beberapa bar dan kasino murahan, mereka menganggap dirinya sebagai penguasa di sana. Karena lingkungan yang semakin beracun, membuat para penghuni lama jalan Jen Marrie, satu per saru mulai angkat kaki. Hingga akhirnya jalan tersebut benar-benar berada di bawah kukungan komplotan tersebut.

Sebuah kelompok atau geng yang dipimpin seorang laki-laki nyentrik berumur delapan belas tahun bernama Pablo Diablo. Meskipun masih remaja, ia cukup kuat dan otak berbisnisnya encer, hingga bisa mengepalai geng bernama Dragger. Awalnya ia hanya seorang anak ingusan bermasalah yang jago berkelahi dan jadi bandar judi di sekolahnya. Ia juga menjadi pentolan di sekolahnya hingga memiliki banyak pengikut. Hingga kemampuannya itu dilihat oleh seorang pria berkuasa, hingga ia memutuskan untuk menjadikannya sebagai pemegang jalan Jen Marrie.

"Sialan! Aku sudah menunggunya semalaman tapi dia tidak muncul. Kemana si keparat pengecut itu?" Gumam Pablo sambil menyesap rokoknya. Asap abu-abu menyeruak keluar dari lubang hidungnya. Jemarinya penuh cincin emas dengan hiasan batu permata. Ia tengah duduk di singgahsananya yang berupa sofa single berbentuk tangan dewa.

"Kami sudah mencarinya kesana sini, tapi tidak ketemu juga. Kelihatannya kucing penakut itu tau kita sedang menunggunya." Jelas sang anak buah yang berdiri di depan meja kerjanya.

"Hem.. Yasudalah.." Kata Pablo dengan mengenakan jas sekolahnya. Ia harus berangkat ke sekolah. Di sana ia akan tidur seharian.

"Mantelmu, ketua." Bawahannya memberikan mantel panjang berbulu warna kuning ngejreng. Musim gugur sudah hampir memasuki akhirnya, sebentar lagi musim dingin akan datang.

***

Calvin menatap pantulan dirinya sendiri di cermin kamar mandi yang bertengger di atas wastafel. Sisi pinggir bibirnya terluka dan membengkak akibat kejadian semalam. Ia membasuh wajahnya dengan air dingin yang semakin mengembalikan kesadarannya, lalu mendesah gusar.

"Bajingan bajingan itu.." Gumamnya.

- Semalam

Di jalan yang sepi, Calvin berjalan sendiri dengan jaket kulit hitamnya yang ketat. Target utamanya adalah kelompok sialan yang menguasai jalan Jen Marrie. Asalkan kalian tau, Jen Marrie adalah nenek buyut Calvin. Ia sudah teramat muak pada gengster-gengster yang menjadi parasit di kota Handway. Dan kelakuan geng Dragger di jalan Jen Marrie sudah semakin meresahkan. Dikarenakan pemimpinnya adalah bocah sekolahan, jadi sangat banyak anak di bawah umur yang terjun menjadi penjudi gadungan. Tingkat pemerasan di kalangan anak sekolah juga semakin tinggi. Jika dibiarkan, akan semakin hancur masa depan kota Handway.

Dalam perjalanannya, Calvin dihadang oleh lima pria dengan topi hip hop dan tongkat baseball. Mereka mengenakan jaket hitam dengan gambar tengkorak di bagian punggungnya. Calvin ingat, minggu kemarin ia sempat menghajar pria dengan lambang jaket yang sama yang sedang memalak anak SMA di gang sepi. Kelihatannya anggota kelompok itu datang untuk balas dendam. Tapi Calvin tidak menyesali perbuatannya kemarin sama sekali, ia bangga sudah menolong yang lemah, dan memang itu tujuannya.

"Heh berengsek! Kau yang membuat teman kami babak belur? Mau main pahlawan pahlawanan?" Tegur salah satu pria itu.

Calvin menyeringai "Benar. Dan kalian selanjutnya."

Mereka tertawa "Jangan ngomong besar, berengsek!"

Si pria yang pertama bicara, langsung mengayunkan tongkat baseballnya ke kepala Calvin. Namun Calvin langsung mengelak, melompat, dan mengarahkan tendangan kaki jenjangnya ke dada pria itu hingga ia langsung terpentar ke belakang, tersungkur dengan punggungnya. Calvin tertawa mengejek.

