"Saya akui, saya tidak terlalu suka dengan kegaduhan. Saya lebih suka bekerja sama dengan perusahaan yang lebih tenang" ucap Bu Inez diakhir rapat mereka.
"Iya, saya mengerti. Sekali lagi saya mohon maaf karena membuat Ibu menjadi tidak nyaman seperti ini" ucap Amanda, tersenyum dengan sopan.
"Saya akan pelajari dulu draft perjanjian kita" ucap Bu Inez.
"Besar harapan saya agar Ibu bisa bekerja sama dengan perusahaan saya" balas Amanda, mengulurkan tangannya sambil tersenyum. Amanda dan Latissa mengantarkan calon investor mereka itu sampai ke mobilnya.
Amanda kembali ke dalam kantornya, dia membaca ulang lembaran draft perjanjian yang baru saja dia dan Bu Inez pelajari.
"Menurut kamu gimana Tis?" tanya Amanda. Latissa tidak langsung menjawab, dia berpikir sebentar.
"Sebenarnya.., saya.., emm.." Latissa tidak menyelesaikan kalimatnya.
"Katakan saja Tis, saya butuh pendapat saat ini" balas Amanda. Ada sesuatu yang mengganjal dipikirannya saat rapat dengan Bu Inez tadi.
"Saya, sedikit kurang yakin" ucap Latissa akhirnya.
"Saya juga" balas Amanda. Gadis itu mengetuk-ngetuk kepalanya dengan pena di tangannya, berpikir lagi dan lagi. Dia menghela napas berat.
"Tapi hanya ini yang kita punya Tis." ucap Amanda. Gadis itu beberapa kali menghembuskan napas berat.
Selama Amanda berkarir, baru kali ini dia merasa buntu dan, mungkin, sedikit putus asa dengan pilihan yang ada. Amanda bukannya tidak percaya dengan Bu Inez, hanya saja ada sesuatu pada diri Bu Inez yang membuat hati Amanda terasa sedikit tidak yakin dan mengganjal.
"Apa kita tetap lanjutkan rencana dengan Pak Anton?" tanya Latissa ragu-ragu. Sama seperti Amanda, Latissa juga merasakan ada yang mengganjal dari hubungan kerja sama dengan Bu Inez, entah karena sikap Bu Inez yang tidak hangat dan terkesan sedikit sombong, atau hanya perasaannya saja, Latissa tidak yakin dengan itu.
"Jangan, saya tidak pernah mau menjilat ludah yang sudah saya buang" balas Amanda. Dia merasa marah setiap mendengar atau membicarakan semua hal yang menyangkut dengan Anton.
"Ah, maaf Bu, saya tidak bermaksud" balas Latissa cepat, dia khawatir Amanda akan marah.
"Saya pulang dulu Tis, hari ini terlalu melelahkan" balas Amanda. Latissa mengangguk dengan hormat. Hari ini terlalu banyak yang dilalui oleh bos nya itu. Mulai dari keributan yang ditimbulkan akibat kehadiran Vita, sampai rapat dengan Bu Inez yang cukup alot, wajar kalau Amanda merasa lelah.
"Segera saya panggilkan Pak Salim" ucap Latissa, langsung mengambil ponselnya untuk menghubungi supir pribadi Amanda itu.
________________
Abi mengemudikan mobilnya menuju pinggiran kota. Hari ini dia sengaja tidak masuk kerja. Ada sesuatu yang ingin dia pastikan dengan dirinya sendiri.
Mobil Abi melaju ke sebuah tempat pemakaman. Sebelumnya dia sudah membeli seikat mawar putih yang sudah dirangkai dengan cantiknya. Hari ini Abi menuju ke makam istrinya, Rahmania. Dia harus memastikan sesuatu. Abi tidak dapat menunggu ini lebih lama untuk melakukan hal ini.
Pria itu berjalan ke dalam area pemakaman dengan seikat mawar putih di tangannya. Seorang pria paruh baya menyapa Abi saat sudah memasuki area pemakaman itu, dia adalah penjaga disana. Pak Bangun namanya, Bapak itu sudah akrab sekali dengan Abi, tentu saja karena Abi sejak Nia meninggal tidak pernah absen selama minimal satu kali dalam sebulan mengunjungi makam istri dan anaknya, malah terkadang Abi datang hampir setiap hari saat dia merasa rindu pada Nia.
