Chereads / The Black Swan Behind (Bahasa Indonesia) / Chapter 4 - Mengintip Hidup Seorang Pecundang

Chapter 4 - Mengintip Hidup Seorang Pecundang

Universitas Jardin memiliki berbagai jurusan dan kelas tambahan yang cukup banyak. Tidak heran universitas ini menjadi kampus favorit di kota Handway. Di sini terdapat sepuluh jurusan menarik yaitu managemen, seni yang dibagi menjadi empat (acting, musiki, tari, dan rupa), arstiektur, interior design, animasi, komputer & jaringan, memasak & kuliner, fashion design, tekhnik sipil, dan broadcasting.

Bukan hanya banyak pilihan jurusan, namun di Universitas ini juga banyak kelas tambahan yaitu drama, balet, salsa, modern dance, taekwondo, judo, karate, renang, otomotif, panjat tebing, basket, sepak bola, baseball, dan pecinta alam. Dengan dua gedung megah berdampingan dan lahan terbuka yang luas, banyak fasilitas yang disediakan seperti kafetaria/kantin yang tersedia di berbagai lantai , lalu ada perpustakaan berstandar internasioanl, GYM, kolam renang, empat lapagan outdoor, dua lapangan indoor, lab, studio, taman, gedung pertemuan, dan aula teater.

Emma duduk seorang diri di tangga taman yang sepi sambil membaca majalah tentang kampusnya sendiri. Ia mengangguk-angguk tanpa sadar dengan sesekali merogoh bungkus keripik kentang rasa garam yang menemaninya dari tadi. Meskipun sudah terlanjur masuk ke sini, Emma masih penasaran sebenarnya Universitas macam apa yang ia tempati sekarang.

'Universitas ini menarik juga. Meskipun fasilitasnya tidak sebanding dengan kampusku yang dulu, tapi jurusan dan kelas tambahannya terlihat seru. Apalagi.. ada balet!' Ia tersenyum lebar sembari memandangi foto kelas balet dengan beberapa anak tengah berlatih yang tercetak di halaman majalah tersebut.

Brakkk!! Sebuah suara mengagetkan Emma, ia langsung celingak-celinguk mencari dari mana sumber suara tadi berasal.

Gubrakk!!

"Apa itu?" Gumamnya langsung bangkit bediri. Ia segera merapihkan tasnya dan memasang telinga.

Samar-samar Emma mendengar suara gaduh yang berasal dari bangunan seperti gudang yang berada tidak jauh dari taman. Bukan Emma namanya kalau tidak dipenuhi rasa penasaran yang tinggi. Tanpa ragu ia melangkah perlahan menuju bangunan bercat putih biru itu dan mengintip melalui jendela yang berada di samping pintu yang tertutup.

Emma melihat ada tiga orang pria tengah berdiri membelakangi jendela. Mereka terlihat sedang merundungi sesuatu... atau seseorang yang sedang meringkuk di lantai. Tawa mereka membahana selagi kaki mereka menendangi anak malang itu. Emma mengepal tangannya geram. Kenapa mereka melakukan hal itu?

"Berikan uangnya! Aku tau kau punya lebih dari ini. Jangan sampai kami memeriksa sampai ke celana dalammu." Ancam salah satu pria cepak dengan sweater hitam.

"Kenapa kau malah diam? Benar mau kami melakukannya? Kau mau burungmu kami lepaskan ke alam terbuka, hah?!" Tanya salah satu pria penuh tato di sekujur lengannya, diikuti oleh tawa yang lain.

Nampaknya anak malang tersebut sudah termakan oleh ancaman bocah-bocah sialan itu, ia akhirnya merlepas ikan pinggang dan merogoh ke dalam celana jeansnya.

"Berengsek! Kau benar meletakannya disitu? Dasar monyet menjijikan!" Seru pria cepak tadi sebelum mendang perut anak itu dengan keras.

"Arkhh!!" Pekik anak tersebut kesakitan.

"A.. Aku menaruh disini karena ini uang terakhirku.." Katanya dengan nafas terengah-engah menahan sakit.

Salah satu pria bertato dengan topi hip hop yang dipakai terbalik berjongkok agar bisa melihat wajah anak itu dengan jelas. Di sela jari telunjuk dan tengahnya menyantol sebuah rokok yang sudah habis setengah batang. Ia menghisap rokok itu dan menghembuskan asapnya ke wajah anak itu hingga ia terbatuk sedikit.

"Kalau begitu, tugasmu besok adalah minta lebih banyak uang lagi pada ayahmu yang kaya itu. Karena besok adalah hari dimana kami harus menyetor." Ia menyeringai seram.

Pria bertato satunya lagi langsung merebut uang yang sudah dikeluarkan oleh anak itu dari dalam celananya. Meskipun sebelumnya menghina jijik, namun mereka masih saja merampas uang itu. Lagi pula tingkah mereka jauh lebih menjijikan. Setelah menghitung sebentar uangnya, pria yang merokok tadi melempar puntung rokoknya yang masih menyala ke atas kepala anak itu. Lalu mereka tertawa-tawa sambil melangkah pergi.