Keempat teman pria itu tidak terima, mereka langsung menyerang Calvin secara bersamaan. Pertarungan tidak terelakkan. Di gang yang sepi itu, darah berceceran di permukaan aspalnya. Calvin terluka, namun ia menang. Kelima pria sok jagoan itu sudah terkapar sambil meringis kesakitan. Seperti yang sudah Calvin janjikan, mereka babak belur sekarang.

"Bocah-bocah sial. Aku jadi gagal mengobrak abrik kasino murahan itu." Gumam Calvin. Ia menyeka sudut bibirnya yang terkena pukul sampai berdarah. Jaketnya yang bagus jadi kotor karena kena tendangan sepatu nista bocah bocah itu.

Calvin melempar tongkat baseball yang sempat ia rebut tadi, hingga jatuh mengenai kepala salah satu lawannya yang tadi paling banyak ngomong. Pria itu kembali mengerang kesakitan. Calvin melangkah pergi. Sialnya, dengan penampilan seperti ini, ia tidak mungkin bisa masuk ke dalam kawasan kasino abal-abal itu. Mereka akan langsung menyadari bahwa dirinya adalah sosok pria yang selama ini diam-diam mengacaukan bisnis mereka.

--

Calvin mengenakan baju turttle neck lengan panjang berwarna mustard dengan balutan jaket bomber berwarna gading dengan list coklat gelap. Setelah selesai berkemas, ia duduk di teras depan untuk mengenakan sepatu kets putihnya yang memiliki warna list yang senada dengan warna celananya, yaitu abu-abu muda.

Sebuah motor sport hitam terparkir di depan rumahnya yang sepi. Ia menungganginya ke kampus. Sebenarnya Calvin sangat menyukai jalanan di musim gugur. Dimana dedaunan kering berjatuhan menutupi jalanan dengan warna coklat keemasan mereka. Namun dengan melihat itu, hatinya terasa semakin sakit, karena kenangan-kenangan indah itu kembali menyeruak keluar dari memori otaknya. Masa-masa bahagia, yang sudah lenyap dengan cara yang sangat mengenaskan. Alasan mengapa Calvin melakukan pekerjaan yang selalu mengancam keselamatan dirinya hampir tiap malam.

Universitas Jardin terlihat sangat indah di musim gugur. Karena ada banyak pepohonan tumbuh rimbun disana. Meskipun Calvin suka kasihan pada petugas kebersihan kampus yang kerjaannya jadi semakin banyak.

Pria itu memelankan laju motornya, ada sesuatu yang sangat menarik pagi itu. Ada seorang gadis tengah membantu petugas kebersihan menyapu dedaunan kering yang menumpuk di pinggir jalan masuk kampus. Pemandangan yang sangat jarang terlihat. Ia mengenal gadis itu. Teman sekelasnya yang hanya berada di kelas selama jam pelajaran saja. Ia adalah Emma.

Calvin menghentikan laju motor, lalu membuka kaca helem full face putihnya "Selamat pagi.."

Emma lantas menoleh "Hei!" ia tersenyum lebar.

"Kegiatan pagi mu oke juga." Ucap Calvin.

Emma melirik gagang sapu yang ada di tangannya. Ia tersadar, lalu menyandarkan sapu tersebut ke batang pohon terdekat dengan kikuk. Emma memang selalu datang kepagian, karena tidak ada yang bisa ia kerjakan di rumah. Dari pada duduk tidak jelas di kelas, ia lebih memilih melakulan kegiatan absurd, contohnya membantu petugas kebersihan.

"Hahaha.. I.. ini.. aku.. tadi datang kepagian. Karena bosan, aku membantu Pak Lukas." Jelasnya. Ia berpikir mungkin Calvin akan menganggapnya aneh dan menceritakannya kepada semua anak di kelas. Reputasi anak normal yang baru saja Emma bangun, akan hancur bagai daun kering yang diinjak.

Calvin tersenyum sambil mengangguk-angguk "Mau aku bantu?"

Emma menggeleng "Tidak perlu. Lagi pula aku sudah hampir selesai."

Gadis itu mengembalikan sapunya kepada pria paruh baya dengan mantel tebal berwarna coklat tua. "Trimakasih, Emma." ucap pria itu. Emma mengangguk.

"Mau ku antar?" Tawar Calvin.

"Aku lebih suka berjalan kaki. Jalanannya terlalu indah untuk dilewati terlalu cepat." Jawab Emma.

"Kau benar. Kalau begitu, aku duluan." Calvin menutup kaca helemnya.

"Oke.." Emma melambaikan tangan.