"Apa kabar Pak Dokter?" sapa Pak Bangun.
"Baik, Bapak apa kabar?" balas Abi.
"Saya begini saja Dok" balas Pak Bangun lagi.
"Saya permisi ya Pak," pamit Abi, Pak Bangun mengangguk mempersilakan. Pria itu sangat salut dengan Abi. Jarang sekali ada seorang suami yang tetap rutin mendatangi makam istrinya seperti Abi, apalagi lelaki itu masih muda dan berwajah cukup tampan. Biasanya para suami yang ditinggalkan istrinya sudah menikah lagi dan hampir tidak pernah mengunjungi makam pasangannya seperti yang Abi lakukan.
Abi berjalan menyusuri jalan setapak menuju makam Nia. Dia sudah sangat hapal dengan lokasi ini karena selama bertahun-tahun selalu rutin mendatangi tempat ini. Langkah Abi terhenti saat dia menemukan makam wanita yang dulu menjadi wanita terkasih di hatinya.
"Halo Sayang, apa kabar?" sapa Abi, tersenyum menatap batu nisan dimana nama Nia tercetak di sana.
"Aku kangen Sayang. Apa kabar anak kita? Apa dia baik-baik saja?" tanya Abi lagi.
"Nia, aku kesini untuk meminta izin.. Sepertinya.. Sepertinya aku akan melanggar janji aku sama kamu. Aku... Aku minta maaf Nia. Aku mencintai kamu sepenuh hati, tapi.., ada gadis yang selalu mengganggu pikiran aku beberapa bulan terakhir." lanjut Abi lagi. Bayangan wajah Amanda dan Nia bergantian muncul di kepalanya.
"Awalnya aku coba menolak dia Nia. Tapi setiap melihat dia sedih, aku ingin menghibur, setiap dia terkena masalah, aku ingin membantu. Aku rasa.. Aku mulai jatuh hati sama dia Nia. Apa aku boleh jatuh cinta pada wanita lain?" tanya Abi lagi, bermonolog. Dia mencurahkan semua kegundahan hatinya selama ini. Abi mencoba menolak Amanda, tapi dia tidak bisa, semakin dia menolak Amanda, semakin kepalanya memikirkan Amanda.
Abi bermonolog sendirian selama sekitar 30 menit disana. Setelah selesai mencurahkan seluruh kegundahannya, lelaki itu kembali ke apartemen. Tiba-tiba dia melihat sosok Amanda di pinggir jalan. Gadis itu sepertinya baru pulang dari kantornya. Ada kantong plastik belanjaan di tangan kanannya. Abi cepat-cepat menyusul dan menepikan mobilnya dekat dengan Amanda.
"Amanda!" panggil Abi setelah menepikan mobilnya.
Amanda berhenti berjalan saat mendengar ada yang memanggil namanya. Dia melihat sekelilingnya dan menemukan Abi yang sedang keluar dari mobil, berjalan cepat menuju ke arahnya.
"Baru pulang dari kantor?" tanya Abi dengan ramah.
Amanda sedikit tercengang melihat wajah Abi saat ini. Tidak ada raut wajah dingin, hanya ada senyuman hangat yang dulu Amanda pernah temukan di awal pertemuan mereka. Gadis itu hanya mengangguk mengiyakan.
"Saya pamit duluan" balas Amanda, cepat-cepat ingin pergi.
"Tunggu sebentar!" cegah Abi. Langkah Amanda terhenti.
"Saya punya jawaban untuk pertanyaan kamu" lanjut Abi lagi. Amanda menatap Abi dengan tatapan kebingungan.
"Pertanyaan?" gumam Amanda, tapi terdengar jelas di telinga Abi.
"Iya, pertanyaan Ibu mengenai apakah saya sudah bisa melupakan almarhumah istri saya" ucap Abi lagi. Amanda tidak menjawab, dia menatap lekat wajah lelaki di hadapannya. Pria ini benar-benar bisa membuat Amanda bingung.
"Saya rasa saya tidak perlu jawaban Anda, Dokter" balas Amanda.
"Sebentar, sebentar saja.. Saya mohon, ada yang ingin saya katakan" ucap Abi lagi.