"Dasar bedebah berengsek! Aku tidak tau di kampus ini masih saja ada anak yang main palak-palakan perti anak SMP!" Gumam Emma. Meski tangan dan kakinya sudah gatal ingin mematahkan tulang para berandal tadi, namun gadis itu masih memikirkan masa depan dan tujuannya. Ia sudah berkomitmen tidak mau terlibat dalam urusan seperti ini lagi.

Setelah melihat kondisi sekitar sudah aman, Emma mengendap masuk ke dalam gudang tempat menyimpat peralatan kebun itu untuk menolong anak yang dibully tadi. Rungan itu gelap dengan minim pencahayaan yang hanya berasal dari jendela-jendela saja. Emma juga tidak tau dimana tombol lampunya. Namun ia dapat melihat sosok anak laki-laki yang masih meringkuk duduk di lantai sambil bersandar pada tumpukan box kayu berisi pupuk tanaman.

"Halo.. Apa kau tidak apa-apa?" Tanya Emma perlahan sambil melangkah mendekat. Anak itu tidak menjawab. Wajahnya tidak terlihat karena terhalang bayangan gelap.

"Apa kau terluka? Mau aku antar ke klinik?" Tanyanya lagi semakin mendekat. Meskipun sebenarnya ia tidak tau klinik kampus ada dimana.

"Pergilah.." Ujar pria itu lirih. Ia berusaha bangkit meskipun terjatuh lagi, lalu terbatuk-batuk sambil memegangi perutnya yang sebelumnya menjadi sasaran tendangan monyet-monyet tadi.

Emma langsung menolongnya duduk. Saat itu ia dapat melihat wajah anak itu dengan jelas, dua mata biru yang tidak asing baginya.

"Roger?"

Kedua mata biru milik pria itu menatap wajah Emma dengan terkejut. Bagaimana wanita ini bisa menemukannya di sini?

"Roger! Kau tidak apa-apa?!" Gadis itu langsung berhasil membantunya berdiri. Karena terkejut, kekuatan aslinya langsung muncul tanpa sadar.

"Jangan perdulikan aku. Kau akan terlibat masalah. Tolong pergilah!" Roger melepas pegangan Emma dan melangkah tertatih menuju pintu.

Emma mengekorinya dari belakang, tidak mendengarkan sama sekali. Selain khawatir, ia juga penasaran mengenai masalah yang dikatakan pria itu. Masalah macam apa yang ia maksud?

"Kenapa mereka melakukan hal itu padamu? Kenapa kau diam saja? Kenapa kau tidak melawan mereka?" Cecarnya hingga menuju keluar pintu. Keadaan Roger terlihat begitu menyedihkan.

"Hey! Aku berbicara padamu.." Ia meraih pundak pria itu. Lalu Roger berbalik dengan geram, wajahnya terlihat kesal namun seperti ingin menangis.

"Karena aku pecundang. Aku lemah. Puas?" Sahutnya cepat. Rahangnya mengeras lalu berbalik badan lagi.

"Jangan perdulikan aku. Level kita berbeda." Lanjutnya sebelum melangkah pergi meninggalkan Emma yang berdiri terpaku.

'Aku salah ya?' Pikir gadis itu di dalam hati. Selama ini ia tidak pernah memiliki teman baik. Karena kurang pergaulan, kemampuannya dalam memahami perasaan orang lain juga lebih minim dari orang kebanyakan. Jika orang lain bisa langsung menyadari bagaimana perasaan lawan bicaranya, berbeda dengan Emma, ia harus berpikir cukup lama dulu agar bisa melakukan itu.

Emma sadar, seharusnya ia tidak mengejar dan mencecar Roger seperti tadi. Pria itu pasti terluka fisik dan harga dirinya. Apalagi ia seorang pria, sampai harus mengaku terang-terangan bahwa dirinya adalah pecundang di depan Emma yang adalah seorang wanita. Pria itu pasti sangat merasa rendah. Karena terlalu kuat dan berkuasa selama ini, Emma jadi tidak pernah tau bagaimana perasaan dan kehidupan seorang pecundang.

"Aku harus minta maaf padanya nanti." Gumam Emma pada dirinya sendiri.

Ia melangkah lesu sambil menghela nafas berkali-kali seakan beban seluruh dunia ditumpuk di atas pundaknya. Tidak disangka, berusaha hidup di kehidupan normal ternyata seberat ini. Entah menjadi normal adalah hal yang berat, atau tempat ini memang tidak normal?

'Masa bodoh!' Emma menggeleng sebal. Ia tidak mau putus asa di awal begini. Ini bukanlah Emma yang ia tau. Emma adalah gadis pantang menyerah dan ambisius sejak kecil. Rintangan semacam ini seharusnya bisa dilewati dengan sangat mudah.

"Baiklah..! Sekarang aku harus ke kelas balet! Jangan lupakan tujuan mu datang kesini, Emma!" Ucapnya sambil menepuk-nepuk ringan kedua pipinya.